Puncta 26.02.22 || Sabtu Biasa VII/C || Markus 10:13-16
Pelajaran dari Anak Kecil
SEORANG anak kecil di Nanjing bernama Zhang Da (10 thn) harus memikul beban hidup yang berat.
Ibunya lari dari rumah karena tak tahan hidup miskin. Ia tak sanggup mengurus suaminya yang lumpuh dan tak ada uang.
Zhang Da tinggal berdua dengan ayahnya di rumah reot. Ia mengurus ayahnya yang tidak bisa bekerja, mulai dari menyiapkan makan, memandikan, mencuci pakaian dan mengobatinya.
Hebatnya Zhang Da tidak mau putus sekolah. Setelah sekolah dia menjadi pemecah batu. Upahnya dipakai untuk makan dan beli obat.
Karena tak bisa membawa dokter ke rumah, ia belajar cara menyuntik dari buku-buku. Ia anak yang cerdas. Ia lakukan ini selama lima tahun.
Kegigihannya merawat ayahnya, sambil terus belajar dan mencari nafkah menarik perhatian pemerintah lokal.
Tahun 2006 Pemerintah menyelenggarakan penghargaan Nasional bagi tokoh-tokoh inspiratif. Dari 10 nama terselip nama Zhang Da. Ia adalah pemenang termuda.
Acara penghargaan disiarkan TV Nasional. Pemandu bertanya kenapa ia mau berkorban padahal masih kanak-kanak.
Jawabnya, “Hidup harus dijalani, tidak boleh menyerah, tidak boleh berbuat jahat. Harus menjalani hidup penuh tanggungjawab.”
Pembawa acara melanjutkan, “Zhang Da, sebut saja apa yang kamu mau, sekolah dimana, apa yang kamu inginkan. Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, dan mau kuliah dimana.
Pokoknya apa yang kamu cita-citakan, sebutkan saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha kaya dan orang terkenal hadir. Banyak orang yang menonton televisi, mereka bisa membantumu….katakan saja.”
Semua mata memandang anak miskin, lugu dan polos itu, menanti dengan hening apa keinginannya.
Anak itu memecah kesunyian dengan mengucap, “Saya mau mama kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu papa, aku bisa cari makan sendiri. Mama kembalilah….!!!
Semua yang hadir mengusap air mata yang menetes tak terbendung.
Tidak ada harta yang paling diharapkan. Hanya kasih seorang Mama yang dia butuhkan. Seorang anak yang polos dan suci hatinya.
Hidup itu tidak melulu soal harta melimpah, kesuksesan, masa depan cerah, popularitas dan kesenangan, itu semua bisa dicari.
Yang diperlukan adalah terpenuhinya kasih sayang.
Yesus memarahi murid-murid yang menghalang-halangi anak-anak kecil datang kepada-Nya.
Anak-anak itu membutuhkan kasih sayang, pelukan, perhatian dan perlindungan. Mereka tidak membutuhkan yang lebih dari itu.
Yesus membuka tangan bagi anak-anak. Ia memeluk dengan hangat, meletakkan tangan dan memberkati mereka.
Kita seringkali seperti para murid, menghalangi anak-anak datang kepada Tuhan. Mereka dipandang hanya merepotkan saja, ribut dan mengganggu orang dewasa.
Orangtua kadang menganggap anak hanya sebagai beban. Jangan salahkan jika mereka mencari kasih sayang di luar rumah.
Namun Yesus justru mengatakan, “Orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.”
Mari kita lebih memperhatikan, mengasihi dan membuka dunia anak-anak agar mereka menemukan kebahagiaannya.
Ke sekolah rapi berpakaian,
Suka lirak lirik teman perempuan.
Anak-anak adalah masa depan,
Berikan kepada mereka kesempatan.
Cawas, biarkan anak-anak datang…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
Puncta 25.02.22 || Jum’at Biasa VII/C || Markus 10: 1-12
Gara-Gara Rumput Tetangga
BADAN Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung melaporkan bahwa ada kecenderungan peningkatan kasus perceraian.
Beberapa penyebab adanya perceraian adalah perselingkuhan, suami menganggur, pendapatan istri lebih besar dari suami. Egoisme dan kesombongan pribadi juga mengambil tempat terjadinya perpisahan.
Perkembangan teknologi komunikasi yang makin canggih sekarang juga ikut memicu terjadinya perceraian. Media sosial memberi ruang yang bebas bagi siapapun untuk bergaul.
Ini yang dimanfaatkan bagi mereka yang mengalami kesulitan berkomunikasi dengan pasangan di rumah.
Kalau melihat data di Badilag MA, angkanya makin naik dan memprihatinkan. Ini mesti menjadi perhatian kita bersama.
Karena keluarga yang baik akan membantu tumbuhnya masyarakat yang baik. Keluarga adalah pilar bagi gereja dan negara.
Yesus menjawab persoalan itu dengan mengembalikan asal muasal manusia diciptakan. Manusia diciptakan secitra dengan Allah.
Ketika orang-orang Yahudi memaksakan perceraian karena Musa mengijinkan memberi surat cerai, Yesus langsung menunjuk akar masalahnya.
“Karena ketegaran hatimulah Musa menulis perintah untukmu.”
Orang Israel suka memaksakan kehendaknya, sehingga Musa memberi ijin dengan membuat surat cerai.
Tetapi pada awal dunia, Allah menjadikan manusia pria dan wanita, karena itu pria meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan istrinya.
Keduanya lalu menjadi satu daging. Mereka bukan lagi dua melainkan satu.
Yesus menyimpulkan rencana dan kehendak Allah pada mulanya yaitu, “Apa yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia.”
Memang tidak mudah membangun hidup berkeluarga. Maka perlu ada persiapan yang matang. Menggunakan masa pacaran dengan baik untuk mengenal sungguh-sungguh calon pasangannya.
Membangun komunikasi yang terbuka dan sejajar. Sadar bahwa anda memilih dia untuk hidup selamanya, bukan sesaat atau hanya waktu senangnya saja.
Dan yang penting mau berkorban bagi kebahagiaan pasangannya.
Agar kita tidak tegar hati, kita harus berani mengakui ketidaksempurnaan diri. Mau menerima kritik dan masukan dari pasangan.
Jangan ada yang merasa paling benar dan paling kuasa.
Orang Jawa bilang, “Aja Dumeh.” (Jangan merasa sok).
“Dumeh dadi wong lanang.” Dumeh gajinya besar, dumeh punya kuasa, dumeh pintar, dumeh bagus/ayu dan macam-macam kesombongan yang lain.
Jangan dulu melihat rumput tetangga, karena mereka memeliharanya dengan baik.
Apakah anda juga memelihara rumput di kebun anda sendiri?
Setiap sore menyiram rumput,
Tidak lupa mencabut lumut.
Jangan selalu berwajah cemberut,
Suasana keluarga bisa kalang kabut.
Cawas, selalu menjaga cinta….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
Puncta 24.02.22 || Kamis BiasaVII/C || Markus 9: 41-50
Teladan Swargi Rm. Martana.
SETIAP kali pergi ke makam Kentungan, saya menyempatkan diri berdoa di depan pusara Rm. Martana dan Rm. Adiwardaya. Mereka adalah sosok idola saya.
Rm. Martana adalah pamong di Seminari Mertoyudan kala itu. Ia imam yang sederhana, bersahaja, rendah hati dan welcome bagi siapa pun.
Bahkan ketika sakit pun, ia dengan senyum ceria selalu menerima siapa pun yang bezoek di ruangannya. Ia merangkul sakitnya dengan sukacita.
Kendati selang ada dimana-mana, ia tidak pernah mengeluh dan kelihatan selalu gembira. “Kanker itu juga pengin hidup seperti kita, kebetulan dia memakai lidah saya,” katanya mengharukan.
Selama masih bisa berjalan, setiap pagi dia mengiringi perayaan ekaristi dengan main organ di kapel.
Dia juga mengiringi koor para perawat saat lomba HUT Rumah Sakit Panti Rapih. Ia gunakan segala kemampuannya untuk melayani orang lain.
Ketika sudah tidak bisa bicara, tangannya selalu mengacungkan jempol, matanya selalu berbinar dan kepalanya mengangguk untuk menyapa dan memberi semangat orang lain.
Kita sedih melihatnya, namun dialah yang malah menghibur dan menyemangati kita.
Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya agar menggunakan anggota tubuh untuk melayani sesama. Jangan sampai anggota tubuh itu menyesatkan kita.
“Jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik dengan tangan terkudung masuk dalam kehidupan, daripada dengan utuh kedua belah tanganmu masuk ke dalam neraka.”
Begitu juga dengan kaki dan mata, jika mereka menyesatkan maka penggal saja. Lebih baik kehilangan kaki atau mata tetapi masuk ke dalam kehidupan.
Orang pasti akan menderita jika tidak punya mata, kaki dan tangan. Tetapi akan lebih menderita lagi jika tangan, mata dan kaki justru membawa kita masuk ke neraka.
Romo Martana memberikan seluruh tubuhnya, tangan, mata dan kaki untuk bisa memuji Tuhan dan berjasa bagi orang lain.
Bahkan dalam kondisi sakit pun, tidak menghalangi dia untuk terus berguna bagi sesama. Bahkan dia menerima penyakit itu dengan ikhlas di dalam tubuhnya.
Kendati sakit, dia tidak ingin orang lain menjadi susah dan menderita.
Semangat itulah yang menjadi garam yang terus memberi warna dalam kehidupan.
Yesus mengingatkan, “Hendaklah kalian selalu mempunyai garam dalam dirimu, dan selalu hidup berdamai seorang dengan yang lain.”
Marilah kita gunakan mata, kaki, tangan, mulut, telinga dan semua yang ada untuk memuliakan Tuhan dan membahagiakan sesama di sekitar kita.
Buah cempedak buah semangka,
Dijual di pasar kota Surabaya.
Mari gunakan seluruh diri kita,
Untuk membahagiakan sesama.
Cawas, urip iku urub….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
Puncta 23.02.22 || PW. St. Polykarpus, Uskup dan Martir || Markus 9: 38-40
“Jape Methe Dab”
KITA masih ingat di kalangan anak muda Jogja ada bahasa prokem yang diturunkan dari aksara Jawa. Mereka menyebut bahasa walikan Jogja.
Salah satu contohnya adalah kata “Jape methe Dab.” Ungkapan itu artinya “Cah-e dhewe Mas,” Searti dengan istilah orang Dayak Simpank “Onya Odop” yang artinya orang kita, teman sendiri, kelompok kita, pengikut kita.
Sebagai teman sendiri, kita sering membela, melindungi, menolong jika teman itu berada dalam kesulitan.
Misalnya, kita pernah dengar ada orang yang mengatakan bahwa di kayu salib itu ada jin kafir? Ungkapan itu sontak menimbulkan kegaduhan.
Ada yang protes, tidak terima, merasa dihina, bahkan ada yang melaporkannya ke polisi. Agama harus dibela.
Patung yang ada di salib itu disebut sebagai jin kafir. Ini jelas salib Katolik karena hanya salib Katolik yang ada patung (Corpus Christi).
Tetapi tidak sedikit reaksi yang bijak dengan memberi pengampunan dan tetap mengasihi orang yang menghina Tuhan Yesus. Mengapa demikian?
Perikop Injil hari ini mungkin bisa mencerahkan kita.
Yohanes memprotes orang yang menggunakan nama Yesus untuk mengusir setan karena dia bukan pengikut kita.
“Guru, kami melihat seorang yang bukan pengikut kita, mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah dia, karena ia bukan pengikut kita.”
Yohanes berpikir secara sektarian, primordial, mengkotak-kotakkan, orang kita berbeda dengan bukan pengikut kita.
Istilahnya ya “jape methe atau onya odop” itu tadi.
Mereka yang bukan kelompok kita tidak boleh melakukan kebaikan atas nama Yesus.
Cara berpikir sektarian ini dilarang oleh Yesus. “Jangan cegah dia, sebab tak seorangpun yang telah mengadakan mukjijat demi nama-Ku, seketika itu juga mengumpat aku. Barang siapa tidak melawan kita, ia memihak kita.”
Kita tidak boleh mengkotak-kotakkan orang berdasar suku, ras, etnis, agama, adat dan budayanya. Yesus mengajarkan untuk selalu mengasihi dan mengampuni, bahkan mereka yang melawan dan memusuhi kita.
Dia sendiri telah mengampuni orang-orang yang menghina, mengejek dan mencemoohkan-Nya.
Mengampuni bisa terjadi jika di dalam hati kita ada kasih. Yesus mengampuni orang yang menghina dan menyalibkan-Nya karena Yesus mengasihi semua orang.
Kasih Yesus tidak hanya untuk kita, tetapi untuk semua orang. Orang yang menyebut-Nya sebagai jin kafir itu pasti juga dikasihi-Nya.
Jika Yesus sudah mengampuni tanpa batas, tanpa membeda-bedakan orang berdasarkan SARA, lalu siapakah kita ini yang merasa berhak menghukum orang yang menghina Dia?
Kalau kita masih marah, tersinggung, jengkel dan sakit hati, itu tanda bahwa iman kita belum matang dan dewasa.
Mungkin kita masih seperti Yohanes yang punya pikiran sektarian dan primordial. Mari kita membuka diri, hati dan pikiran kita.
Pergi ke sungai untuk memancing ikan,
Duduk di bawah pohon sambil hujan-hujan.
Mengasihi itu tidak membeda-bedakan,
Itulah kasih yang diajarkan Yesus Tuhan.
Cawas, tetap mengasihi….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
Puncta 22.02.22 || Pesta Tahta St. Petrus || Matius 16: 13-19
Upacara “Ngabekten”
KERATON Ngayogyakarta mempunyai tradisi “ngabekten,” yaitu bersujud atau sungkem kepada raja. Ngabekten dilakukan setiap hari raya Idul Fitri.
Hari pertama biasanya diikuti kaum lelaki, mulai dari urutan paling dekat atau tinggi kedudukannya; para pangeran, kerabat, sentana Dalem dan paling belakang adalah abdi Dalem.
Hari kedua diikuti kaum perempuan; mulai dari permaisuri, putri-putri, kerabat, sentana dan abdi Dalem putri.
Ada aturan atau pranatan ketat yang harus diikuti; cara berpakaian, cara duduk, berjalan dan lainnya.
Mereka berurutan maju dengan “laku dhodhok” atau jalan jongkok dengan takzim, menyembah dan mencium lutut Raja yang duduk di tahta.
Mengapa cium lutut? Salah satu gelar Sultan atau raja adalah “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem.”
Sampeyan artinya kaki. Lutut adalah motor penggerak kaki. Mencium lutut maknanya langkah seorang raja itu diikuti oleh rakyatnya.
Raja menjadi teladan, dituakan, panutan yang diikuti seluruh rakyat. Rakyat berbakti dengan sungkem atau menyembah, mencium lutut raja.
Menyembah raja menjadi tradisi yang terus dilakukan sampai sekarang. Kendati sultan tidak ada di keraton, namun para abdi Dalem selalu menyembah, menghormat tahta raja yang berada di Bangsal Kencana sebagai tanda bakti, sujud dan hormat.
Hari ini Gereja Katolik merayakan Pesta Takhta Santo Petrus. Pesta ini mau mengungkapkan sikap hormat dan bakti kita kepada Petrus dan para penggantinya yang ditunjuk oleh Yesus menjadi pemimpin jemaat-Nya.
“Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga, dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.” Sabda Tuhan.
Sebagaimana para abdi Dalem, kita ini adalah hamba, abdi atau umat Kristus yang disatukan dalam penggembalaan Petrus dan para penggantinya.
Seperti para abdi Dalem itu menyembah tahta raja sebagai pengejawantahan raja yang memerintah, kita juga menghormati dan taat pada Petrus yang ditunjuk memimpin gereja.
Kita bersyukur tradisi pewarisan iman diturunkan terus menerus melalui Petrus dan para pemimpin gereja. Mereka selalu menjaga iman yang autentik sampai sekarang.
Duaribu tahun telah berjalan, Iman akan Yesus itu dijaga, dirawat dan dikembangkan sampai sekarang dan untuk selamanya.
“Alam maut tidak akan menguasainya,” demikian Yesus terus menyertai perjalanan gereja.
Apakah anda bangga dan bersyukur menjadi orang Katolik yang dipimpin oleh Petrus dan para penggantinya?
Apakah anda merasa bersatu dengan gereja universal yang dipimpin oleh Paus sebagai pengganti Petrus?
Malam malam ribut mengejar tikus,
Yang bersembunyi nyaman di bawah meja.
Gereja dibangun di atas wadas yaitu Petrus.
Mari wujudkan perutusan Tuhan bagi kita semua.
Cawas, Santo Petrus doakanlah kami…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
The playlist identified with the request's playlistId
parameter cannot be found.