Teladan Swargi Rm. Martana.

SETIAP kali pergi ke makam Kentungan, saya menyempatkan diri berdoa di depan pusara Rm. Martana dan Rm. Adiwardaya. Mereka adalah sosok idola saya.

Rm. Martana adalah pamong di Seminari Mertoyudan kala itu. Ia imam yang sederhana, bersahaja, rendah hati dan welcome bagi siapa pun.

Bahkan ketika sakit pun, ia dengan senyum ceria selalu menerima siapa pun yang bezoek di ruangannya. Ia merangkul sakitnya dengan sukacita.

Kendati selang ada dimana-mana, ia tidak pernah mengeluh dan kelihatan selalu gembira. “Kanker itu juga pengin hidup seperti kita, kebetulan dia memakai lidah saya,” katanya mengharukan.

Selama masih bisa berjalan, setiap pagi dia mengiringi perayaan ekaristi dengan main organ di kapel.

Dia juga mengiringi koor para perawat saat lomba HUT Rumah Sakit Panti Rapih. Ia gunakan segala kemampuannya untuk melayani orang lain.

Ketika sudah tidak bisa bicara, tangannya selalu mengacungkan jempol, matanya selalu berbinar dan kepalanya mengangguk untuk menyapa dan memberi semangat orang lain.

Kita sedih melihatnya, namun dialah yang malah menghibur dan menyemangati kita.

Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya agar menggunakan anggota tubuh untuk melayani sesama. Jangan sampai anggota tubuh itu menyesatkan kita.

“Jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik dengan tangan terkudung masuk dalam kehidupan, daripada dengan utuh kedua belah tanganmu masuk ke dalam neraka.”

Begitu juga dengan kaki dan mata, jika mereka menyesatkan maka penggal saja. Lebih baik kehilangan kaki atau mata tetapi masuk ke dalam kehidupan.

Orang pasti akan menderita jika tidak punya mata, kaki dan tangan. Tetapi akan lebih menderita lagi jika tangan, mata dan kaki justru membawa kita masuk ke neraka.

Romo Martana memberikan seluruh tubuhnya, tangan, mata dan kaki untuk bisa memuji Tuhan dan berjasa bagi orang lain.

Bahkan dalam kondisi sakit pun, tidak menghalangi dia untuk terus berguna bagi sesama. Bahkan dia menerima penyakit itu dengan ikhlas di dalam tubuhnya.

Kendati sakit, dia tidak ingin orang lain menjadi susah dan menderita.

Semangat itulah yang menjadi garam yang terus memberi warna dalam kehidupan.

Yesus mengingatkan, “Hendaklah kalian selalu mempunyai garam dalam dirimu, dan selalu hidup berdamai seorang dengan yang lain.”

Marilah kita gunakan mata, kaki, tangan, mulut, telinga dan semua yang ada untuk memuliakan Tuhan dan membahagiakan sesama di sekitar kita.

Buah cempedak buah semangka,
Dijual di pasar kota Surabaya.
Mari gunakan seluruh diri kita,
Untuk membahagiakan sesama.

Cawas, urip iku urub….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr