by editor | Jul 26, 2020 | Renungan
WAKTU menjadi frater di Tahun Rohani Jangli, kami diajari membuat roti oleh suster-suster Elisabet. Kami diajari bagaimana mencampur tepung dan ragi, sedikit garam dan air secukupnya, berapa ukuran yang tepat untuk membuat roti.
Untuk membuat roti dibutuhkan bahan: 250 gram Tepung Terigu Protein, 5,5 gram / 0,5 sachet Ragi Instan, 30 gram / 2 sdm Margarin, 15 gram / 1 sdm Susu Putih Bubuk, 45 gram / 3 sdm Gula, 1 sdt Garam, 1 Butir Telur Ayam dan 250 ml Air Mineral.
Almarhum Rm. Suparyono dulu pandai bikin roti tawar ini. Dia selalu berhasil membuat roti bisa mengembang. Buatan saya tidak mengembang bahkan mengkal.
Romo Par bilang, “kamu kurang kalis atau kurang merata mengaduknya. Dua tangan dipakai untuk mengaduk dengan kekuatan penuh. Sampai adonan itu kenyal.” Katanya memberitahu rahasianya.
“Adonan yang sudah merata didiamkan dan ditutup dengan kain selama tiga puluh menit.” Dia menasehati saya. Setelah beberapa kali latihan, akhirnya berhasil juga membuat roti tawar.
Hari ini Yesus memberi perumpamaan lagi tentang biji sesawi yang ditabur dan tumbuh berkembang menjadi pohon yang bercabang-cabang. Juga ada perumpamaan tentang ragi yang diaduk di dalam tepung dan membuat adonan menjadi mengembang.
Yesus tidak menjelaskan apa-apa. Mungkin Yesus berharap kepada kita yang menjadi murid-Nya untuk dapat menjadi ragi.
Jika Kerajaan Allah diumpamakan ragi, kita yang adalah anak-anak Kerajaan diminta untuk membuat tepung menjadi mengembang.
Tepung bisa diartikan dunia. Ragi atau kita sebagai anak-anak Kerajaan diutus masuk ke dunia dan mengembangkan dunia agar dapat menjadi roti yang enak.
Agar kita dapat mengembangkan dunia, seperti ragi yang kamir di dalam adonan, kita pun diharapkan bisa “manjing ajur ajer” di dalam dunia. Kita merasuki segala bidang kehidupan.
Misalnya, orang Katolik harus masuk ke dunia politik. Bidang politik harus diberi ragi supaya nilai-nilai Katolik mewarnai dunia kita.
Ada banyak bidang kehidupan yang bisa kita masuki. Sekarang bukan hanya dunia nyata yang butuh ragi, dunia maya atau media sosial pun butuh ragi kristiani.
Nilai-nilai Injil bisa dimasukkan untuk menyucikan semua bidang kehidupan kita. Maukah kita menjadi ragi yang bisa memberi kebaikan dan mengembangkan?
Ingat penerbangan dari Abu Dhabi.
Selimut biru jadi penghangat badan.
Murid Kristus harus menjadi ragi.
Membuat dunia menjadi nyaman.
Cawas, kurikulum….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Jul 25, 2020 | Renungan
“Harta Yang Paling Berharga”
PANDU sangat mencintai Madrim. Ketika istrinya itu hamil, ia “ngidham” meminta kepada suaminya untuk bisa naik lembu Andini. Lembu Andini itu adalah tunggangan Batara Guru, rajanya para dewa.
Permintaan tersebut terlalu berani. Hal ini dianggap pelecehan bagi para dewa. “Ing atase” seorang manusia ingin naik lembu milik dewata. Karena cintanya kepada Madrim, Pandu meminta ijin ke Kahyangan untuk meminjam lembu Andini. Batara Guru murka.
“Pukulun, sebagai suami dan raja maharaja, saya harus bisa memenuhi permintaan istri saya. Dia adalah segala-galanya bagi saya. Apa pun yang terjadi saya berani menanggungnya. Saya bersedia mati masuk neraka jahanam. Demi Madrim mutiara hidupku, saya memohon ijin, meminjam Lembu Andini, tunggangan Paduka Pukulun.”
Bagi Pandu, tidak ada harta yang paling berharga kecuali kebahagiaan istrinya. Ia berani bersumpah siap mati demi terpenuhinya keinginan Madrim. Sumpah Pandu benar-benar terjadi. Kebahagiaanya tidak lama. Ia dan Madrim mati setelah melahirkan anak kembar, Pinten dan Tangsen.
Dalam bacaan hari ini, Yesus menggambarkan bahwa Kerajaan surga itu seumpama harta terpendam yang ditemukan orang. Ia menjual seluruh miliknya dan membeli ladang itu.
Kerajaan surga itu seumpama mutiara yang sangat berharga. Ia menjual semua miliknya untuk mendapatkan mutiara itu.
Bagi kita semua, apakah harta yang paling berharga dalam hidup ini? Masing-masing orang bisa berbeda-beda tergantung pilihan prioritasnya.
Ada yang menjawab keluarga sebagai harta paling berharga. Ada yang menjawab; anak, pasangan hidup, pekerjaan, prestasi, kesuksesan, hobby, kesehatan, kesenangan, dll. Kita berani mengorbankan segalanya demi mendapatkan hal yang paling berharga itu.
Apakah ada yang menemukan bahwa Allah adalah harta yang paling berharga? Dan kemudian berani meninggalkan segalanya demi mengasihi Allah?
Yesuslah orang yang menemukan Allah sebagai harta tak terperi, sehingga Dia berani mati dan lepas bebas meninggalkan segalanya demi melaksanakan kehendak-Nya.
Mari kita menemukan mutiara atau harta paling berharga dalam hidup kita. maka seluruh hidup kita ini akan menjadi sebuah perjuangan terus menerus untuk memperolehnya.
Harta yang paling berharga adalah keluarga.
Istana yang paling indah adalah keluarga.
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga.
Mutiara tiada tara adalah keluarga.
Cawas, kurikulum daring….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Jul 24, 2020 | Renungan
“Pejabat Itu Pelayan Bukan Penguasa”
KALAU kekuasaan itu menjadi tujuan hidup dan memberi kebahagiaan, mengapa Adolf Hitler, yang menjadi diktator Jerman dan punya kekuasaan absolut mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri pada 30 April 1945?
Setelah minum racun sianida bersama istrinya, Eva Braun, yang dinikahi sehari sebelumnya, Hitler kemudian menembak dirinya sendiri dengan pistol. Hitler menjadi kanselir sejak Januari 1933. Ia menggunakan kekuasaannya secara otoriter. Siapa melawan dihantam.
Ia pandai berorasi dan mengobarkan anti Semit, anti Yahudi dan anti komunis. Dengan Nazi sebagai mesin partainya, Hitler menjadi orang paling berpengaruh. Mereka yang berani beroposisi langsung ditangkap, dipenjara di kamp konsentrasi atau dibunuh.
Kekuasaannya berakhir mengenaskan seiring dengan kematiannya yang tragis. Kekuasaan itu bukan untuk menindas, tetapi untuk melayani orang banyak.
Hari ini kita rayakan Pesta Santo Yakobus rasul. Ibunya datang kepada Yesus dan meminta ijin supaya kedua anaknya, Yakobus dan Yohanes diberi “jabatan” ketika Yesus menjadi raja kelak.
Ibu itu meminta, “Berilah perintah, supaya kedua anakku ini kelak boleh duduk di dalam kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu, dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.”
Tidak ada yang salah. Seorang ibu pasti menginginkan anak-anaknya berhasil. Dengan segala macam cara ibu ingin anaknya bahagia. Semua ibu pasti begitu.
Namun Yesus memberi syarat yakni mereka harus bersedia meminum cawan seperti yang Dia minum. Cawan berarti kematian di salib, sebagaimana yang dikatakan Yesus di Taman Getsemani. Minum cawan berarti berani memanggul salib sampai akhir.
Salib berarti konsekuensi dari perutusan. Perutusan Yesus adalah menjadi hamba, pelayan. Maka Dia mengajarkan kepada murid-murid-Nya bagaimana menjadi penguasa atau pembesar di tengah masyarakat.
“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.”
Ia datang untuk menjadi teladan, “Sama seperti Anak Manusia; Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”
Semangat menjadi hamba, mau melayani dan berkorban bagi banyak orang hendaknya menjadi spirit kita semua teristimewa bagi para pembesar atau pejabat publik.
Ke Purwokerto lewat Gombong.
Singgah di Blabag beli tahu kupat.
Jadi penguasa bukan untuk sombong.
Tetapi mengabdi dan melayani masyarakat.
Cawas, kangen di SD…
Rm. A. Joko Purwanto,Pr
by editor | Jul 24, 2020 | Renungan
“SAYA belum pernah berhasil menanam pisang kepok di tanah saya, romo.” Kata Pak Anang di rumahnya. Suatu hari saya singgah di rumah Pak Bartolomeus Anang di Pangkalan Suka sepulang dari Kebuai. Kami minum kopi sambil menikmati pisang goreng.
“Saya sudah mencoba berkali-kali menanam pisang kepok, tetapi selalu gagal. Entah kenapa saya kurang tahu. Mungkin tanahnya tidak cocok untuk pisang kepok.”
Biasanya jenis pisang itu mudah ditanam dimana saja. Pisang kepok akan tumbuh subur di tanah yang gembur dan banyak humus. Sebaliknya dia tidak mau hidup di tanah berkapur atau tanah berat.
Pisang kepok juga butuh tanah dengan resapan yang tinggi karena dia tidak mau hidup di tanah yang mengandung garam. Tidak boleh ada banyak genangan karena akan merusak dan mengganggu pertumbuhan batang pisang.
”Kalau kita makan pisang goreng seperti ini pasti bukan hasil kebun sendiri, tapi ibu membeli di warung orang Jawa. Kalau hasil kebun sendiri ya ubi ini.”
Yesus menjelaskan tentang benih yang ditabur orang. kondisi tanah dimana benih itu ditabur akan sangat mempengaruhi pertumbuhannya. Benih yang ditabur di pinggir jalan akan dimakan burung. Iman yang sudah ditanam dirampas si jahat. Benih yang di bebatuan bisa tumbuh tetapi hanya sebentar. Sesudah itu layu.
Seperti iman yang tumbuh di tanah gersang bebatuan, karena ada kesulitan dan hambatan kemudian mati. Benih yang dihimpit semak berduri juga demikian. Tipu daya kekayaan, kenikmatan, kesenangan menghimpitnya sehingga iman tidak berbuah.
Iman itu seperti benih. Jika ia jatuh di tanah yang baik, ia akan menghasilkan buah berlimpah. Orang itu mendengarkan sabda dan melaksanakannya. Apakah kita memelihara benih iman yang ditanam Tuhan dalam diri kita? atau tanah macam apakah kita ini?
Hambatan-hambatan apa dalam diri kita yang membuat benih itu tidak bisa bertumbuh? Kemalasan, kesibukan, tidak bisa ngatur waktu, tugas-tugas kantor, mengurus anak-anak, sibuk dengan hobby pribadi.
Tuhan menghendaki agar kita menghasilkan buah. Hilangkan hambatan yang mengganggu tumbuhnya benih dalam diri kita. Niscaya hidup kita akan menjadi berkat bagi banyak orang.
Nikmat klepon daripada cucur.
Crooot di mulut langsung bergairah.
Jadilah tanah yang subur.
Bisa hasilkan berkat yang berlimpah.
Cawas, habis playgroup masuk TK…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Jul 22, 2020 | Renungan
“HANYA suara burung yang kau dengar,
dan tak pernah kaulihat burung itu,
tapi tahu burung itu ada di sana.
hanya desir angin yang kaurasa,
dan tak pernah kaulihat angin itu,
tapi percaya angin itu di sekitarmu.
hanya doaku yang bergetar malam ini,
dan tak pernah kaulihat siapa aku,
tapi yakin aku ada dalam dirimu”
Beberapa hari yang lalu penyair Sapardi Djoko Damono dipanggil Tuhan. Puisi di atas adalah salah satu ciptaannya.
Karnyanya sangat bagus, indah, lembut dan mendalam maknanya. Puisinya melintasi waktu dan generasi. Kendati dia termasuk senior tetapi hasil karyanya bisa dinikmati anak-anak muda zaman sekarang.
Seperti puisi di atas, Yesus menjelaskan kepada para muridnya tentang perumpamaan-perumpamaan yang sering dipakai untuk mengajar. “Itulah sebabnya Aku mengajar mereka dengan perumpamaan, karena biarpun melihat, mereka tidak tahu, dan biarpun mendengar, mereka tidak menangkap dan tidak mengerti.”
Bisa jadi perumpamaan-perumpamaan itu seperti bahasa sindiran. Orang Jawa bilang, “Nggutuk lor kena kidul.” Melempar ke utara, yang kena di bagian selatan.
Contoh kecil, ada anak muda duduk di dalam kereta api yang penuh sesak. Naiklah orang yang lanjut usia di kereta itu. Dia ikut berdiri berdesak-desakan.
Anak muda itu tanpa mempedulikan tetap main game di HP dan mendengarkan musik dengan headsetnya. Anak muda ini melihat tetapi tidak mau tahu. Ia melihat tetapi hatinya “kethul” tumpul. Ia tidak mengerti.
Di sekolah atau di gereja saat kotbah, banyak murid atau umat mendengar bapak ibu guru berbicara, atau pastor berkotbah. Namun sering kita tidak mengerti apa yang diajarkan atau dikotbahkan.
Kita mendengar tetapi pikiran kita ada dimana-mana. Kita mendengar dengan telinga tetapi tidak berkonsentrasi dengan hati.
Yesus mengutip apa yang dikatakan Nabi Yesaya, “Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup, agar jangan mereka melihat dengan matanya, mendengar dengan telinganya, dan mengerti dengan hatinya.”
Maka yang dibutuhkan bukan hanya mata dan telinga, namun juga hati untuk mengerti. Maka seringlah gunakan hatimu untuk mengerti apa yang tidak kelihatan.
Sudah lama tidak naik ke Bukit Cinta.
Karena sedang karantina mandiri.
Jangan hanya melihat dengan mata.
Tetapi gunakanlah hatimu untuk mengerti.
Cawas, rindu masuk playgroup….
Rm. A. Joko Purwanto,Pr