Berbuat Baik, Apa Susahnya?

“…belajarlah berbuat baik, usahakanlah

keadilan” (Yes 1:17)

Sebagai makhluk sosial, manusia pasti saling membutuhkan satu individu dengan individu lainnya. Dalam menjalani kegiatan sehari-hari, setidaknya tiap-tiap manusia akan bertemu dengan satu atau dua manusia yang lain. Baik itu keluarga, kerabat, teman sekantor, ataupun orang lain yang ditemui. Salah satu cara menjaga relasi yang baik antar umat manusia adalah dengan berbuat baik. Berbuat baik tidak melulu kita lakukan ketika kita sudah menerima kebaikan dari orang lain. Namun, alangkah lebih mulia ketika kitalah yang mengawali untuk berbuat baik dengan orang lain, dan berharap orang tersebut juga berbuat hal yang sama seperti yang kita lakukan terhadapnya.

Berbuat baik tidak ada yang merugikan diri kita. Walaupun dalam perkara kecil sekalipun, perbuatan baik akan menjadi penyejuk hati bagi yang melakukan dan pertolongan yang berarti bagi yang menerima. Karena dari hal-hal kecil lah yang bisa kita jadikan pelajaran dan kebiasaan untuk selalu berbuat baik, sehingga kita pun mampu berbuat baik dalam perkara yang lebih besar. Sebagai contoh, ketika teman sekantor kita melakukan kesalahan sehingga membuat marah atasannya, kita bisa membantu menyelesaikan permasalahan pekerjaannya dan menghiburnya untuk meringankan beban yang dipikulnya. Seperti yang diajarkan oleh Nabi Yesaya, yaitu seorang Nabi yang pada waktu itu dikenal sebagai sosok pejuang keadilan sosial dan pewarta kerahiman Tuhan yang menghargai pertobatan hidup.

          Kutipan sabda dari Nabi Yesaya yaitu “…belajarlah berbuat baik, usahakanlah keadilan”, Nabi Yesaya berpendapat bahwa belajar berbuat baik dapat dilakukan dengan mengusahakan keadilan, mengendalikan orang-orang kejam, membela hak-hak anak yatim, memperjuangkan perkara para janda pada saat itu (Yes 1:17). Jika melihat situasi saat ini, pendapat Nabi Yesaya tersebut membuat kita memiliki pandangan luas lagi mengenai hal berbuat baik dan juga dalam hal memperjuangkan keadilan.

            Pada masa sekarang ini, perbuatan baik yang salah satunya adalah menegakkan keadilan masih sulit sekali didapatkan oleh sebagian orang. Keadilan dapat terwujud ketika setiap orang mendapatkan porsi yang sama dalam situasi yang berbeda-beda. Dalam kerahiman dan belas kasih Allah, setiap perbuatan baik dan perjuangan keadilan akan makin menyempurnakan peradaban kasih di tengah masyarakat kita.

Setiap kita selesai melakukan kegiatan sehari-hari, perlu ditanamkan pada diri kita pertanyaan sederhana yaitu “Sudahkah aku berbuat baik hari ini?”. Ini akan membuat kita merenungkan hal-hal baik apa yang sudah kita berikan kepada orang lain. Dan jika kita belum melakukan perbuatan baik, pertanyaan tersebut akan membuat kita termotivasi untuk melakukan perbuatan yang baik pada keesokan harinya. Sedikit demi sedikit kita harus melatih empati kita dalam melihat segala kejadian yang ada di sekitar kita. Karena jika hal tersebut kita lakukan secara rutin, kebiasaan berbuat baik kepada sesama walaupun hanya menebarkan senyuman sekalipun akan terpatri di dalam hati kita.

Marilah dalam masa Paskah ini, kita belajar bersyukur atas kerahiman dan belas kasih Allah kepada kita dan memohon rahmat agar senantiasa dimampukan menjadi pribadi yang lebih baik. Terutama bagi para orang muda Katolik, hendaknya kita dapat turut serta dalam memperjuangkan keadilan sosial disekitar kita di manapun kita berada tanpa melihat perbedaan agama, ras, suku, maupun budaya. Jadilah garam dan terang bagi dunia kita saat ini. Terlebih lagi ketika masa pandemi tiba seperti ini, kita orang muda Katolik bisa menjadi pelopor untuk karya-karya baik Tuhan dalam kehidupan menggereja maupun kehidupan sosial kita.

 

Penulis : Polikarpus Olivio

Editor : Gisella Maria

 

Sumber :

Buku Renungan Harian Masa Prapaskah 2021, Keuskupan Agung Semarang

Puncta 18.04.21 / Minggu Paskah III / Lukas 24:35-48

 

“Kamu Adalah Saksi-Ku”

GEORGE Foreman adalah petinju besar yang sepantaran dengan Mohamad Ali, Joe Frazier dan Ken Norton. Dari anak jalanan yang nakal, ia menemukan talenta bertinju di sekolahnya.

Puncak kariernya melejit saat ia mengalahkan Joe Frazier tahun 1973. Ia menjadi juara dunia kelas berat sebanyak dua kali.

Namun setahun kemudian dia terjungkal di ring tinju saat dipukul KO Mohamad Ali dalam pertarungan bertajuk “Rumble in the Jungle” di Zaire, Kongo Oktober 1974.

Ia memburu dan memukul Ali dengan membabi buta. Ali hanya bertahan di ring tinju. Ketika tahu Foreman sudah kelelahan, pada ronde ke delapan, Ali melancarkan jab dan serangan balik yang menjatuhkan Foreman. Juara dunia itu tersungkur KO.

Sejenak Foreman tak sadarkan diri di kamar ganti. Ia bercerita, seperti ada tangan perkasa yang menangkapnya. “Itulah tangan Yesus yang menarik saya untuk suatu pelayanan.” Katanya setelah sadar.

Ia kemudian pensiun dari dunia tinju dan menjalankan misinya. Ia mewartakan dan berkotbah tentang Yesus Kristus di kotanya di Houston, Texas sampai sekarang.

Seperti George Foreman yang jatuh bangun, para murid itu juga sering gagal memahami kebangkitan Yesus.

Mereka takut, ragu-ragu, tidak percaya ketika Yesus menampakkan diri. Yesus harus membimbing dan meyakinkan mereka bahwa Ia hidup.

Dan kini Yesus menyuruh mereka mewartakan berita pertobatan dan pengampunan dosa kepada segala bangsa.

“Mesias harus menderita, dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga. Dan lagi, dalam Nama-Nya, berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamu adalah saksi dari semua ini.”

Kendati iman kita belum sempurna, sering gagal dan jatuh bangun, namun Yesus meminta kita untuk bersaksi. Kita diutus mewartakan semangat pertobatan dan kasih Allah yang selalu mengampuni. Siapkah kita menerima perutusan-Nya?

Saya divaksin yang kedua,
Makin sehat dan bahagia.
Walau kita tidak sempurna,
Yesus mengutus kita jadi duta cinta.

Cawas, mari bersaksi…
Rm. Alexandre Joko Purwanto,Pr

Puncta 17.04.21 / Sabtu Pekan Paskah II / Yohanes 6:16-21

 

“Melihat Hantu”

ACARA penerimaan jubah baru selesai. Frater Bambang, sebut saja namanya begitu, menggantung jubah barunya di pintu.

Kamar frater itu berukuran 3×4 meter. Di situ ada tempat tidur, almari kecil, rak buku dan meja belajar. Kamar mandi ada di ujung unit berjejer menjadi satu dengan unit yang lain. Kalau mau mandi atau mencuci harus keluar kamar, melewati lorong-lorong unit.

Malam pertama penjubahan itu Frater Bambang tidur nyenyak saking bahagianya sudah dipanggil “romo muda.” Tengah malam gelap ia terbangun mau ke kamar mandi.

Ia terkejut setengah mati karena melihat hantu putih di kamarnya. Matanya diusap-usap siapa tahu hanya bayangan saja. Hantu itu makin jelas.

Ia mulai ketakutan. Ia berlutut “dremimil” berdoa Salam Maria. Tetapi hantu itu tidak bergeming. Malah ia melihat seolah hantu itu terbang, kakinya tidak menyentuh di tanah.

Ia ketakutan sampai basah celananya. Karena tak tahan menahan kencing, ia meraba-raba sandalnya dan dilemparkan ke arah sang hantu. “Glodak…..” suaranya keras. Jubah putih dan hangernya jatuh ke lantai.

Ia terduduk di lantai menyadari kebodohannya. Ia lupa, ternyata jubah putih tergantung itu yang membuatnya takut sampai terkencing-kencing.

Ketika hari sudah mulai malam, para murid naik perahu menyeberang ke Kapernaum. Ketika hari gelap, Yesus belum datang. Laut bergelora karena angin kencang.

Dalam situasi yang parah itu, Yesus datang berjalan di atas air. Mereka ketakutan. Mungkin mereka mengira ada hantu datang.

Tetapi Yesus berkata, “Ini Aku, jangan takut.” Lalu mereka mempersilahkan Yesus naik ke perahu, dan mereka sampai tujuan dengan selamat.

Di tengah perjalanan hidup, pasti kita pernah mengalami kesulitan. Kita takut, sedih, cemas dan putus asa. Dalam gejolak seperti itu, kita perlu mendengarkan sabda Tuhan, “Jangan takut.”

Tidak cukup hanya mendengarkan, tetapi mempersilahkan Tuhan masuk ke bahtera kita. Jika Tuhan bersama kita, seberapa besar badai hidup kita, pasti dapat dilalui. Maukah kita mengundang Tuhan?

Jubah putih bikin gelisah.
Dikira melihat hantu.
Kalau hidup kita susah.
Hadirkan Tuhan bersamamu.

Cawas, selalu bersyukur….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 16.04.21 / Jum’at Pekan Paskah II / Yohanes 6:1-15

 

“Jangan Ada Yang Terbuang,” Menghargai Orang Kecil.

“YEN mangan kudu resik, ora kena sisa, mengko mundhak pitike mati.” Itu adalah nasehat orang-orang tua kepada anaknya. “Kalau makan harus bersih, tidak ada sisa, nanti ayamnya mati.”

Tentu saja saya waktu itu tidak tahu apa hubungannya makan tidak habis dengan ayam yang mati. Saya menuruti saja yang disampaikan orangtua.

Sejak kecil saya dididik orangtua untuk menghargai sebiji nasi yang ada di piring.

Kalau kita makan, orangtua selalu menasehatkan agar apa yang sudah diambil di piring dihabiskan.

Tidak boleh ada yang dibuang sedikit pun. Setiap kali makan, piring harus bersih, tak boleh ada nasi berceceran.

Setelah bisa berpikir, nasehat orangtua itu banyak manfaatnya. Kita diajak menghargai rejeki pemberian Tuhan. Kita juga menghargai jerih payah orangtua yang bekerja keras agar keluarga bisa makan.

Selain itu kita juga belajar “ngukur” kemampuan diri. Kalau kita hanya bisa makan sedikit, jangan mengambil banyak-banyak, karena nanti hanya dibuang. Mengambil makanan seperlunya saja.

Paus Fransiskus pernah bilang, “Membuang makanan berarti kita merampas hak orang miskin.” Itulah sebabnya jangan sampai ada makanan yang dibuang sia-sia.

Yesus mempergandakan lima roti dan dua ikan dari seorang anak kecil. Bagi para murid lima roti dan dua ikan apalah artinya bagi sekian ribu orang. Tetapi jika yang sedikit itu disyukuri pastilah akan cukup bagi banyak orang.

Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikan kepada mereka semua.

Bila kita mampu bersyukur, maka akan cukup, bahkan bisa lebih. Maka Yesus berkata, “Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih, supaya tidak ada yang terbuang.”

Mari kita menghargai dan mensyukuri rejeki pemberian Tuhan. Janganlah boros dengan membuang makanan.

Masih ada banyak saudara kita yang tidak bisa makan. Kalau kita membuang makanan berarti kita tidak punya rasa syukur dan belarasa terhadap mereka yang kelaparan.

Pagi-pagi makan bubur,
Bubur babi di jalan supratman.
Kalau kita punya rasa syukur,
Hidup kita akan berkelimpahan.

Cawas, marilah bersyukur….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 15.04.21 / Kamis Pekan Paskah II / Yohanes 3:31-36

 

“Lebah dan Lalat”

PERNAHKAH anda memperhatikan naluri kedua serangga ini? Mata lebah akan selalu mencari bunga yang indah walau ia berada di tempat yang kotor.

Sedang lalat akan fokus pada kotoran walau di situ ada bunga yang indah.

Lebah fokus pada bunga yang indah agar menghasilkan madu yang manis.

Sedang lalat tertarik pada kotoran dan membawa kuman serta penyakit.

Lebah hidup dalam komunitas. Mereka kompak bekerja sama. Mereka punya tata aturan dan hirarki yang rapi.

Sedangkan lalat lebih individualistis dan mencari makan sendiri-sendiri.

Yohanes Pembaptis bersaksi tentang Yesus kepada murid-murid-Nya, “Siapa yang datang dari atas ada di atas semuanya; siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi. Siapa yang datang dari surga ada di atas semuanya.”

Yesus itu seperti lebah. Ia mencari bunga yang indah dan menghasilkan madu yang manis. Ia mewartakan yang baik dan menghasilkan keselamatan.

Yesus datang dari surga dan memberi kesaksian tentang hal-hal yang baik.

Barangsiapa memelihara lebah, ia akan memperoleh madu. “Barangsiapa percaya pada Anak, ia beroleh hidup yang kekal.”

Beda dengan lalat. Ia lebih tertarik pada yang kotor walau di situ ada bunga indah.

“Siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi.”

Walau ada yang indah dari surga, tetapi manusia yang nalurinya seperti lalat tetap berada di bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi.

Lalat tidak akan dipelihara seperti lebah. Ia akan dipukul dan mati.

“Barangsiapa tidak taat pada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.”

Kalau anda mau hidup, pilihlah cara hidup lebah. Kalau anda ingin melihat hidup, percayalah kepada Yesus Anak Allah.

Hiduplah berkomunitas seperti lebah. Hiduplah dalam paguyuban gereja agar tidak terpisah.

Jadilah lebah penghasil madu yang manis. Jadilah anak Allah agar hidupmu tetap romantis dan kebaikanmu tak pernah habis.

Pilihlah lebah karena kita adalah anak Allah.
Jangan memilih lalat karena kelakuannya jahat.

Cawas, tetap setia….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr