Puncta 14.04.21 / Rabu Pekan Paskah II / Yohanes 3:16-21

 

“A Story of Father’s Love”

Kisah nyata ini terjadi tahun 1938. John L.Griffith Sr. adalah penjaga jembatan Sungai Mississippi. Ia bertugas mengangkat tuas supaya kapal bisa lewat, dan menurunkannya agar jembatan turun dan kereta api bisa melintas. Waktu bertugas ia mengajak Lajo, anaknya yang sangat dia sayangi.

John berada di pos kontrol. Telpon berbunyi, mengabarkan bahwa sebuah kapal akan lewat. John menaikkan jembatan.

Tidak lama dari kejauhan Lajo melihat datangnya kereta api. Ia berteriak-teriak memanggil ayahnya. Namun John tidak mendengar.

Kereta api makin mendekat. Lajo berusaha menarik tuas yang ada di bawah jembatan. Malang, ia terpeleset dan jatuh.

John terperanjat ketika tahu Kereta Expres dari Memphis melaju kencang. Ia berada dalam suatu dilema.

Menarik tuas untuk menyelamatkan 400 penumpang di dalam kereta, tetapi ia harus mengorbankan anaknya mati tertindih jembatan. Pilihan yang sulit.

Pada detik-detik terakhir, dengan tangannya yang gemetar, ia menarik tuas. Jembatan itu turun menindih anaknya. Kereta api itu melaju aman di atasnya dan semua penumpangnya diselamatkan.

Yesus berkata kepada Nikodemus, “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Allah mengutus Putera-Nya untuk menyelamatkan dunia. Seperti John mengorbankan anaknya yang dikasihi untuk menyelamatkan para penumpang kereta api, demikianlah Allah mengorbankan Yesus untuk menebus dosa-dosa manusia.

Kita ini seperti para penumpang kereta; mereka adalah orang-orang yang kesepian, kecanduan, egois, dikuasai amarah, hawa nafsu, ketegaran hati.

Mereka adalah orang yang hidup dalam kegelapan. Yesus datang sebagai terang yang menghalau gelap.

Ia mati untuk menyelamatkan kita yang berdosa. Itulah wujud kasih Allah yang paling besar. Putera-Nya sendiri dikurbankan bagi kita.

Marilah kita syukuri hidup ini, karena hidup kita ini sangat berharga di mata Tuhan. Sedemikian Ia mengasihi kita, sampai Anak-Nya sendiri mati untuk kita.

Janganlah sia-siakan waktu hidup kita ini.

Tengak-tengok angka tanggalan.
Hitung-hitung angka merahnya.
Hidup kita berharga di mata Tuhan.
Ia kurbankan Anak-Nya untuk kita.

Cawas, ngemong, momong, mbopong……
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 13.04.21 / Selasa Pekan Paskah II / Yohanes 3: 7-15

 

“Beroleh Hidup Yang Kekal”

Kawruhana sejatining urip (ketahuilah sejatinya hidup ini).
urip ana jroning alam donya (hidup di dalam alam dunia),
bebasane mampir ngombe (ibarat orang yang singgah untuk minum),
umpama manuk mabur (ibarat burung terbang)
lunga saka kurungan neki (pergi dari kurungannya),
pundi pencokan benjang (dimana hinggapnya kelak).
awja kongsi kaleru (jangan sampai keliru).
umpama lunga sesanja (umpama orang pergi bertandang),
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih (saling bertandang, yang pasti bakal pulang),
mulih mula mulanya (pulang ke asal mulanya).

Kitab dalam bahasa Jawa itu menerangkan bahwa hidup yang kekal itu tidak ada di dunia ini. Dunia ini hanya tempat manusia singgah untuk minum.

Ibarat burung yang terbang, ia akan hinggap ke tempat asalnya. Ibarat orang bertamu, ia akan kembali ke asal mula atau rumah abadinya.

Yesus dan Nikodemus saling berdiskusi untuk membuka rahasia kehidupan kekal. Nikodemus hanya membaca huruf-huruf dalam Kitab Taurat, tetapi dia tidak memahami dan mendalaminya.

Maka ia bertanya kepada Yesus, “Bagaimanakah mungkin hal itu terjadi?” Nikodemus ibarat Resi Durna yang bertanya tentang “sejatining urip” kepada Bima Suci, muridnya.

Yesus balik bertanya, “Engkau adalah pengajar Israel, dan engkau tidak mengerti hal-hal itu?”

Kemudian Yesus “mbabar kawruh sejatining urip” atau menjelaskan rahasia hidup yang kekal. Yesus berbicara tentang hal-hal surgawi karena Ia berasal dari surga, bukan dari dunia.

“Tidak ada seorang pun yang telah naik ke surga, selain Dia yang telah turun dari surga, yaitu Anak Manusia.”

Manusia itu aslinya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Identik dengan ungkapan saudara-saudara kita Muslim, “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojii’un. Yang artinya “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”

Salah besar jika kita memutlakkan hal-hal duniawi ini sebagai sesuatu yang langgeng dan sempurna.

Hidup kekal atau hidup yang sempurna itu tidak ada di dunia ini. Dunia kita ini adalah tempat berjuang agar mencapai hidup yang kekal.

Bagaimana caranya? Jawaban Yesus adalah, “Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”

Dengan percaya kepada Yesus yang disalib (ditinggikan), maka kita akan mendapat hidup yang kekal. Apakah anda sudah memahami iman yang sangat dalam ini?

Di Jimbung ada legenda bulus,
Yang hidup di batu kerakal.
Dengan percaya pada salib Yesus,
Kita sampai ke hidup kekal.

Cawas, tetap semangat….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 12.04.21 / Senin Pekan Paskah II / Yohanes 3: 1-8

 

“Kebangkitan Nasional; Kesadaran Baru Sebagai Bangsa”

PADA tanggal 20 Mei kita selalu memperingati hari Kebangkitan Nasional. Tanggal itu adalah lahirnya Boedi Oetomo, sebuah organisasi mahasiswa STOVIA pada 1908. Wahidin Soedirohoesodo adalah penggagasnya.

Ada kesadaran baru para pemuda agar rakyat jelata juga bisa mengenyam pendidikan tinggi. Semboyan mereka adalah Indie Vooruit (Hindia Maju), bukan Java Vooruit. Ini adalah sebuah kesadaran baru. Sukuisme berubah jadi nasionalisme.

Dalam diskusi selanjutnya, muncul Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang pro perjuangan. Ia memberi roh baru dalam perjuangan kaum muda.

Ia mulai memperkenalkan kata “Tanah Air Indonesia” sebagai nafas perjuangan. Gerakan ini tidak hanya aksi kultural memajukan pendidikan, tetapi berkembang menjadi gerakan politik memperjuangkan kemerdekaan. Ini sebuah langkah maju buah nasionalisme.

Maka lahirnya Boedi Oetomo dipandang sebagai lahirnya kesadaran baru tentang Nasionalisme. Dimulainya semangat Kebangkitan Nasional.

Istilah Tanah Air Indonesia menumbuhkan kesadaran untuk merdeka. Perjuangan kemerdekaan itu melahirkan sebuah bangsa baru yakni Bangsa Indonesia, ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Inilah babak baru lahirnya sebuah bangsa.

Nikodemus, seorang Farisi terkemuka, datang waktu malam dan berbicara dengan Yesus. Malam hari adalah waktu yang cocok untuk sharing iman. Tapi bisa jadi ada nuansa takut ketahuan sesama Farisi, karena ia mendatangi Yesus, pihak seberang.

Pembicaraan mereka sangat berbobot dan mendalam. Nikodemus punya kesadaran pribadi yang baru. Ia berbeda dengan orang Farisi lainnya. Ia menerima bahwa Yesus adalah guru utusan Allah.

“Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorang pun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu jika Allah tidak menyertainya.”

Yesus mengajak Nikodemus melangkah lebih jauh, masuk ke dalam kesadaran baru. Untuk melihat tanda-tanda hadirnya Kerajaan Allah, orang harus dilahirkan kembali.

Nikodemus semakin ingin tahu, penasaran. Bagaimana bisa lahir kembali kalau ia sudah tua? Nikodemus masih berpikir “cethek”, dangkal atau di tataran fisik material semata. Masuk ke dalam rahim seorang ibu dan lahir kembali.

Yesus memasuki tataran lebih dalam yakni lahir bukan secara kedagingan, melainkan dari air dan Roh.

Kelahiran baru itu bukan kelahiran daging, melainkan kelahiran Roh. Roh Kudus menerangi kita dan memberi kesadaran baru dan eksistensial.

Saya membayangkan Nikodemus itu seperti Douwes Dekker. Ia berani melahirkan pemikiran “Tanah Air Indonesia”. Pemikiran itu lalu dilahirkan kembali dalam wujud kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan teman-temannya. Nederland Indie lahir baru menjadi Indonesia.

Kelahiran dari air dan Roh itu adalah kesadaran baru, semangat dan keyakinan baru yang memerdekakan kita menjadi anak-anak Allah.

Jika kita mau menerima Yesus, kita akan punya kelahiran baru, kesadaran baru yang memerdekakan.

Bunga-bunga bermekaran,
Menghiasi taman dengan indah.
Karena rahmat pembaptisan,
Kita lahir baru sebagai anak-anak Allah.

Cawas, selalu bersyukur….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 11.04.21 / Minggu Paska II: Minggu Kerahiman Ilahi / Yohanes 20 : 19-31

 

Dari Ragu Menjadi Percaya; Pelajaran dari Outward Bound.

SAYA termasuk orang yang takut pada ketinggian, walau tidak sampai pada taraf acrophobia. Berada di tempat ketinggian, dalam istilah Jawa “singunen” bikin lutut bergetar.

Tidak percaya diri berada di tempat yang tinggi. Tidak berani melangkah atau ragu-ragu untuk berjalan, kalau tidak dituntun. Ini pun juga pengalaman iman.

Tahun 1990-an kami para romo pernah mengikuti kegiatan Outward Bound di Waduk Jatiluhur.

Aneka kegiatan dilakukan; menyeberang waduk pakai kano, hiking, panjat tebing, rope course; seperti Spider web, Climbing Tower, Rapelling sampai Flying Fox.

Tidak hanya saya yang takut, ragu dan kawatir. Hampir sebagian besar peserta merasa ngeri dengan high risk game seperti ini.

Untunglah waktu itu ada Rm. Suyadi yang dipaksa menjadi kelinci percobaan. Tolok ukurnya adalah Rm. Suyadi yang tubuhnya pendek dan gemuk.

Dia selalu menjadi yang pertama. Kalau dia sudah terbukti mampu melakukan, kami dengan percaya diri bisa melakukannya juga.

Latihan-latihan itu membuat kami yang awalnya ragu, bimbang, takut lalu berubah jadi berani, percaya diri, gembira dan selalu jadi bahan cerita yang menyenangkan.

Jadi penyemangat ketika mengalami tantangan yang sulit.

Tomas adalah murid yang ragu-ragu dan tidak mau percaya bahwa Yesus telah bangkit. Cerita-cerita penampakan Yesus kepada murid-murid yang lain tidak dipercaya.

Ia membutuhkan bukti langsung. “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu, dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya sekali-kali aku tidak akan percaya.”

Seminggu kemudian Yesus hadir menjumpai Tomas. Yesus dengan pelan mendatangi Tomas.

“Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku. Ulurkalah tanganmu dan cucukkanlah ke dalam lambung-Ku, dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.”

Dengan tersedu dan bersimpuh di depan Yesus, Tomas mengakui, “Ya Tuhanku dan Allahku.”

Inilah credo otentik dari seorang yang ragu-ragu dan kurang percaya.

Kita sering juga ragu dan tidak percaya seperti Tomas. Di Jatiluhur dulu kami kurang percaya, butuh bukti dulu.

Yesus tetap membimbing dengan sabar dan tekun. Ia hadir memberi peneguhan.

Sabda Yesus meneguhkan kita yang tidak bisa melihat, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”

Mari kita tetap percaya dengan bahagia, walau tidak melihat Yesus yang bangkit.

Tuhan kuatkanlah imanku agar tidak meragukan-Mu.

Minum sore pacitannya baceman tahu.
Ditemani teh poci gulanya jawa.
Ampunilah aku yang takut dan ragu.
Tuntunlah agar tetap yakin dan percaya.

Cawas, nikmat pocinya….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 10.04.21 / Sabtu Oktaf Paskah / Markus 16:9-15

 

“Kedegilan Hati”

PADA Hari Minggu Palma, kita dikejutkan dengan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar. Pelakunya adalah sepasang laki-laki dan perempuan.

Tiga hari kemudian, seorang perempuan nekad masuk di Mabes Polri, melakukan serangan dan akhirnya dilumpuhkan.

Sebelumnya pada Mei 2018 seorang perempuan dengan membawa dua anak melakukan aksi teror di Surabaya.

Pertanyaan saya, kenapa sekarang perempuan dan anak-anak dipakai atau dipercaya untuk menjadi teroris?

Padahal dulu hanya kaum laki-laki yang direkrut jadi teroris karena bisa masuk surga dan akan disambut bidadari molek bestari.

Mengapa sekarang perempuan dipercaya melakukan teror? Apa di surga sana sudah ada bidadara-bidadara yang siap melayani mereka?

Dalam bacaan hari ini, Maria Magdalena diminta mewartakan berita gembira, bahwa Yesus hidup. Tetapi Maria Magdalena tidak dipercaya. Mereka tidak mau mendengarkan omongan perempuan.

Mungkin karena dia seorang perempuan yang tidak punya hak dan kuasa. Namun dua murid yang pulang ke Emaus pun tidak dipercaya. Mereka adalah kaum lelaki, bagian dari kelompok mereka.

Mengapa mereka tidak mau percaya? Yesus menyebutkan karena kedegilan hati. Degil itu berarti tidak mau menuruti nasehat, keras kepala, kepala batu.

Degil berarti tidak mau mendengar nasehat orang lain. Ia merasa paling benar sendiri. Orang lain selalu dianggap salah.

Orang degil adalah orang yang keras hatinya seperti batu. Ia tidak peka terhadap kebenaran, tidak mau membuka hati.

Yesus mencela kedegilan hati dan ketidak-percayaan mereka. Namun Yesus tetap sabar membimbing mereka agar percaya.

Dengan berbagai macam cara Yesus mendidik para murid untuk percaya. Yesus terus mendampingi mereka agar terbuka hati dan budinya.

Memang sangat kontradiktif. Dengan diiming-imingi masuk surga dan disambut bidadari-bidadari molek orang rela mati jadi teroris, namun diajak berbuat baik, mewartakan kabar gembira, keselamatan Tuhan, orang kok tetap degil hatinya?

Mari kita membuka hati akan suara Tuhan. Tuhan bisa berbicara melalui siapa dan apa pun juga.

Jangan degil atau keras kepala. Jika kita mau membuka hati dengan jernih, kita akan melihat kebenaran yang membawa pada keselamatan.

Daripada keras kepala, kena aspal bocor otaknya.
Lebih baik lembut hati, pasti disukai para bidadari.

Cawas, semangat selalu…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr