Puncta 24.02.22 || Kamis BiasaVII/C || Markus 9: 41-50

 

Teladan Swargi Rm. Martana.

SETIAP kali pergi ke makam Kentungan, saya menyempatkan diri berdoa di depan pusara Rm. Martana dan Rm. Adiwardaya. Mereka adalah sosok idola saya.

Rm. Martana adalah pamong di Seminari Mertoyudan kala itu. Ia imam yang sederhana, bersahaja, rendah hati dan welcome bagi siapa pun.

Bahkan ketika sakit pun, ia dengan senyum ceria selalu menerima siapa pun yang bezoek di ruangannya. Ia merangkul sakitnya dengan sukacita.

Kendati selang ada dimana-mana, ia tidak pernah mengeluh dan kelihatan selalu gembira. “Kanker itu juga pengin hidup seperti kita, kebetulan dia memakai lidah saya,” katanya mengharukan.

Selama masih bisa berjalan, setiap pagi dia mengiringi perayaan ekaristi dengan main organ di kapel.

Dia juga mengiringi koor para perawat saat lomba HUT Rumah Sakit Panti Rapih. Ia gunakan segala kemampuannya untuk melayani orang lain.

Ketika sudah tidak bisa bicara, tangannya selalu mengacungkan jempol, matanya selalu berbinar dan kepalanya mengangguk untuk menyapa dan memberi semangat orang lain.

Kita sedih melihatnya, namun dialah yang malah menghibur dan menyemangati kita.

Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya agar menggunakan anggota tubuh untuk melayani sesama. Jangan sampai anggota tubuh itu menyesatkan kita.

“Jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik dengan tangan terkudung masuk dalam kehidupan, daripada dengan utuh kedua belah tanganmu masuk ke dalam neraka.”

Begitu juga dengan kaki dan mata, jika mereka menyesatkan maka penggal saja. Lebih baik kehilangan kaki atau mata tetapi masuk ke dalam kehidupan.

Orang pasti akan menderita jika tidak punya mata, kaki dan tangan. Tetapi akan lebih menderita lagi jika tangan, mata dan kaki justru membawa kita masuk ke neraka.

Romo Martana memberikan seluruh tubuhnya, tangan, mata dan kaki untuk bisa memuji Tuhan dan berjasa bagi orang lain.

Bahkan dalam kondisi sakit pun, tidak menghalangi dia untuk terus berguna bagi sesama. Bahkan dia menerima penyakit itu dengan ikhlas di dalam tubuhnya.

Kendati sakit, dia tidak ingin orang lain menjadi susah dan menderita.

Semangat itulah yang menjadi garam yang terus memberi warna dalam kehidupan.

Yesus mengingatkan, “Hendaklah kalian selalu mempunyai garam dalam dirimu, dan selalu hidup berdamai seorang dengan yang lain.”

Marilah kita gunakan mata, kaki, tangan, mulut, telinga dan semua yang ada untuk memuliakan Tuhan dan membahagiakan sesama di sekitar kita.

Buah cempedak buah semangka,
Dijual di pasar kota Surabaya.
Mari gunakan seluruh diri kita,
Untuk membahagiakan sesama.

Cawas, urip iku urub….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 23.02.22 || PW. St. Polykarpus, Uskup dan Martir || Markus 9: 38-40

 

“Jape Methe Dab”

KITA masih ingat di kalangan anak muda Jogja ada bahasa prokem yang diturunkan dari aksara Jawa. Mereka menyebut bahasa walikan Jogja.

Salah satu contohnya adalah kata “Jape methe Dab.” Ungkapan itu artinya “Cah-e dhewe Mas,” Searti dengan istilah orang Dayak Simpank “Onya Odop” yang artinya orang kita, teman sendiri, kelompok kita, pengikut kita.

Sebagai teman sendiri, kita sering membela, melindungi, menolong jika teman itu berada dalam kesulitan.

Misalnya, kita pernah dengar ada orang yang mengatakan bahwa di kayu salib itu ada jin kafir? Ungkapan itu sontak menimbulkan kegaduhan.

Ada yang protes, tidak terima, merasa dihina, bahkan ada yang melaporkannya ke polisi. Agama harus dibela.

Patung yang ada di salib itu disebut sebagai jin kafir. Ini jelas salib Katolik karena hanya salib Katolik yang ada patung (Corpus Christi).

Tetapi tidak sedikit reaksi yang bijak dengan memberi pengampunan dan tetap mengasihi orang yang menghina Tuhan Yesus. Mengapa demikian?

Perikop Injil hari ini mungkin bisa mencerahkan kita.

Yohanes memprotes orang yang menggunakan nama Yesus untuk mengusir setan karena dia bukan pengikut kita.

“Guru, kami melihat seorang yang bukan pengikut kita, mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah dia, karena ia bukan pengikut kita.”

Yohanes berpikir secara sektarian, primordial, mengkotak-kotakkan, orang kita berbeda dengan bukan pengikut kita.

Istilahnya ya “jape methe atau onya odop” itu tadi.

Mereka yang bukan kelompok kita tidak boleh melakukan kebaikan atas nama Yesus.

Cara berpikir sektarian ini dilarang oleh Yesus. “Jangan cegah dia, sebab tak seorangpun yang telah mengadakan mukjijat demi nama-Ku, seketika itu juga mengumpat aku. Barang siapa tidak melawan kita, ia memihak kita.”

Kita tidak boleh mengkotak-kotakkan orang berdasar suku, ras, etnis, agama, adat dan budayanya. Yesus mengajarkan untuk selalu mengasihi dan mengampuni, bahkan mereka yang melawan dan memusuhi kita.

Dia sendiri telah mengampuni orang-orang yang menghina, mengejek dan mencemoohkan-Nya.

Mengampuni bisa terjadi jika di dalam hati kita ada kasih. Yesus mengampuni orang yang menghina dan menyalibkan-Nya karena Yesus mengasihi semua orang.

Kasih Yesus tidak hanya untuk kita, tetapi untuk semua orang. Orang yang menyebut-Nya sebagai jin kafir itu pasti juga dikasihi-Nya.

Jika Yesus sudah mengampuni tanpa batas, tanpa membeda-bedakan orang berdasarkan SARA, lalu siapakah kita ini yang merasa berhak menghukum orang yang menghina Dia?

Kalau kita masih marah, tersinggung, jengkel dan sakit hati, itu tanda bahwa iman kita belum matang dan dewasa.

Mungkin kita masih seperti Yohanes yang punya pikiran sektarian dan primordial. Mari kita membuka diri, hati dan pikiran kita.

Pergi ke sungai untuk memancing ikan,
Duduk di bawah pohon sambil hujan-hujan.
Mengasihi itu tidak membeda-bedakan,
Itulah kasih yang diajarkan Yesus Tuhan.

Cawas, tetap mengasihi….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 22.02.22 || Pesta Tahta St. Petrus || Matius 16: 13-19

 

Upacara “Ngabekten”

KERATON Ngayogyakarta mempunyai tradisi “ngabekten,” yaitu bersujud atau sungkem kepada raja. Ngabekten dilakukan setiap hari raya Idul Fitri.

Hari pertama biasanya diikuti kaum lelaki, mulai dari urutan paling dekat atau tinggi kedudukannya; para pangeran, kerabat, sentana Dalem dan paling belakang adalah abdi Dalem.

Hari kedua diikuti kaum perempuan; mulai dari permaisuri, putri-putri, kerabat, sentana dan abdi Dalem putri.

Ada aturan atau pranatan ketat yang harus diikuti; cara berpakaian, cara duduk, berjalan dan lainnya.

Mereka berurutan maju dengan “laku dhodhok” atau jalan jongkok dengan takzim, menyembah dan mencium lutut Raja yang duduk di tahta.

Mengapa cium lutut? Salah satu gelar Sultan atau raja adalah “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem.”

Sampeyan artinya kaki. Lutut adalah motor penggerak kaki. Mencium lutut maknanya langkah seorang raja itu diikuti oleh rakyatnya.

Raja menjadi teladan, dituakan, panutan yang diikuti seluruh rakyat. Rakyat berbakti dengan sungkem atau menyembah, mencium lutut raja.

Menyembah raja menjadi tradisi yang terus dilakukan sampai sekarang. Kendati sultan tidak ada di keraton, namun para abdi Dalem selalu menyembah, menghormat tahta raja yang berada di Bangsal Kencana sebagai tanda bakti, sujud dan hormat.

Hari ini Gereja Katolik merayakan Pesta Takhta Santo Petrus. Pesta ini mau mengungkapkan sikap hormat dan bakti kita kepada Petrus dan para penggantinya yang ditunjuk oleh Yesus menjadi pemimpin jemaat-Nya.

“Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga, dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.” Sabda Tuhan.

Sebagaimana para abdi Dalem, kita ini adalah hamba, abdi atau umat Kristus yang disatukan dalam penggembalaan Petrus dan para penggantinya.

Seperti para abdi Dalem itu menyembah tahta raja sebagai pengejawantahan raja yang memerintah, kita juga menghormati dan taat pada Petrus yang ditunjuk memimpin gereja.

Kita bersyukur tradisi pewarisan iman diturunkan terus menerus melalui Petrus dan para pemimpin gereja. Mereka selalu menjaga iman yang autentik sampai sekarang.

Duaribu tahun telah berjalan, Iman akan Yesus itu dijaga, dirawat dan dikembangkan sampai sekarang dan untuk selamanya.

“Alam maut tidak akan menguasainya,” demikian Yesus terus menyertai perjalanan gereja.

Apakah anda bangga dan bersyukur menjadi orang Katolik yang dipimpin oleh Petrus dan para penggantinya?

Apakah anda merasa bersatu dengan gereja universal yang dipimpin oleh Paus sebagai pengganti Petrus?

Malam malam ribut mengejar tikus,
Yang bersembunyi nyaman di bawah meja.
Gereja dibangun di atas wadas yaitu Petrus.
Mari wujudkan perutusan Tuhan bagi kita semua.

Cawas, Santo Petrus doakanlah kami…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 21.02.22 | Senin Biasa VII/C | Markus 9: 14-29

 

The Power of Praying.

SEORANG ibu dengan pakaian lusuh dan kumuh masuk ke toko swalayan. Ia minta diijinkan untuk hutang kepada pemilik toko. “Suamiku sedang sakit parah dan aku harus menghidupi 5 anak yang kelaparan,” katanya memelas. Namun si pemilik toko tetap tidak mau menolong.

“Orang belanja harus bayar, anda tidak ada uang, juga jaminan. Maaf saya gak bisa bantu.”

“Saya akan bayar apa yang dibutuhkan ibu ini,” kata seorang bapak yang sejak tadi antri sambil memperhatikan percakapan.

Si pemilik toko merasa malu. Harga dirinya terusik.

“Tak usah pak. Saya akan memberinya gratis. Silahkan ibu menulis apa keperluanmu, dan letakkan kertas daftar kebutuhan di atas timbangan.”

Ibu itu menulis sesuatu di kertas. Ia meletakkannya di timbangan. Jarum timbangan meluncur ke bawah.

Ibu itu meletakkan semua barang yang dibutuhkan. Namun jarum timbangan belum juga naik menjadi seimbang.

Pemilik toko itu penasaran. Ia membuka kertas dan membaca tulisan si ibu. Ia kaget dan tidak percaya.

Tulisan itu berbunyi, “Ya Tuhan, Engkaulah yang tahu kebutuhanku. Kuserahkan semuanya ke dalam tangan-Mu.”

Ibu itu berterimakasih karena diberi gratis. Ia pulang ke rumahnya dengan banyak barang belanjaan.

Si pemilik toko masih belum percaya dengan tulisan di kertas itu.

Dia kemudian memeriksa timbangannya. Ia baru tahu dan kaget, ternyata timbangannya rusak.

Para murid tidak dapat mengusir roh yang mengganggu seorang anak.

“Mengapa kami tidak dapat mengusir roh itu?” Jawab Yesus, “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa.”

Kekuatan doa memang sangat luar biasa. Kita masih ingat lagu Nikita yang berjudul “Di doa ibuku, namaku disebut?”

Ya, doa seorang ibu yang sedang susah dan mendamba akan didengarkan Allah.

Sepatah doa juga harus disertai dengan percaya. Yesus menegaskan, “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya.”

Iman dan doa membuka jalan Allah untuk berkarya. Allah bisa menggunakan jalan dan cara apa saja untuk menolong kita. Bahkan yang tidak masuk akal sekali pun.

Bisa jadi kita sering berdoa, tetapi kurang percaya. Beban penderitaan yang sangat berat sering melemahkan iman kita.

Kita menjadi ragu dan kurang percaya. “Benarkah Tuhan akan menolong saya?”

Permohonan orangtua yang anaknya kerasukan roh itu juga sering kita alami. “Tuhan tolonglah aku yang kurang percaya ini.”

Mari kita berdoa agar Tuhan menambahkan iman kepercayaan kita yang masih lemah ini.

Ombak tinggi di Parangkusuma.
Bergulung-gulung masuk ke sawah.
Jangan pernah lupa selalu berdoa.
Agar iman kita semakin bertambah.

Cawas, doa menembus awan….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.02.22 || Minggu Biasa VII || Lukas 6: 27-38

 

Kualitas Anak Allah; Murah Hati.

AVUL Pakir Jainulabdeen Abdul Kalam atau yang biasanya disebut dengan APJ Abdul Kalam merupakan Presiden India ke 11 dari tahun 2002-2007.

Beliau cerita: Suatu hari ibu menyiapkan makan malam setelah sehari bekerja keras. Ia menghidangkan sabzi (sayuran dengan rempah dan kari) dan roti gosong.

Ayahku makan dengan enak dan tidak menunjukkan reaksi kecewa atau marah. Aku mendengar ibu meminta maaf karena roti gosong.

Aku tidak pernah lupa apa yang dikatakan ayahku, “Sayang, sesekali aku juga menyukai roti gosong.”

Sebelum tidur aku bertanya pada ayah, apa ayah benar-benar menyukai roti gosong?

Ayah memelukku dan berbisik, “Ibumu telah bekerja berat sepanjang hari. Roti gosong tidak pernah menyakiti siapapun. Kata-kata kasarlah yang akan menyakiti.

Kau tahu nak, hidup ini penuh ketidak-sempurnaan. Ayah pun bukan lelaki sempurna dan belajar menerima ketidaksempurnaan.

Hidup ini singkat, jagalah tutur kata dan tingkah laku kita, jangan sampai menyakiti orang-orang di sekitar kita.”

Aku tidur dalam pelukan mimpi yang sangat indah.

Dalam Injil hari ini, Yesus mengingatkan kita sebagai anak-anak Allah. Kualitas anak Allah ya meniru sikap Allah sendiri, yaitu murah hati.

Yesus bertanya, “Kalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka.”

Kualitas anak Allah berbeda dengan orang berdosa. Mereka hanya mengasihi orang-orang yang mengasihi mereka; yang sepaham, seide, seagama, sealiran, satu budaya, satu bahasa.

Anak Allah harus bisa mengasihi semua orang bahkan yang tidak sealiran, seagama, juga yang berbuat jahat sekalipun.

“Kalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian.”

Orang serumah saja kadang berbeda pendapat – lihat contoh keluarga Abdul Kalam di atas – apalagi di suatu masyarakat atau bangsa.

Silang pendapat, beda cara pandang adalah hal biasa. Jangan mudah marah dan berlaku kasar, yang justru menyakiti.
Tetaplah mengasihi dan berlaku baik.

“Hidup ini hanya sebentar,’ kata ayah Abdul Kalam. “Jangan menyakiti orag-orang tercinta.”

Kualitas anak Allah nampak bagaimana kita bersikap terhadap mereka yang memusuhi, menentang, melawan dan berada di seberang kita.

Sikap Daud terhadap Saul dapat menjadi teladan bagi kita. Kendati Saul berbuat jahat dan ingin melenyapkan Daud, tetapi Daud tetap mengasihi dan menghormati Saul. Daud memandang Saul sebagai orang yang diurapi, dipilih Allah.

Mari kita membangun sikap hidup sebagai anak-anak Allah. Kita perlu memiliki cara pandang bagaimana Allah memandang kita.

Allah kita itu baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.

Hendaklah kita murah hati sebagaimana Bapa murah hati adanya.

Lihat lava gugur dari kawah,
Meluncur jauh ke arah Muntilan.
Berlakulah sebagai anak Allah,
Berani mengasihi tanpa membedakan.

Cawas, mari murah hati….
Rm. A.Joko Purwanto, Pr