PANGERAN Muda dari Kurawa ini sangat sombong perilakunya. Namanya Dursasana. Ia selalu menganggap diri paling kuat dari para ksatria Kurawa.
Polahnya selalu merasa paling benar. Ia selalu menyamakan dirinya dengan Bima yang gagah perkasa. Ia tak mau kalah dengan Werkudoro.
Hatinya selalu panas jika dibanding-bandingkan dengan Panenggak Pandawa itu. Ia sering mengejek para Pandawa. Ia sering menantang Bima tetapi selalu dapat dikalahkan.
Perilakunya angkuh dan jumawa, merasa diri paling kuat sendiri. Namun justru itulah letak kelemahannya. Dalam perang Baratayuda, dia dikalahkan oleh Bima dengan mudah karena kesombongannya sendiri.
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menyindir orang-orang Farisi yang merasa diri benar. Maka Ia menyindir mereka dengan perumpamaan. Ada dua orang masuk bait suci untuk berdoa.
Orang Farisi menganggap diri paling benar. Ia menyombongkan segala usahanya. Ia merasa paling berjasa di hadapan Allah. Ia suka membandingkan dengan pemungut cukai. Doanya berisi litani keberhasilan. Ia merasa paling bisa.
Berbeda dengan orang Farisi, si pemungut cukai “bisa rumangsa”. Ia merendahkan diri. Ia merasa paling tidak pantas di hadapan Allah.
Maka nampak dari gesturnya yang berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengadah ke langit. Ia menundukkan dirinya.
Dia bisa “ngrumangsani” dia hanya bisa menepuk dadanya dan berkata, “Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Sikap si pemungut cukai ini dibenarkan oleh Allah. Walau pun dia seorang pemungut cukai, tetapi dia merasa diri sebagai orang yang tidak pantas di mata Tuhan.
Manusia itu hanyalah ciptaan yang terbatas oleh berbagai kelemahan dan kekurangan. Sikap seperti inilah yang benar di mata Tuhan. Manusia merendahkan diri di hadapan Tuhan.
Marilah kita sebagai manusia “bisa rumangsa” tidak sebaliknya “rumangsa bisa.” Sebagai manusia kita harus sadar diri. Tidak menyombongkan diri di hadapan manusia, apalagi di hadapan Tuhan.
Seharian tamu datang tiada hentinya.
Mengucap salam untuk terakhir kalinya.
Manusia itu bukan apa-apa.
Kita hanyalah debu di hadapanNya.
Banyuaeng, selalu demi cinta.
Rm. A. Joko Purwanto Pr