“Penderitaan Padre Pio”
DALAM kehidupannya Padre Pio banyak mengalami penderitaan. Bukan hanya derita fisik karena luka-luka stigmata di sekujur tubuhnya, tetapi lebih-lebih derita batin yang harus diterimanya.
Banyak imam-imam iri hati melihat aneka rahmat yang diterimanya. Pengalaman yang paling menyakitkan adalah perlakuan keras yang diterimanya dari otoritas gereja.
Uskup Manfredonia menyatakan bahwa Padre Pio melakukan penipuan dan melarang segala aktivitas gerejani. Bahkan Tahta Suci pun melarang Padre Pio merayakan ekaristi bersama umat. Dengan rendah hati dan taat Padre Pio menerima semua perlakuan itu.
Baru pada masa Paus Paulus VI, Padre Pio boleh melakukan pelayanan liturgis kembali sampai akhir hayatnya tanggal 23 September 1968.
Di Biara Giovanni Rotondo tempat Padre Pio tinggal ada catatan 500.000 peristiwa rahmat kesembuhan yang diterima orang, 500 lebih didukung oleh catatan medis. Padre Pio adalah seorang pendoa, mistikus, suka mati raga dan puasa. Ia mampu melihat roh, setan dan malaikat.
Namun ia menyadari diri sebagai pendosa yang tidak pantas di hadapan Allah. Ia hanyalah alat Tuhan untuk menyapa dan mempertobatkan manusia.
Paus Benediktus XVI berkata, “Padre Pio sungguh-sungguh seorang yang berjiwa besar. Ia adalah salah satu dari orang-orang yang luar biasa yang diutus Allah ke dunia untuk mempertobatkan manusia.” Ia digelari santo oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 16 Juni 2002 di Vatikan.
Yesus mengutus keduabelas murid-Nya, lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka untuk menguasai setan-setan dan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit. Kita tidak bisa seperti Padre Pio yang mampu melihat malaikat dan mengusir setan. Tetapi kita bisa meniru teladannya yang sabar, rendah hati dan taat menerima semua penderitaan.
Kita masing-masing pernah mengalami penderitaan. Dan kita bisa meniru cara Padre Pio menghadapi penderitaan, bukan hanya fisik tetapi juga psikis. Bagaimana ia ditolak, dan disingkirkan oleh teman maupun atasan.
Yesus berkata kepada murid-Nya, “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan.” Hal itu dihayati oleh Padre Pio dengan setia. Ia hanya mengandalkan kuasa Allah saja. Dilarang misa, dia bisa. Dilarang melayani umat, dia taat. Dilarang melayani pengakuan, dia jalan. Hanya boleh misa pribadi, dia jalani.
Sebagai seorang imam, misa adalah bekal atau tongkat dalam bekerja. Seperti petani harus punya cangkul. Tanpa cangkul di tangan, petani tak mungkin bekerja. Kuasa atau iurisdiksi untuk melayani ditarik oleh pimpinannya. Ia hanya taat dan tunduk dengan rendah hati.
“Jangan membawa apa-apa” itu artinya hanya mengandalkan Tuhan semata. Dibutuhkan kerendahan hati tanpa syarat. Kerendahan hati dan ketaatan total seperti Padre Pio itulah yang bisa kita teladani bagi hidup kita sekarang.
Beli kacamata biru di toko.
Dipakainya pada malam hari.
Teladan suci Padre Pio.
Taat setia dan rendah hati.
Cawas, menanam pohung di kebun kita…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr