Pesta Perak; “Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”

SANGAT menarik dan mendalam homili Rm. Indra Sanjaya waktu merayakan pesta perak imamat yang tertunda April kemarin.

Tertunda karena semestinya dirayakan tahun lalu. Tetapi karena ada pandemi, Unio baru merayakan tahun ini.

Romo Indra merenungkan kata-kata Yesus yang dijadikan motto tahbisan mereka; “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”

Pasti saya tidak dapat mengingat dan menjelaskan semuanya. Tetapi yang sangat mengesan adalah bahwa pengalaman menjadi imam selama duapuluh lima tahun dengan jatuh bangun, lekuk liku perjuangan, bisa berjalan hanya karena Dia yang memanggil.

Para pestawan ingin bersyukur karena Dia selalu setia, kendati kita manusia kadang tidak setia, mudah jatuh seperti bejana tanah liat.

Bejana yang rapuh itu dipakai oleh Allah untuk melaksanakan karya keselamatan-Nya. Allah dengan kesadaran penuh mengambil resiko memakai manusia yang lemah untuk melakukan karya penyelamatan.

Ia terinspirasi oleh kotbah Paus Benediktus XVI tentang imamat; “This audacity of God is the true grandeur concealed in the word “priesthood.”

Ada resiko besar bahwa karya-Nya akan gagal karena dipercayakan kepada manusia yang lemah. Tetapi Dia tetap memilih para hamba-Nya untuk menjadi imam. Inilah resiko terbesar Allah.

Kesadaran diri sebagai orang yang lemah itu semakin menegaskan bahwa sabda Yesus dalam perikop ini sangat relevan di segala kondisi. “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”

Yesus adalah pokok anggur dan kita ini ranting-ranting-Nya. Ranting tidak akan menghasilkan buah kalau ia terpisah dari pokoknya.

Demikian pun para imam, sebagai manusia yang lemah, ia tidak akan berhasil kalau tidak tinggal dalam pokok anggur yakni Kristus sendiri.

Kendati ada imam yang pandai kotbah, ceramah, seminar, terkenal dimana-mana, karya sosial hebat, manager ulung, sukses membangun mercu suar yang megah. Dosa kesombongan, cari eksis diri dan pujian selalu menggoda. Itulah salah satu kelemahan dalam bejana yang rapuh.

Namun begitu, Allah tetap berani ambil resiko memilih yang lemah ini.

Kerapuhan itu semakin menyadarkan bahwa ranting tidak dapat berbuah kalau tidak bersatu dengan pokok anggurnya. Sehebat-hebatnya kita, tidak akan berhasil kalau terpisah dari Kristus Sang Pokok Anggur.

Sore-sore masih kerja lembur.
Menanam rumput dan memetik bunga.
Yesus adalah Sang Pokok Anggur.
Kita adalah ranting-rantingnya.

Cawas, syukur atas kasih-Nya…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr