“Hidup Bersama Lagi”

SETELAH memakamkan bapak dengan khidmat, kami sekeluarga berkumpul merayakan ekaristi untuk kedamaian jiwa bapak. Saya memimpin ekaristi bersama Rm. Sus, adik saya.

Kami sharing mengungkapkan pengalaman hidup bersama bapak almarhum. Kenangan, ceritera dan nasehat-nasehat bapak kami ungkapkan. Suka duka, pahit getir, konyol dan lucu membahagiakan kami bagikan. Tidak terasa ekaristi itu berlangsung selama tiga jam, melebihi ekaristi hari Raya Paskah.

Kisah cinta bapak ibu diceritakan oleh Rm. Sus yang mendengarnya dari kakek nenek kami. Bapak itu pemuda pemberani. Waktu ibu sudah dijodohkan dengan pemuda lain, -Zaman itu zaman Siti Nurbaya – bapak saya dengan berani mendekati ibu. “Kamu mau hidup dengan aku atau dengan orang yang sakit-sakitan itu?” tantang bapak di depan ibu langsung to the point.

Ibu tentu saja memilih bapak saya. Dia gagah, pemberani dan tanggungjawab, tapi memang ganteng juga. Bapak membawa pergi ibu saya dan setelah dibaptis mereka menikah di gereja.

Mereka jalani kehidupan bersama dengan setia selama 55 tahun. Ketika ibu meninggal, bapak ingin “nyuceni” memandikan jenasahnya. Karena mereka berdua telah berjanji, siapa yang ditinggal perdi duluan, dialah yang akan “nyuceni.”

Bapak pernah bilang pada kami, “Aku bangga dengan ibumu. Dia itu “gelem diajak lara lapa.” ( Ibu sanggup diajak menderita ).

Selama ditinggal ibu, bapak selalu berdoa di kamar depan. Beliau bercerita sering ditemani ibu saat berdoa, dipeluk saat tidur, hadir melalui bau wangi di kamar. Bagi bapak, ibu masih tetap hidup dan hadir. Kini mereka hidup bersama lagi.

Begitulah kami, anak cucunya juga merasa bahwa bapak dan ibu masih hidup, walaupun mereka sudah meninggal. Bapak dan ibu tetap hadir dimana pun kami berada, bahkan tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Peringatan tiga hari meninggalnya bapak ini, kami masih merasakan beliau hadir di tengah-tengah kami.

Bacaan hari ini menegaskan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Yesus berkata bahwa Allah adalah Allah orang hidup, bukanlah Allah orang mati.

Kematian tidak memisahkan kita dengan Tuhan. Kematian bukan akhir kehidupan. Kita diubah supaya bisa berhadapan muka dengan Allah.

Saya percaya bapak dan ibu tetap hidup di antara kami. Mereka menjadi pendoa ulung di hadapan Tuhan.

Bapak ibu saling senyum-senyuman.
Berjumpa lagi di alam keabadian.
Ada kehidupan di balik kematian.
Di sana tidak ada lagi kesedihan.

Banyuaeng, merindukanmu….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr