PERPISAHAN itu selalu mengharukan, setidaknya bagi saya. Apalagi jika punya kedekatan emosional dan pengalaman jatuh bangun bersama. Ibaratnya “lara lapa dilakoni bareng”, suka duka dialami bersama. Sebelum kembali ke Jawa, saya diundang misa di Nanga Tayap. Pak Herman, ketua umat bilang, “Kalau boleh Romo itu tidak usah balik ke Jawa, tinggal di sini saja?” Berat rasanya meninggalkan Tayap. Banyak pengalaman jatuh bangun yang menguatkan.

Lebih dari tujuh tahun menjadi bagian hidup mereka dalam suka duka. Pagi-pagi saya singgah ke rumah Pak Herman, menyerahkan kunci motor KLX. Motor itu hadiah teman-teman angkatan alumni Mertoyudan. Dia menemani saya kemana pun juga turne ke stasi-stasi. Saya tinggalkan motor itu untuk Tayap dan aku naik Honda GL kuning yang harus dikembalikan ke keuskupan. Waktu saya pamitan, Pak Herman memeluk saya di warungnya dan berkata, ”Jangan lupa dengan keluarga kami ya romo. Romo sudah jadi keluarga kami di sini.” Kaki ini seperti diikat batu yang besar, berat sekali mau melangkah.

Mata kami berkaca-kaca tak kuasa menahan gejolak. Ada rasa yang hilang. “Kenapa romo harus pindah?” Mama Felix gak berani mendekat, hanya berkata lirih, “Jangan lupa ya romo, sekali-kali tengoklah kami disini” Saya menjawab pelan, “Saya hanya taat melaksanakan perintah. Disuruh ke sana ya berangkat, pindah ke sini ya pindah, mung sendika dhawuh.” (Aku hanya ikuti perintah saja). Motor kutarik dengan laju, tak kuasa lama-lama, air mata ini mau membanjir dengan deras. Di tengah jalan suara tangis itu tenggelam oleh raungan sepeda motor.

Yesus berkarya dan mengajar di Kapernaum. Banyak mukjijat dilakukan di sana. Ia menyembuhkan ibu mertua Petrus dan banyak orang sakit lainnya. Orang-orang ingin supaya Yesus tidak meninggalkan Kapernaum. Mereka sangat sayang pada Yesus. Mereka ingin menahan Yesus untuk tetap tinggal di kota mereka.

“Ketika menemukan-Nya, mereka berusaha menahan Dia, supaya jangan meninggalkan mereka. Tetapi Yesus berkata kepada mereka, “Juga di kota-kota lain Aku harus mewartakan Injil Allah sebab untuk itulah Aku diutus.”

Yesus diutus Bapa untuk mewartakan Kabar Gembira, bukan hanya untuk orang Kapernaum, Bangsa Israel, tetapi untuk semua orang, semua bangsa. Maka Ia pergi dari desa ke desa, kota ke kota. Ia tidak hanya menetap di suatu tempat.

Sebagai imam, saya hanya taat kepada pimpinan, yakni Uskup. Sabda Yesus itu meneguhkan hati, ”Untuk itulah Aku diutus.” Sedih memang harus berpisah meninggalkan tempat tugas, tetapi perutusan harus diutamakan. Kehendak Bapa ada diatas segalanya. Demikian Yesus mengajari kita semua.

Bunga mawar di atas batu permata.
Di beli di plaza Catalunia.
Mari setia pada perutusan kita.
Menjalani hidup dengan gembira.

Cawas, satu jam 2 putaran…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr