KALAU romo tua dicampur dengan romo muda di satu komunitas, isinya keluhan tidak cocok atau litani “tembok ratapan.” Romo tua mengeluhkan romo-romo muda. Begitu pula nanti sebaliknya.

Romo muda menilai yang senior itu kolot, ketinggalan zaman, “mandeg” atau stagnan, seneng kemapanan, kurang kreatif-inovatif. Romo tua menilai yang muda ini “pating pethakil” gak punya tatakrama, sopan santun.

Mereka ini penggemar teknologi, materialistis, gadjetnya gonta-ganti, mementingkan diri sendiri, seneng mejeng cari popularitas, malas dan arogan.

Di sisi lain, generasi tua punya kelebihan, dinilai sebagai generasi yang sopan, pekerja keras, berdedikasi tinggi, sangat peduli pada lingkungannya, sangat menghargai dan beretika.

Romo tua sering mengulangi frase “zaman saya dulu…” atau menilai romo-romo yunior dengan kalimat, “romo muda sekarang ini kurang….” Kalau zaman kami dulu gak ada romo muda seperti sekarang ini.”

Zaman kami dulu kalau bertemu Bapak Uskup harus memberi hormat, memberi salam dan mencium cincin beliau dengan takzim. Zaman sekarang ketemu Bapak Uskup malah melambaikan tangan dari jauh sambil teriak, “Halo Boss…”

Lingkaran penilaian seperti itu akan terus berputar tiada henti. Kalau romo-romo muda nanti menjadi senior juga akan menilai juniornya seperti itu. Tidak akan bisa ketemu. Baju tua tidak cocok ditambalkan ke baju baru. Begitu pula anggur baru tidak cocok dimasukkan ke kantong kulit yang sudah tua.

Segala sesuatu ada waktunya. Nasehat orangtua, “Kamu nanti juga akan mengalami menjadi tua seperti aku ini.” Orang harus mengalami lebih dahulu, baru nanti akan dapat menilainya. Ketika kita masih muda menilai orangtua kita lamban, malas. Nanti ketika kita menjadi tua, generasi berikutnya akan menilai kita juga lamban dan malas.

Maka tidak mungkin orang minum anggur tua atau lama ingin merasakan anggur yang baru. Anggur tua lebih enak daripada anggur baru. Tuak yang disimpan lama rasanya lebih nikmat daripada tuak yang baru jadi. Semua akan ada waktunya sendiri-sendiri. Setiap zaman atau generasi punya nilainya sendiri-sendiri.

Jika pastur tua digabungkan dengan pastur muda maksudnya biar saling belajar memahami satu sama lain. Yang muda belajar dari yang senior. Yang tua belajar mendengarkan dengan rendah hati kepada yang yunior. Tidak usah “mbondhan tanpa ratu atau mbeguguk ngutha waton” artinya hidup itu jangan semaunya sendiri.

Tak kan lupa pada telur gosong.
Baunya menyengat sampai sudut hati.
Kita tidak boleh merasa sombong.
Selalu ada plus minus di setiap generasi.

Cawas, telor mata sapi…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr