Kupu-Kupu Malam

WAKTU masih menjadi frater, saya pernah dipanggil Romo Rektor karena sering pergi ke Stasiun Tugu pada waktu malam. Saya tidak sendirian, tetapi bersama dengan frater dari tingkat lain.

Waktu itu intinya saya dicurigai bertindak indisiplin dan suka keluyuran. Romo Rektor bertanya, “Ngapain kamu bergaul dengan mereka?”

“Kami dapat tugas observasi untuk mata kuliah teologi sosial, Romo. Kelompok kami memilih kaum marginal yang terpinggirkan yakni WTS dan perempuan malam.” Saya menjelaskan.

Kami sering keliling ke tempat-tempat mereka mangkal. Ada tempat-tempat tertentu yang dipakai untuk transaksi mereka.

Saya kunjungi tempat-tempat mangkal mereka itu sekadar bisa ngobrol dengan mereka. Sekarang tempat-tempat itu sudah bersih semua karena penataan kawasan.

Saya malah bisa cerita banyak kepada Romo Rektor, “Kasihan kehidupan mereka itu. Sepanjang malam nongkrong, kadang ada yang mengajak, kadang sepi tak ada penghasilan. Kalau yang ajak lelaki dompet tebal kadang dibawa ke hotel di sekitar Tugu. Kalau cuma dompet tipis ya hanya di gubug pinggir rel.”

“Kamu tergoda gak dengan mereka, cantik-cantik kan?” Romo Rektor memancing saya.

Saya pernah ditanya salah satu dari mereka. “Mas ini ganteng lho gak kepingin? Mau gak? Nanti tak service gratis deh.”

Saya menolak dengan halus, jangan menyinggung perasaannya. Jangan sampai dia tahu kalau saya mahasiswa yang lagi observasi, mereka akan lari. Rugi ngladeni orang ngobrol tidak ada duitnya.

“Mas-e impoten ya kok gak tertarik?” Matanya berkedip sambil menyulut rokoknya.

Saya mendapat pelajaran banyak dari mereka. Kalau belum menyelami kehidupan mereka, kita sering menghakimi dan memberi cap negatif.

Kita mudah menggolongkan mereka sebagai orang bejat, kotor, berdosa, harus dijauhi.

Saya jadi ingat lagu “Kupu-Kupu Malam” yang dinyanyikan Titiek Puspa. The Mercy’s juga menulis lagu “Kisah Seorang Pramuria.”

Dalam Injil hari ini, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut melihat Yesus makan bersama Lewi dan para pemungut cukai.

“Mengapa kamu makan dan minum bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”

Yesus dengan tegas berkata, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”

Yesus bergaul dan hidup dengan mereka. Ia mengerti dan menghargai Lewi dan teman-temannya. Ia menerima mereka dan membawa ke jalan yang benar.

Yesus datang untuk pertobatan. Ia mengubah orang sakit menjadi sembuh, orang berdosa jadi bertobat.

Lewi bersyukur karena dia diselamatkan oleh Yesus. Ia meninggalkan meja cukai dan mengikuti Yesus. Ia menjadi manusia baru.

Yesus juga memanggil kita. Masa Prapaskah ini adalah masa Tuhan mengajak kita membangun pertobatan.

Mari kita meninggalkan menu dosa yang ada di atas meja kita, dan makan dari meja perjamuan Tuhan.

Bunga anggrek ditanam di dekat mawar,
Tumbuh bersama di lahan yang sempit.
Kalau kita menganggap diri paling benar.
Bisa jadi kitalah orang yang sedang sakit.

Cawas, marilah berbenah….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr