PENGALAMAN traumatik naik sampan atau perahu pernah saya alami. Beberapa kali saya jatuh ke sungai ketika naik sampan. Yang pertama di daerah Tanjungpura. Kami berkonvoi naik sepeda motor menuju Ketapang. Sungai di Tanjungpura meluap sehingga motor harus diseberangkan dengan sampan. Romo-romo yang lain sudah naik sampan pertama. Saya giliran yang terakhir di sampan belakang.
Untuk numpang ke sampan, motor harus dinaiki lewat sebuah titian kayu. Ketika saya mulai menaiki titian itu, sampan bergoyang karena ombak, roda depan motor saya tergelincir karena goncangan itu. Saya jatuh basah kuyub bersama motor kuning saya. Laptop, kamera, HP dan buku-buku terendam air.
Yang kedua, menyeberang Sungai Kapuas dengan kapal Feri. Waktu itu belum ada jembatan penyeberangan “Pak Kasih”. Karena musim kemarau, air surut sangat dangkal. Turunan menuju kapal jadi sangat tajam. Sebelumnya ada mobil box mengangkut buah-buahan gagal naik dan terperosok masuk ke sungai.
Saya bawa mobil harus masuk di kapal. Jalur turun ke geladak kapal yang terbuat dari besi tidak bisa saya lihat karena tertutup dashboard. Jalur turunan itu hanya “ngepres” roda mobil. Melenceng sedikit pasti masuk sungai.
Satu-satunya penunjuk hanya aba-aba tukang parkir kapal yang ada di bawah sana. Dia tidak berkata apa-apa. Hanya memberi kode melalui tangannya. Kita harus melihat gerakan tangannya dan mengikuti tanpa reserve.
Ketika dua roda depan sudah lurus menempel di jalur besi penyeberangan, dia meminta kita untuk maju pelan. Kopling dipasang di gigi satu, tangan kiri siap di handrem, kaki jaga-jaga di rem dan kedua tangan menjaga agar tetap lurus.
Keringat dingin bercucuran, rasanya waktu seperti berhenti, alam terdiam tak bersuara. Jantung berdegup kencang.
Lega rasanya ketika mobil berhasil masuk. Namun kita harus parkir sesuai dengan aba-aba si tukang parkir kapal. Dia mengatur seinci demi seinci agar semua mobil, truk atau bus bisa masuk.
Mobil kita diatur sedemikian rapat, mungkin tinggal berjarak tigapuluh senti bersebelahan dengan mobil lain, sampai sopir tidak bisa keluar dengan membuka pintu samping. Mepet tapi tak boleh bersinggungan.
Tukang parkir itu ibarat Yesus yang datang kepada para murid yang sedang mengalami ketakutan karena angin sakal. Iman adalah penyerahan diri secara total kepada Yesus. Begitu pula kalau kita tidak percaya pada tukang parkir itu, kita bisa terjun ke sungai yang dalam, lalu tidak sampai ke tujuan. Kalau kita tidak percaya pada Yesus, kita juga tidak akan sampai ke rumah Bapa.
Kalau Yesus bersama kita, badai sebesar apa pun akan tenang dan reda. Jangan pernah meninggalkan Yesus. Jangan mencoba menjauh dari Yesus. undanglah Yesus masuk ke bahtera kita. pasti kita aman sentosa, selamat sampai rumah Bapa.
Jalan-jalan ke Surabaya.
Mampir minum di rest area.
Jika Yesus bersama kita.
Kita pasti aman sejahtera.
Cawas, ngopi di lumpur pekat…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr