Orang Katolik Kanibal?
SEBELUM bertugas di Kalimantan, kalau mendengar kata “Dayak” yang terbersit adalah sebuah suku atau kelompok manusia yang suka makan daging orang.
Ada cerita yang beredar bahwa orang Dayak makan manusia. Entah benar entah tidak, itulah cerita-cerita yang pernah sampai di telinga.
Bisa jadi cerita itu sengaja dibikin pada zaman penjajah karena unsur politis, demi memecah belah antar suku.
Memang ada tradisi “Ngayau” yang pernah ada. Ngayau adalah berburu kepala manusia dengan cara memenggal kepala musuhnya dan dibawa pulang sebagai tanda keperkasaan, kegagahan.
Laki-laki yang berhasil “ngayau” sudah layak mendapat gelar Bujang Berani dan berhak memperistri gadis.
Namun tradisi itu sudah tidak ada lagi. Ketika saya bertugas di pedalaman, orang-orang Dayak sangat ramah, baik hati, suka menolong, hidup damai, bersaudara dengan siapa pun.
Orang asing diterima sebagai saudara dan disambut dengan penuh keramah-tamahan.
Perikope Injil hari ini menjadi polemik hebat di antara orang Yahudi. Mereka bertengkar karena Yesus menyebut makan daging-Ku dan minum darah-Ku.
Mereka terkejut dan shock mendengar ucapan Yesus itu. Bagi mereka itu sangat bertentangan dengan hukum Taurat. Menyentuh darah saja sudah menajiskan diri.
Yesus tidak mengurangi dengan membuat eufemisme atau memperhalus, tetapi Dia justru menekankan lagi, “Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup dalam dirimu.
Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.
Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.”
Sabda Yesus ini justru makin keras dan tajam.
Makna dari “makan daging-Ku sebetulnya ialah menerima Yesus sebagai Anak Domba Paskah baru.
Minum darah-Ku berarti menyatukan diri kita dengan hidup Yesus sendiri. Berkali-kali Yesus menyebut istilah itu.
Bukan tanpa maksud, tetapi hal itu menunjukkan betapa pentingnya menyatu-ragakan diri kita dengan Diri-Nya.
Persatuan kita dengan Kristus itu kini dihadirkan kembali dalam perayaan Ekaristi. Dalam Ekaristi-lah, Yesus memberikan daging dan darah-Nya.
Dia juga menyebut Roti Hidup. Tidak lain adalah Ekaristi.
Kalau kita bersatu dengan Kristus, berarti bukan aku yang hidup, melainkan Kristuslah yang hidup dalam diriku. Itulah keyakinan St. Paulus.
Nah, begitulah yang ditangkap Paulus dengan ungkapan “Siapa saja makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.”
Pertanyaan reflektif: Apakah kita sungguh-sungguh sudah menyatu dengan Kristus? Apakah kita sudah senafas dengan Kristus? Apakah hidup Yesus sudah menjadi pola hidup kita?
Setiap pagi minum segelas kopi,
Ditambah lagi dengan pisang rebus.
Semakin kita mencintai Ekaristi,
Semakin kita menyatu dengan Kristus.
Cawas, senafas dan seperasaan…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr