DEWI SUKESI di Alengka adalah putri cantik jelita. Ia menjadi rebutan bagi semua pria. Namun dia hanya mau menikah dengan pria yang bisa mengajarkan arti ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat pangruwating Diyu.”

Di Lokapala yang menjadi raja adalah Danaraja, anak dari Begawan Wisrawa. Ia minta ayahnya melamar Dewi Sukesi untuknya.

Wisrawa memenuhi permintaan anaknya. Ia yang sudah tua renta mampu menjelaskan arti Sastra Jendra Hayuningrat pangruwating Diyu. “Jroning peteng kang ana amung lali”. Jroning lali tan eling kalau Wisrawa itu calon mertua.

Tetapi Sukesi justru jatuh cinta padanya. Wisrawa lupa diri dari tujuan awalnya. Akhirnya Wisrawa dikuasai nafsu “melik”.

Siapapun yang memiliki melik (keinginan berlebihan), pasti hatinya penuh hawa nafsu. Nalar macet, akal buntu, rasa kemanusiaan juga lenyap.

Yang dikejar cuma satu, yaitu bagaimana agar yang diinginkan itu secepatnya dapat diraih. Jika sudah pada posisi demikian, tidak mengherankan bila ia seolah-olah kerasukan setan.

Segala cara dihalalkan. Toh, yang namanya aturan, batasan, kemanusiaan, hanyalah buatan manusia. Semua bisa diubah, dibuang, diinjak di bawah telapak kaki.

Saat itu, semua menjadi tidak perlu karena yang perlu hanyalah bagaimana melik-nya bisa tercapai. Wisrawa-Sukesi melanggar semua tata norma dan aturan. Maka lahirlah anak-anak raksasa karena nafsu yakni Dasamuka, Kumbakarna dan Sarpakenaka.

Yesus bercerita tentang tuan yang mempunyai kebun anggur dan menyewakan kepada para pekerja. Pada saat musim petik, tuan itu menyuruh hambanya untuk menerima hasilnya.

Tetapi pekerja-pekerja itu justru membunuh hamba itu. Tuan itu menyuruh anaknya sendiri. Namun para pekerja itu juga membunuh anak tuannya. Para pekerja itu “melik nggendhong lali.”

Mereka tidak tahu aturan karena punya hasrat merebut kebun anggur itu menjadi milik mereka. Mereka tidak berhak memiliki kebun anggur. Namun karena nafsu melik membikin mereka menjadi lupa daratan.

Kita pun sering dikuasai oleh nafsu “melik” sehingga membuat kita jadi buta segalanya. Segalanya diterjang demi memenuhi hasrat nafsunya. Perumpamaan

Yesus itu ditujukan kepada para imam-imam kepala dan tua-tua. Tetapi juga tertuju kepada kita semua yang punya nafsu “melik nggendhong lali.”

Pulang dari jalan-jalan di luar negeri.
Diperiksa di bandara karena ada virus corona.
Janganlah kita punya sifat “melik nggendhong lali”.
Hendaknya kita selalu “eling lan waspada”.

Cawas, senja di batas kota
Rm. A. Joko Purwanto Pr