“Borobudur dan Pengosongan Diri”
MENIKMATI Borobudur bukan hanya melihat batu, patung, ukiran, candi atau stupa. Mengagumi Borobudur berarti melihat nilai kehidupan, ajaran, prinsip-prinsip, wejangan atau nasehat bagi hidup manusia.
Melihat Borobudur seperti membaca sebuah kitab tentang tahap-tahap hidup manusia sampai mengalami “manunggaling kawula Gusti.” Tahap pencerahan karena manusia bersatu dengan yang ilahi.
Ada tiga tataran kehidupan yang terpahat di dinding candi Borobudur. Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Kamadhatu berada di tataran paling bawah meliputi hawa nafsu manusia.
Rupadhatu adalah akal budi manusia yang mencari kebahagiaan. Arupadhatu berada di tataran paling tinggi, yang digambarkan dengan stupa yang di dalamnya hampa, kosong, tak berwujud.
Manusia yang sudah menemukan pencerahan hidup, ia mengosongkan dirinya. “Manunggaling kawula Gusti” tercapai jika manusia berhasil menanggalkan segala amarah, ambisi, hawa nafsu dan akal pikirannya. Mirip dengan pandangan Freud tentang ego, superego dan Id.
Makna Borobudur tidak hanya tentang karya adiluhung, ukiran batunya yang indah, candinya yang megah, bagian dari keajaiban dunia. Tetapi nilainya terletak di dalam ajaran, filosofi, prinsip-prinsip, pedoman hidup menuju kesempurnaan.
Melihat atau membicarakan Borobudur semestinya orang mampu bercermin tentang peziarahan hidup menuju kesempurnaan. Orang diajak sampai ke taraf Arupadhatu dengan mengosongkan dirinya agar bisa menemukan keselamatan.
Pembicaraan Yesus dengan Nikodemus adalah pembicaraan tingkat tinggi dan mendalam. Yesus mengajak Nikodemus untuk menemukan keselamatan dan kesempurnaan hidup.
Kesempurnaan hidup itu diperoleh dengan percaya kepada Anak Manusia yang ditinggikan. Seperti Musa meninggikan ular, begitu pula Yesus ditinggikan di kayu salib.
Salib adalah tempat pengosongan, pengorbanan. Berkorban itu meninggalkan taraf Rupadhatu (Wujud) menuju Arupadhatu (tak berwujud).
Manusia ingin naik ke atas. Allah mengosongkan Diri dengan turun ke bawah menjadi manusia. Supaya manusia bisa naik ke atas, maka Allah turun menjadi manusia.
Di dalam salib, manusia Yesus dinaikkan (ditinggikan) dan Putera Allah diturunkan. Di dalam salib bertemulah “manunggaling kawula Gusti.”
Keselamatan ada didalam salib Yesus. Salib tanda pengosongan diri. Allah mengutus Anak-Nya untuk menyelamatkan dunia. Salib adalah keselamatan kita.
Bersepedaria menuju waduk Wonogiri.
Panas menyengat diterpa matahari.
Marilah kita mengosongkan diri.
Agar mampu menuju kepada Yang Ilahi.
Cawas, mancing ide…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr