“Awas Ada Setan”
WARUNG hik yang ada di depan Gereja Pugeran itu selalu ramai didatangi orang. Teh yang disajikan sungguh nikmat. “Ginasthel”, legi (manis), panas, “kenthel” (pekat).
Suatu kali saya pernah ikut bergabung nongkrong dan minum di situ. Dari arah utara saya lihat ada rombongan anak-anak TK berbaris lewat trotoar. Mereka pakai seragam baju yang rapi, tertutup, berwarna hijau.
Sambil berbaris mereka menyanyikan lagu-lagu religius. Mendekati pintu gerbang gereja, ibu guru yang menuntun anak-anak ini memerintahkan supaya mereka menjauh dan masuk ke badan jalan.
Ia berkata, “awas anak-anak jangan melihat ke dalam, ada setan.” Anak-anak kecil itu malah penasaran menengok ke dalam halaman gereja. Di sana ada patung Yesus yang sedang memberkati ke arah jalan Suryaden.
Kami yang sedang ngobrol di warung itu terhenyak mendengar kata-kata bu guru. “Zaman kami sekolah dulu tidak pernah diajari seperti itu.” Celetuk seorang bapak.
Yesus memanggil Matius, “Ikutlah Aku.” Matius meninggalkan meja cukai dan mengikuti Yesus. Ia mengundang Yesus makan di rumahnya bersama koleganya para pemungut cukai. Orang-orang Farisi melihat hal itu. Mereka berkata, “Mengapa gurumu makan bersama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”
Kaum Farisi menganggap diri paling benar. Mereka mengecap para pemungut cukai itu golongan orang berdosa yang tidak pantas didekati. Dekat dengan mereka dianggap najis dan tertular dosanya. Mereka mengambil jarak dan menjauhi orang-orang seperti Matius dan kelompoknya.
Yesus menjawab mereka, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang sakit. Yesus lalu mengutip firman dalam Kitab Suci, “Yang Kukehendaki ialah belaskasihan dan bukan persembahan. Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”
Yesus menegaskan kepada siapa Dia datang. Ia lebih mengasihi orang berdosa daripada orang yang menganggap dirinya benar. Yang diutamakan adalah belaskasihan, bukan persembahan.
Kadang kita lebih menekankan upacara keagamaan, baju-baju liturgis, penampilan saleh kelihatan suci, tetapi melupakan belaskasihan. Kemana-mana bawa Kitab suci, banyak mengutip ayat-ayat, menyebut nama Tuhan, tetapi perilakunya jauh dari cintakasih.
Ajaran Yesus itu adalah cambuk untuk kita agar lebih mengutamakan kasih daripada sibuk menghakimi orang dan menganggap diri paling benar. Jangan mudah menilai orang lain jahat kalau kita sendiri belum sempurna. Kesombongan seringkali menjatuhkan diri kita.
Lebih baik banyak minum supaya tidak dehidrasi.
Lebih baik banyak minta ampun daripada sombong diri.
Cawas, jeruk yang sungguh beruntung….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr