TUHAN memberi kita anggota tubuh yang lengkap. Kita bisa belajar dari anggota-anggota tubuh kita. Tuhan menciptakan anggota tubuh sedemikian pasti ada maksud dan tujuannya.

Mengapa kita diberi mata dua, telinga dua, lubang hidung dua, tetapi hanya diberi mulut satu? Maksudnya adalah supaya kita lebih banyak melihat, mendengar namun sedikit berbicara.

Mulut kita itu bisa seperti pedang tajam. Luka di badan bisa cepat diobati. Tetapi luka oleh kata-kata yang menyakitkan itu susah sekali disembuhkan.

Ada pepatah mengatakan. “mulutmu harimaumu.” Hati-hati dengan perkataan kita, karena suatu saat bisa menerkam kita sendiri. Kata-kata yang keluar dari mulut kita bisa merugikan diri kita sendiri.

Kita juga bisa belajar dari jari jemari kita. Setiap jari punya arti masing-masing. Jari telunjuk salah satunya untuk menunjuk, memerintah, menguasai, menghakimi.

Tetapi ingatlah ketika jari telunjuk mengarah kepada orang lain, jari-jari yang lain menunjuk diri kita sendiri. Itu berarti sebelum menghakimi atau menunjuk orang lain, lihatlah dirimu sendiri.

Yesus berkata dalam kotbah dibukit, “Janganlah menghakimi, supaya kalian tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang telah kalian pakai untuk menghakimi, kalian sendiri akan dihakimi.”

Yesus mengingatkan kita untuk tidak mudah menghakimi orang lain. Di media sosial itu orang mudah sekali menghakimi, menghujat, memfitnah, menuduh, menghina, menjelek-jelekkan orang lain. Berhati-hatilah…..

Yesus berkata, “Ukuran yang kalian pakai untuk mengukur akan ditetapkan pada kalian sendiri.” Orang yang demikian mungkin merasa paling benar sendiri. Mereka tidak mampu melihat kebaikan dalam diri orang lain.

Selumbar di mata saudaramu engkau lihat, tetapi balok di matamu sendiri tidak engkau lihat. Ini mirip dengan pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.” Kekurangan orang lain sekecil apapun tampak jelas, tetapi kelemahan sendiri tidak terlihat.

Kita diundang untuk mawas diri dan mengukur diri kita sendiri sebelum kita menilai atau menghakimi orang lain.

Orangtua kita sering berkata, “Aja dumeh.” Jangan merasa sok. Sok pandai, sok kuasa, sok suci, sok benar, sok jagoan, sok hebat.

Tetapi belajarlah rendah hati, ”tepa selira, empan papan”. Tepa selira itu bisa mengukur diri sendiri. Empan papan itu bisa menempatkan diri dengan siapa dan dimana kita bergaul.

Senam Oneng di malam hari.
Kaki diangkat badan rebahkan diri.
Lebih baiklah orang yang rendah hati.
Tidak sombong dan merasa benar sendiri.

Cawas, selasa, kamis, sabtu…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr