“Bisaa Rumangsa. Aja Rumangsa Bisa”
HIRUK pikuk suasana di Kerajaan Mantili. Banyak raja, putra mahkota, pangeran, ksatria dan bupati mengikuti sayembara. Barangispa bisa mematahkan busur atau gandewa kerajaan akan diperkenankan mempersunting Puteri Mantili yakni Dewi Sinta.
Para raja dengan pongah saling berebut. Dengan sombong mereka merasa paling bisa memenangkan sayembara. Satu per satu mereka gagal tak ada hasil. Bahkan mengangkat busur pun tak ada yang bisa.
Rama dan Laksmana dengan tenang memperhatikan semuanya. Ketika giliran orang terakhir turun gelanggang tanpa hasil, Rama maju ke depan. Ia memberi hormat dengan taksim. Ia berlutut dan berdoa kepada Yang Kuasa. Tanpa banyak kata, ia mengambil busur, mengangkat dan menariknya sampai putus menjadi dua.
Sorak-sorai rakyat Mantili bergemuruh. Ia turun dengan sopan dan menghaturkan sembah kepada Raja Janaka.
Yesus dan para murid pergi ke Yerusalem. Ia berbicara tentang memanggul salib. Para murid takut dan merasa cemas. Sedang Ia menubuatkan tentang penderitaan-Nya, dua murid-Nya memohon – sedikit memaksa – agar diberi kedudukan.
“Guru, kami harap Engkau mengabulkan permohonan kami. Perkenankanlah kami ini duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kiri-Mu.”
Yesus mengajukan syarat, “Sanggupkah kalian meminum piala yang harus Kuminum? Dan dibaptis dengan pembaptisan yang harus Kuterima?”
Mereka menjawab, “Kami sanggup.”
Ada ungkapan yang bagus; kita ini sering “rumangsa bisa, nanging ora bisa rumangsa.” Kita ini sering merasa bisa, merasa mampu, merasa paling benar, tetapi tidak mau dianggap tidak bisa. Agak sulit menterjemahkan istilah itu. Intinya orang merasa paling bisa atau paling benar.
Seperti kedua murid itu merasa bisa, sanggup meminum piala dan baptisan Yesus.
Hendaknya kita ini “bisaa rumangsa, ning aja rumangsa bisa.”
Hendaklah kita bisa bertindak benar, namun jangan merasa diri paling benar.
Ada perbedaan antara orang benar dan orang yang merasa diri paling benar.
Orang benar tidak akan berpikir bahwa dialah yang paling benar. Sebaliknya orang yang merasa diri benar akan berpikir hanya dia saja yang paling benar.
Orang benar bisa menyadari kesalahannya. Orang yang merasa diri benar tidak perlu mengaku salah. Orang benar akan introspeksi diri dan bersikap rendah hati. Orang yang merasa diri benar tidak butuh instrospeksi diri dan cenderung tinggi hati.
Orang benar punya kelembutan hati dan menerima masukan, kritik dari orang lain. Bahkan dari orang kecil atau sederhana sekalipun. Sedang orang yang merasa diri benar, hatinya keras membatu, sulit menerima nasehat, masukan atau kritik.
Orang benar akan selalu menjaga sikap, perilaku dan tutur katanya agar tidak melukai orang lain. Sikap hati-hati dan tepa slira dijunjung tinggi. Orang yang merasa diri benar bertindak semaunya sendiri tanpa pertimbangan matang, tidak peduli perasaan orang lain.
Orang benar akan dihormati, disegani banyak orang. Sedangkan orang yang merasa diri benar akan disegani oleh kelompoknya sendiri yang pikirannya sempit.
Orang yang merasa diri paling benar akan jatuh oleh tutur kata, tindak tanduk dan sikapnya sendiri. “Wong iku bakal ngundhuh wohing pakarti.” Orang akan memetik hasil dari apa yang ditanamnya sendiri.
“becik ketitik, ala ketara”
Kalau kita berbuat baik, hidup akan bahagia.
Cawas, jagalah sopan santun….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr