“Ende dan Pancasila”
SELAMA empat tahun (1934-1938) Sukarno diasingkan di Pulau Ende. Ia dipisahkan dari sahabat dan para pendukungnya. Ia diisolasi dan dijauhkan dari politik. Ia tidak bisa berhubungan dengan para pejuang di Jawa. Tetapi dia punya dua teman diskusi yakni Pastor Johanes Bouma SVD dan Pastor Gerardus Huijtink SVD. Mereka menjalin persahabatan yang erat.
Karena itu Sukarno sering keluar masuk biara dan perpustakaan Nusa Indah untuk membaca buku. Di tempat yang hening dan tenang itu, Sukarno banyak merenung tentang ideologi bangsa. Buah-buah pikirannya didiskusikan dengan dua pastor itu. Kita bisa menggali kisah Sukarno ini dalam Buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara.
Dalam keheningan biara di Flores, dengan berdiskusi bersama para rohaniwan, dan diasingkan dari dunia luar, Sukarno merumuskan mutiara yang indah untuk Indonesia yakni Pancasila yang kita warisi sekarang ini.
Dikisahkan dalam Injil, Yesus mendaki sebuah bukit untuk berdoa. Semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Lalu keesokan harinya, Ia memilih duabelas murid yang dipanggil untuk menjadi rasul.
Yesus pergi dari keramaian. Ia mendaki bukit. Ia mencari keheningan untuk berdoa, berdialog dengan Allah. Pasti Ia berdiskusi dengan Bapa-Nya tentang perutusan-Nya ke depan. Yesus mengasingkan diri mencari tempat sunyi dan berdialog dengan Tuhan.
Sukarno itu diasingkan ke tempat sunyi, jauh dari hiruk pikuknya politik. Tetapi di tempat sunyi itu ia berjumpa, berdiskusi, berdialog dengan para pastor sahabatnya. Dari situ butir-butir Pancasila itu lahir.
Hasil dari diskusi Yesus dengan Bapa-Nya di tempat sunyi adalah duabelas rasul. inilah cikal bakal Gereja, Israel Baru, umat Allah yang berziarah yakni kita sekarang ini.
Begitu pun kita. Untuk memutuskan hal-hal penting demi masa depan, kita perlu mencari tempat sunyi untuk berdoa. Doa dalam hening, sendiri bersama Allah itu penting supaya kita dengan hati jernih bisa membuat keputusan yang benar.
Sesekali waktu anda perlu mengasingkan diri, mengambil jarak dari keramaian dan kesibukan sehari-hari untuk hening berdoa. Kita sering menyebutnya “retret”, kalwat atau rekoleksi supaya kita bisa menemukan mutiara-mutiara indah dalam hidup kita.
Pelangi warnanya hijau kuning merah.
Terbayang-bayang menyanyi salah.
Dalam hening kita bertemu Allah.
Percayalah, pasti ada mutiara yang indah.
Cawas, tertawa renyah sepanjang hari…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr