Puncta 27.08.19 PW. St. Monika Matius 23:23-26 / Rasa Keadilan

 

Di suatu persidangan, Hakim itu mengejutkan semua orang yang hadir di ruang sidang. Beliau membebaskan terdakwa kemudian meninggalkan tempat duduknya lalu turun untuk mencium tangan terdakwa.

Terdakwa yang seorang guru SD itu juga terkejut dengan tindakan hakim. Namun sebelum berlarut-larut, sang hakim mengatakan, “Inilah balasan yang harus kulakukan sebagai rasa terima kasihku kepadamu, Guru.”

Rupanya, terdakwa itu adalah gurunya sewaktu SD dan hingga kini ia masih mengajar di SD. Ia menjadi terdakwa setelah dilaporkan oleh salah seorang wali murid, gara-gara ia memukul salah seorang siswanya.

Ia tak lagi mengenali muridnya itu, namun sang hakim tahu persis bahwa pria tua yang duduk di kursi pesakitan itu adalah gurunya.

Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang Farisi karena mereka mempraktekkan aturan secara buta. Hukum adalah hukum. Di dalam hukum ada esensi penting yang tidak boleh diabaikan yakni keadilan, belas kasih dan kesetiaan.

Yang satu harus dilakukan, tetapi yang lain jangan diabaikan. Itulah pesan Yesus. Keadilan dan belas kasih adalah dua hal mendasar dalam penerapan hukum.

Orang Farisi dan ahli-ahli kitab itu lebih menekankan hukum secara buta. Mereka bahkan tega menindas orang lain demi terlaksananya hukum.

Hakim itu tahu kalau guru memukul muridnya itu bukan karena benci, dendam atau mau melukai. Dia justru sayang kepada muridnya.

Itu adalah bagian dari proses pengajaran agar anak didiknya mempunyai akhlak yang luhur dan moral yang baik. Hakim itu justru berterimakasih karena pernah dipukul waktu belajar.

Kalau tidak diajar demikian, ia tidak akan menjadi hakim seperti sekarang ini. Jangan disalahkan kalau anak-anak sekarang tidak tahu sopan santun, tidak bisa menghargai orang tua, berani melawan, tidak tahu terimakasih.

Ini semua karena hukum diterapkan secara buta, tanpa melihat rasa keadilan dan belas kasih. Guru takut dilaporkan wali murid karena dianggap melanggar HAM.

Murid salah dibiarkan saja. Akhlak anak hancur karena takut melanggar hukum. Agama seharusnya lebih menekankan kasih sayang dan keadilan. Ia harus membebaskan orang dari rasa takut.

Yesus mengajak kita untuk mengerti esensi hukum. Jangan hanya melaksanakan hukum secara buta.

Raja Dangdut adalah A. Rafik
Ada gadis cantik matanya melirik
Jadi orang tidak usah munafik
Banyak omong perilakunya tidak baik

Cawas, suatu senja
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 26.08.19 Matius 23:13-22 / Pastor Gadungan

 

SEORANG ibu sedang khusuk berdoa di depan gua Maria yang ada di sudut gereja. Ibu itu terlihat menangis sesenggukan sambil mengusap air mata.

Seorang pemuda dengan pakaian necis, saleh dengan rosario di tangan dan salib tergantung di dadanya mendekati. “Ibu nampaknya sedang berbeban berat.” Ia memulai pembicaraan.

“Kok anda tahu?” jawab ibu itu. “Ibu berdoa khusuk sekali sejak tadi. Saya bisa membantu kalau ibu mau.” Ibu itu memang sedang punya masalah berat dan ini ada orang dengan penampilan saleh ingin membantu.

Ia menduga orang ini pastor di gereja ini. “Ini namecard saya. Ibu bisa menghubungi dan kita bisa ketemu secara private di suatu tempat.” Orang itu menyodorkan kartu namanya. Ibu itu percaya. Ia konsultasi semua permasalahan kepada “pastor” itu.

Tetapi lama-lama pemuda itu meminta uang, perhiasan, kartu kredit, dan barang berharga. Setelah itu ia menghilang pergi tak bisa dihubungi lagi. Awas ada pastor gadungan sedang mencari mangsa.

Kata-kata Yesus hari ini sungguh keras. Kecaman itu ditujukan kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka itu adalah orang-orang yang mengerti hukum dan penjaga nilai-nilai moral.

Tetapi cara hidup mereka justru menghalangi orang mencapai kesucian. Mereka membebani orang dengan aturan-aturan yang berat. Mereka menelan rumah janda-janda dengan doa yang panjang-panjang.

Status janda adalah kelompok yang rentan dan lemah di masyarakat. Seharusnya mereka ditolong bukan dibebani dan ditindas. Mereka mengelabui kelompok lemah ini dengan tindakan religius.

Mereka mencari pengikut kemana-mana, mempertobatkan orang. Sesudah bertobat, mereka dijadikan sapi perah untuk pundi-pundi mereka, bukan untuk kepentingan bait suci.

Mereka berkotbah panjang sampai mulutnya berbuih. Tetapi dibalik jubah panjangnya adalah barang rampasan. Dengan alasan suci mereka mengejar previlegi-previlegi, atau perlakuan khusus hanya demi keuntungan pribadi.

Itulah yang dikecam oleh Yesus, sikap munafik, jualan kesucian demi mengeruk keuntungan pribadi.

Para ahli Taurat ini menutup pintu keselamatan bagi orang-orang yang lemah dan menderita. Banyak orang ingin mencari keselamatan tetapi dipersulit dengan aturan-aturan yang “dibuat-buat”.

Yesus mengutuk/mengecam orang bukan karena Dia marah atau dendam. Yesus mengecam karena perbuatan kita yang menghalangi orang masuk surga.

Kadang kita juga munafik, meyesatkan orang dengan alasan saleh demi keuntungan pribadi kita. Awas kalau tidak hati-hati, kitalah yang dikecam Yesus.

Di Kawah Ijen ada sinar-sinar aneh
Itulah blue fire nama kerennya
Tutur kata dan tindakan kita kelihatan saleh
Hati-hati kalau itu topeng kemunafikan kita

Cawas, suatu senja
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta 13.08.19 Matius 18:1-5. 10. 12-14 / Pandu Swarga

 

KETIKA para Pandawa mengetahui bahwa orangtua mereka dimasukkan ke Kawah Candradimuka yakni neraka yang penuh dengan api berkobar-kobar, Bima tidak terima. Dia memprotes dewa Suralaya.

Sebagai anak, mereka ingin orangtua mereka mengalami kebahagiaan di alam keabadian. Batara Guru sebagai pimpinan para dewa mengabulkan permohonan mereka asal mereka mau menderita di dunia.

Para Pandawa sanggup mengalami penderitaan asal Pandu, Kunti dan Madrim berbahagia di surga.

Para murid bertanya kepada Yesus tentang siapa yang terbesar dalam Kerajaan surga. Menurut kacamata dunia, orang-orang besar adalah orang yang hebat, sukses, terkenal, kaya raya.

Tetapi dalam pandangan Yesus, mereka yang terbesar di kerajaan surga digambarkan justru seperti anak kecil yang jujur, polos dan sederhana.

“Jika kalian tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kalian tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Keraaan Surga.”

Pertobatan dan merendahkan diri menjadi syarat orang masuk ke dalam Kerajaan Surga. Pandagan Allah teryata berbeda dengan pandangan manusia. Besar di dalam Keraajan Allah berbeda dengan besar di mata dunia. Kebahagiaan Allah berbeda dengan kebahagiaan kita.

Allah sangat bahagia dan gembira jika menemukan satu orang bertobat melebihi yang lainnya. Penilaian surga dan dunia sangat berbeda. Kisah tentang Lazarus dan orang kaya juga bisa menjelaskannya.

Menjadi kecil, merendahkan diri, mau berkorban, menderita bagi orang lain, berlawanan dengan ingin menjadi besar, hebat, sukses, berlimpah, dipandang “wah” atau kaya raya.

Itu adalah pandangan dunia. Maka Para Pandawa itu bersedia menderita di bumi agar kelak mendapatkan kebahagiaan di surga.

Marilah kita berani menjadi seperti anak kecil yang suci polos, jujur dan sederhana. Merekalah yang empunya Kerajaan Surga.

Alat tulis namanya pensil
Biar lengkap ditambah spidol warna
Berani menjadi seperti anak kecil
Agar kelak mendapat tempat di surga

Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr

Puncta Senin, 12.08.19 Matius 17:22-27 / Batu Sandungan

 

BATU yang semestinya menjadi penopang bangunan yang kokoh, namun kalau dia salah tempat akan menjadi pengganggu jalan.Bisa-bisa malah mencelakakan orang yang lewat.

Itulah yang dimaksudkan dengan batu sandungan. Karena salah menempatkan diri, batu yang semestinya menjadi kekuatan namun justru menjadi sandungan.

Orang dianggap sebagai batu sandungan jika tingkah laku atau sikap hidupnya tidak sesuai dengan posisi atau kedudukannya.

Seorang yang semestinya dihormati secara moral tetapi hidupnya justru menyimpang dari nilai-nilai moral yang dianut masyarakat.

Misalnya seorang anggota dewan yang harusnya memberi contoh taat pajak, namun melaporkan LHKPN saja enggan.

Seorang pemimpin yang mestinya tidak korupsi, namun bisa kena tangkap tangan KPK karena korupsi. Seorang aparat yang seharusnya taat pada peraturan lalu lintas, tetapi malah melanggarnya.

Sikap atau tindakan seseorang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moral bisa menjadi batu sandungan bagi kehidupan bersama.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengajarkan kepada murid-muridNya agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.

Yesus taat pada aturan masyarakat. Ia menyuruh Simon untuk membayar pajak kepada negara. “Tetapi agar kita jangan menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutna, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambilah itu dan bayarlah kepada mereka, bagiKu dan bagimu.”

Tindakan itu diharapkan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Kita diharapkan berlaku jujur dan lurus. Dapat menjadi contoh bagi orang lain.

Jika rakyat berlaku demikian, apalagi para pemimpin yang dituntut lebih dari orang kebanyakan. Seorang tokoh masyarakat semestinya dapat menjadi teladan hidup.

Janganlah menjadi batu sandungan bagi orang lain. Jika kita minim teladan hidup, maka kita mengalami kesulitan menemukan role model hidup baik.

Marilah kita menciptakan tokoh-tokoh panutan di dalam kehidupan masyarakat. Kita semua ikut bertanggungjawab menjadi role model bagi sekitar kita.

Hitung satu dua tiga empat
Gerak jalan berbaris rapi
Menjadi contoh teladan di masyarakat
Bisa dimulai dari keluarga sendiri

Berkah Dalem,
Rm. A. Joko Purwanto Pr