by editor | Feb 11, 2020 | Renungan
SUATU KALI saya pergi ke Kuching. Saya belanja di supermarket. Di suatu sudut tempat berjualan daging-daging ada tulisan terpampang NON HALAL.
Saya lihat di situ dijual daging babi. Saya bertanya kepada penjaga mengapa daging itu dijual di tempat umum? Penjaga itu mengatakan,
“Kami ini adalah public market, siapa pun boleh belanja di sini. Di sini bebas menjual daging itu, asalkan diberi tulisan seperti yang terbaca itu. Orang sudah tahu sendiri. Kalau tidak mau ya jangan membeli. Kami juga harus melayani mereka yang membutuhkan. Mudah bukan? Kalau di Indon bagaimana?” Saya tidak bisa menjawab.
Yesus mengajarkan kepada orang banyak, “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskan dia. Tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.”
Bagi Yesus apa yang menajiskan seseorang adalah bukan yang masuk tetapi yang keluar dari dalam diri manusia.
“Segala sesuatu yang dari luar masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskan dia, karena tidak masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban.”
Yesus berkata lagi, “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya. Sebab dari dalam hati orang timbul segala pikiran jahat, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”
Intinya adalah bukan apa yang masuk ke dalam diri seseorang tetapi apa yang keluar dari seseorang itulah yang bisa menajiskannya.
Allah menciptakan alam semesta ini dalam keadaan baik. Semua makhluk diciptakan baik adanya. Semua diciptakan agar berguna bagi yang lainnya.
Bagi Yesus, kenajisan bukan ditentukan dari apa yang dimakan, tetapi dari dalam diri manusia sendiri yakni hatinya. Kalau hatinya kotor, maka melihat segala sesuatu dipandang kotor.
Orang Bali itu melihat gadis-gadis di pantai berbikini biasa saja. Tetapi kalau melihat itu lalu air liur kita nyerocos seperti lendir, itu tandanya pikiran kita kotor.
Kalau tidak mau melihat ya jangan ke pantai, pergilah ke Pura. Di Pura melihat gadis-gadis cantik memakai pakaian adat yang ketat, lalu mata kita blingsatan. Itu berarti pikiran dan hati kita yang harus dibersihkan.
Jangan menyalahkan orang lain. Tapi salahkan diri sendiri yang pikirannya kotor. Bukan apa yang dari luar yang menajiskan, tetapi apa yang dari dalam itulah yang menajiskan.
Bersihkan dulu hati dan pikiran yang kotor itu. Jangan cepat-cepat menghakimi orang atau menghukum dan merusak tatanan hidup bermasyarakat.
Cicak cicak bertingkah lawan buaya
Sekali libas dilahap semua
Bukan yang masuk ke dalam diri manusia
Tetapi yang keluar itulah yang menajiskannya
Cawas, suara cicak di dinding menggoda
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Feb 10, 2020 | Renungan
PAUS Fransiskus memberi pesan kepada semua orang dalam peringatan Hari Orang Sakit Sedunia hari ini, “Orang harus lebih diprioritaskan daripada sakit.”
Beberapa hari ini kita dihebohkan dengan virus corona di Wuhan, Tiongkok. Ketika ada 243 orang WNI yang akan dipulangkan dan diisolasi di Pulau Natuna, masyarakat Natuna menolak dengan demonstrasi.
Sangat kontras dengan yang dilakukan Pemerintah Jepang. Mereka tidak hanya memulangkan warganya, tetapi justru mengirim obat-obatan, masker dan ratusan relawan medis berjibaku mengulurkan tangan untuk menolong warga Wuhan.
Kita ini hanya memikirkan penyakit akibat virus corona, tetapi tidak menolong orangnya. Orangnya harus diselamatkan. Itu tindakan yang lebih penting.
Bisa jadi mereka yang demo itu tidak tahu persis apa itu virus corona. Mereka hanya terprovokasi oleh berita medsos dan kepentingan tertentu. 243 WNI itu adalah saudara kita yang harus ditolong lebih dahulu.
Seperti dalam Injil hari ini, orang-orang Farisi memprotes Yesus karena murid-muridNya dituduh melanggar adat istiadat nenek moyang.
“Mengapa murid-muridMu tidak mematuhi adat istiadat nenek moyang kita? Mengapa mereka makan dengan tangan najis?”
Yesus menjawab, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik Sebab ada tertulis, Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripadaKu. Percuma mereka beribadat kepadaKu sebab ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”
Boleh kita takut atau kawatir karena ada virus corona. Tetapi jangan kita tidak menolong saudara kita yang ada di Wuhan.
Tindakan preventif kita lakukan agar tidak tertular penyakit. Tetapi kita tidak boleh mengucilkan mereka.
Dalam hal ini Yesus kemudian membuat perbandingan. Kalau orangtuamu sakit, lalu demi melaksanakan adat istiadat dalam persembahan kurban, hartanya kamu pakai untuk kurban persembahan dan membiarkan orangtuamu menderita.
Apakah itu tidak melanggar Hukum Tuhan? Sabda Allah tidak berlaku demi melaksanakan adat istiadat manusia?
Mari kita mengutamakan manusianya lebih dahulu. Menolong mereka lebih diutamakan daripada melihat sakitnya apa. Hukum Tuhan harus lebih diutamakan daripada adat istiadat buatan manusia.
Suara cicak di dinding
Dengan garang menyergap
Menolong manusia itu lebih penting
Daripada curiga tanpa sebab.
Cawas, hasil pengukuran 15.7
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Feb 10, 2020 | Renungan
KALAU kita pergi ke Biara Nevers Perancis, kita akan menjumpai relikwi yakni tubuh St. Bernadete Soubirus.
Di Gereja Rotondo Italia kita bisa menjumpai relikwi Santo Padre Pio yang memperoleh stigmata (luka-luka Yesus).
Relikwi adalah suatu benda peninggalan orang-orang kudus. Benda itu bisa bagian dari anggota tubuh santo atau santa, barang yang melekat, menyentuh atau dipakai oleh orang kudus itu.
Misalnya jubah, baju, sepatu,dll. Relikwi dibagi menjadi tiga kelas. Yang pertama adalah semua bagian tubuh dari orang kudus tersebut.
Kedua, adalah pakaian atau semua barang yang dimiliki orang kudus itu. Ketiga, adalah barang-barang yang disentuhkan atau dihubungkan dengan orang-orang kudus itu.
Relikwi berguna untuk semakin mendekatkan kita kepada Tuhan yang melakukan karya-karya agung melalui santo-santa. Dengan melihat, menyentuh relikwi kita semakin mengimani Allah yang mahabesar dan mahakasih.
Dalam bacaan Injil hari ini, banyak orang memburu Yesus. kemanapun Yesus pergi, orang-orang itu membawa orang sakit di pasar, di pinggir jalan, agar mereka diperkenankan menjamah jumbai jubahNya saja. Dan mereka menjadi sembuh.
Menjamah jumbai jubahNya saja sudah bisa menyembuhkan penyakit mereka. Orang-orang itu mengejar Yesus supaya disembuhkan. Maka hanya dengan menjamah jumbai jubahNya saja sudah cukup.
Padahal yang paling penting adalah berjumpa dengan Yesus. Bukan cuma menyentuh jumbaiNya tetapi berjumpa dengan pribadiNya.
Orang-orang sakit itu hanya butuh jumbaiNya bukan Orangnya. Mungkin mereka tidak perlu ketemu atau berbicara dengan Yesus. mereka hanya ingin disembuhkan, asal saja dapat menyentuh jumbaiNya. Mereka percaya pada jubahNya yang mempunyai daya magis.
Percaya seperti itu belum tepat. Seolah-olah yang mempunyai daya penyembuh adalah barang-barangnya. Orang lalu mengkultuskan barang-barang itu menjadi jimat.
Yang dipercaya menyembuhkan bukan barangnya tetapi pribadiNya. Kuasa Yesuslah yang mampu menyembuhkan. Seperti kalau kita mengagumi patung Pieta yang indah.
Kita tidak hanya berhenti pada patungnya, tetapi kita lebih mengagumi Michael Angelo, sang penciptanya.
Begitu juga kita tidak berhenti pada relikwi atau barang-barang suci, tetapi kita lebih mengagumi karya Allah yang membuat orang suci itu bertahan dalam imannya.
Kadang kita seperti orang-orang Genesaret itu. Kita berdoa kusuk mohon penyembuhan. Fokusnya pada kesembuhan kita. Yang penting saya harus sembuh.
Fokus doa bukan pada Allah yang mahakuasa dan mengasihi kita. tetapi egoisme pribadi yang lebih utama.
Akibatnya, kalau tidak sembuh, lalu marah pada Tuhan, menyalahkan Tuhan. Kita sering lupa bahwa fokus doa itu bukan ego kita, tetapi kasih Allah yang tiada habisnya.
Ke sungai mancing ikan sepat.
Ikan yang kecil melompat-lompat.
Jangan hanya mencari mukjijat.
Berimanlah pada Yesus yang hebat
Gua Kerep, di sebuah Paviliun
Rm. A. Joko PurwantoPr
by editor | Feb 9, 2020 | Renungan
TERANG bulan memberi cahaya yang indah saat malam gulita. Pengalaman romantis dan syahdu itu kualami saat perjalanan pulang dari Ngaliyan – Curug Sewu – Sukorejo.
Waktu itu aku pulang dari pelayanan di Stasi Ngaliyan. Malam yang sepi hanya ditemani oleh terang bulan. Melewati kebun-kebun cengkeh dan bau kembangnya sangat terasa.
Bulan di atas menerangi jalan yang berkelak-kelok. Walau tidak seterang siang hari, tetapi aku bisa mematikan lampu sepeda motor. Jalan-jalan masih jelas terlihat karena sinar bulan.
Sangat indah dan memorable. Terang bulan itu walau hanya redup tetap mampu menerangi langkah kita.
Hari ini Yesus bersabda kepada kita para muridNya, “Kamu adalah garam dunia, jika garam menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.”
Yesus tidak menyuruh kita menjadi garam atau terang. Tetapi Yesus menyebut bahwa kita ADALAH garam dan terang dunia.
Sama seperti yang dikatakan oleh Mgr. Sugijapranata, bahwa kita ini bukan orang katolik DI Indonesia, tetapi Orang Katolik Indonesia. Jadi 100% katolik, ya 100% Indonesia.
Kita adalah garam. Kita adalah terang. Seperti garam, kita mesti berguna bagi masakan. Garam itu walau sedikit tetapi memberi rasa. Bukan kuantitasnya yang penting tetapi kualitasnya.
Menjadi orang katolik mesti berkualitas. Kalau tidak, kita hanya diinjak-injak. Tidak akan diperhitungkan. Banyak pengalaman di lapangan yang menunjukkan bagaimana orang katolik dipersulit beribadah, naik pangkat, menduduki jabatan.
Maka untuk bisa tetap eksis, kita dituntut hidup berkualitas. Garam dan Terang sangat bagus menjadi gambaran.
Kita adalah terang dunia. Terang atau cahaya akan berguna kalau ditaruh di atas. Tunjukkan kualitasmu, maka kamu akan dilihat orang. kualitas hidupmu adalah cahaya yang menerangi sekitarmu.
Kita baru saja kehilangan Bapak JB. Sumarlin. Pada masanya, bersama LB Moerdani, Cosmas Batubara dan tokoh-tokoh yang lain, mereka menunjukkan kualitas hidup sebagai garam dan terang dunia.
Maka sebagai garam dan terang, kita tidak mengejar banyaknya tetapi mutunya. Sedikit, kecil tetapi bermutu. Banyak tetapi kalau tidak bermutu tidak ada faedahnya.
Garam dan terang itu ada untuk berguna, untuk habis dibagikan. Garam dan terang itu larut habis untuk memberi rasa nikmat dan menerangi sekitarnya.
Hidup ini bukan untuk diri sendiri. Hidup akan berguna kalau kita berbagi dengan yang lain. Ingat Yesus menyebut, “Kamu ADALAH garam. Kamu ADALAH terang.” Sadarkah kita?
Gunting yang tajam bikin merinding
Untuk memotong rambut poninya
Tidak usah ambil pusing
Jadi garam sedikit tetap berguna
Cawas, menggunting pita biru
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Feb 6, 2020 | Renungan
KETIKA perang Baratayuda tidak bisa dielakkan lagi, Kresna sebagai penasehat Pandawa datang menemui Adipati Karna.
Kresna membujuk Karna agar kembali bersatu dengan saudara-saudaranya, para Pandawa. Namun Karna menolak dengan alasan sebagai seorang ksatria dia harus konsisten dengan keputusannya.
Dia sudah berhutang budi dengan Raja Hastina yakni Duryudana, karena Karna diangkat menjadi Raja di Angga.
Kekuasaan atau kedudukan telah membutakan Karna. Dia lebih memilih membela Kurawa demi kedudukannya daripada memihak kebenaran yang diperjuangkan Pandawa.
Kendati Kurawa di pihak yang salah, namun karena ia telah berhutang budi, maka Karna lebih memilih berada di pihak mereka.
Orang yang merasa berhutang budi kadang bertindak membabi buta. Kendati tahu bahwa salah tetap dibelanya.
Dalam bacaan Injil hari ini, Herodes menghadapi dilema yang sama. Ia berhutang budi kepada anaknya yang telah menari menyukakan para tamu-tamu kehormatan.
Lalu ia bersumpah, “Apa saja yang kau minta akan kuberikan kepadamu, sekalipun itu setengah dari kerajaanku.”
Herodes tidak mengira kalau anaknya meminta kepala Yohanes Pembaptis. Herodes harus memilih, antara gengsi atau kebenaran.
Ia malu kalau mencabut sumpahnya, tetapi ia tidak mungkin juga membunuh Yohanes Pembaptis. Ia segan pada Yohanes Pembaptis karena ia benar dan saleh.
Ia lebih memilih harga dirinya sebagai raja daripada menegakkan kebenaran dan kejujuran yang diperjuangkan Yohanes Pembaptis. Gengsi atau harga dirinya lebih penting daripada kebenaran.
Karena tuntutan gaya hidup, orang bingung memilih antara korupsi atau membela kebenaran. Demi kekayaan atau kedudukan orang menghalalkan segala cara bahkan yang melanggar kebenaran dan keadilan.
Herodes takut harga dirinya jatuh dan lebih memilih membunuh Yohanes Pembaptis. Karna lebih memilih kedudukan daripada membela kebenaran. Ia tidak malu dibilang membela orang salah demi tetap mempertahankan kedudukannya.
Dalam kehidupan kita pun, sering harus menghadapi dilema seperti itu. Manakah yang akan kita pilih? Gengsi, harga diri atau keadilan?
Kedudukan, kekuasaan atau kebenaran? Korupsi atau kejujuran? Pilih ikut Herodes atau Yohanes Pembaptis? Manakah prinsip hidup yang anda perjuangkan saat ini?
Bau menyengat di tempat sampah
Ada bangkai tikus yang dibakar
Mengikuti Yesus itu tidak mudah
Berat memang memilih yang benar
Cawas, keliru melihat tanggal merah
Rm. A. Joko Purwanto Pr