Puncta 03.10.20 / Lukas 10:17-24 / Lepas Jubah

 

SEANDAINYA jubah ini kulepas, siapakah aku sesungguhnya? Sekuasa inikah aku sampai-sampai orang yang berdosa ini diberi kuasa menghadirkan Tuhan? Sehebat inikah aku? Sampai-sampai bisa mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Tuhanku? Seandainya jubah ini kulepas, sehebat itukah aku?

Aku mudah menggunakan kuasa itu dengan alasan suci. Dengan jubah itu seorang imam disanjung dan dipuji. Tetapi sering memanipulasi pelayanan dengan mencari popularitas diri. Hanya senang melayani mereka yang berdasi dan bersepatu hak tinggi dan mengabaikan umat miskin tanpa amplop intensi. Melayani misa seperti mengejar setoran gaji.

Kuasa itu bisa disalahgunakan bahkan dengan alasan rohani yang saleh. Mimbar tidak dipakai untuk kotbah tetapi untuk marah-marah karena “caosan dhahar” tidak sesuai selera lidah. Orang kaya dilayani dengan urutan nomor mewah, sementara orang miskin didiamkan ke tempat sampah.

Kuasa Tuhan itu identik dengan jubah. Seandainya jubah ini kulepas, apakah aku punya kuasa yang bebas, luas tanpa batas? Benarlah apa yang dikatakan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad 19.

Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan: Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Seorang imam Tuhan diberi kuasa absolut melalui tahbisan. Jubah itu tanda luarnya. Umat melihat jubah imam langsung menyembah. Kalau tidak hati-hati, jubah itu menjelma jadi korupsi.

Pada hari sabtu imam, sabtu sesudah Jumat pertama ini, kita para imam diajak merefleksi diri. Sebagaimana Yesus memberi kuasa kepada para murid-Nya, para imam dengan tahbisan diberi kuasa untuk melayani, bukan untuk menguasai, apalagi memarah-marahi.

Yesus berkata, “Sesungguhnya Aku telah memberi kalian kuasa untuk menginjak-injak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tiada yang dapat membahayakan kalian.”

Jika jubah itu diibaratkan dengan kuasa, mari kita para imam bertanya diri, seandainya jubah itu dilepas, kuasa apakah yang masih tersisa selain manusia lemah “ora direken liyan”, dilirik orang pun tidak. Tidak ada apa-apanya.

Kita ini hanya diberi kuasa oleh Tuhan. Itu adalah amanah. Tanggungjawab kita dengan Tuhan yang memberi kuasa. Mari kita gunakan kuasa itu dengan baik untuk melayani dengan rendah hati.

Makan pecel dengan sambel belut.
Kurang puas campur dengan sambel terasi.
Jubah itu ibarat kuasa yang absolut.
Bisa untuk menguasai tapi juga bisa untuk melayani.

Cawas, AJP ajaahhhh….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 02.10.20 / PW. Para Malaikat Pelindung / Matius 18;1-5.10

 

Malaikat Bernama Uder

BILA harus turne ke Stasi Tanjung Bunga, hati rasanya sudah kecut. Bukan hanya umatnya yang pasif acuh tak acuh, tetapi medan jalannya juga sangat sulit. Jalur ke sana harus melewati jalan perkebunan sawit yang membingungkan.

Hampir semua jalan modelnya sama, jadi mudah menyesatkan. Beberapa kali saya pernah tersesat dan kebingungan. Kadang ada penduduk yang pulang dari sungai atau lahan muncul. Itulah malaikat.

Sesudah kebun sawit masih harus menembus hutan berbukit-bukit. Kadang ada jembatan yang putus. Harus ekstra hati-hati melewati satu titian kayu. Seperti uji nyali. Sungguh membakar adrenalin. Di ujung bukit masih ada tantangan lain, jalan menurun yang licin. Konsentrasi dibutuhkan supaya motor tidak terjun ke jurang.

Pak Uder dan Pak Sehat Totoi sangat senang membantu. Uder adalah malaikat saya kalau pulang dari Tanjung Bunga. Dia dengan senang hati mengantar saya melewati jalan licin berlumpur. Naik turun bukit di tengah hutan. Kadang dia turun dari motornya dan mendorong motor saya agar terbebas dari kubangan lumpur. Baju dan motor penuh lumpur itu sudah biasa.

Kami menyusuri jalan hutan dan perkebunan. Dia sudah hapal dengan medan, maka aman dan tentram kalau Uder menemani. Kalau hari sudah petang, dia mengantar sampai ujung kampung Engkadin. Dia harus balik lagi ke kampungnya dalam kegelapan. Menyusuri jalan gelap puluhan kilometer. Tidak ada listrik, jalan buruk. Hanya lampu sepeda motor yang menembus gelapnya malam di tengah hutan.

Intuisi sangat dibutuhkan ketika kita berada di alam terbuka. Tanda-tanda alam sangat membantu. Ada pengalaman intuitif ketika di tengah jalan ada seekor burung – seperti burung gagak berwarna kecoklat-coklatan – selalu terbang di depan mendahului, seolah menunjukkan jalan.

Ketika ada kera-kera itu tanda bahwa sudah dekat perladangan orang. Ketika ada anjing atau babi itu berarti sudah hampir masuk kampung orang. Hati rasanya tenang kalau sudah ketemu pondok-pondok di ladang. Kita tidak sendirian. Tujuan sudah di depan mata.

Seperti itulah saya mengalami malaikat pelindung menuntun dan membimbing dalam tugas dan karya-karya pelayanan. Malaikat itu tidak kelihatan. Tetapi melalui orang, peristiwa, tanda-tanda alam, saya merasa didampingi oleh malaikat pelindung. Kadang setelah mengalami hal-hal yang tidak masuk akal itu, saya bertanya kok bisa ya?

Kalau hanya mengandalkan kekuatan sendiri rasanya mustahil. Itu pasti karena pertolongan Tuhan. Malaikat pelindung menghindarkan saya dari bahaya yang menakutkan. Ada malaikat tanpa sayap diutus Tuhan menolong kita. Apakah anda percaya ada malaikat melindungi anda?

Pergi ke salon untuk potong rambut.
Habis keramas langsung dipijat lembut.
Jangan bimbang dan jangan takut.
Ada malaikat Tuhan yang selalu ikut.

Cawas, AJP ayoo jujug Pastoran….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr