Puncta 10.02.21 / PW St. Skolastika, Perawan / Markus 7 :14-23

 

– Kosher –

“BOLEH gak Pak Ari, kami bawa sambal terasi ke restoran?” tanya seorang peserta kepada Ariyanto, tour leader, ketika mau sarapan di restoran Grand Park Hotel Ramallah.

“Kalau tidak pakai sambal sendiri rasanya tidak selera” katanya sambil sembunyi-sembunyi bawa sambal terasi dari Indonesia.

Ari kemudian menjelaskan tentang istilah “kosher” dalam aturan Yahudi. Kosher berarti layak. Kosher food artinya makanan yang layak dikonsumsi dalam adat Yahudi. Kosher tidak hanya jenis makanan, tetapi juga cara pengolahannya.

Kosher sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai religius. Orang Yahudi sangat ketat menerapkan aturan keagamaan.

Aturan kosher melarang perpaduan jenis makanan daging dan produk olahan susu. Makanan yang tidak kosher seperti babi, kerang, kepiting dan turunannya tidak boleh dibawa masuk ke restoran. Tidak boleh dikonsumsi. Hal itu akan membuat najis semuanya.

Kepada para murid-Nya, Yesus memberi pemahaman baru. “Segala sesuatu yang dari luar masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskan dia. Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.”

Yesus menambahkan, “sebab dari dalam hati orang timbul segala pikiran jahat, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat itu timbul dari dalam dan menajiskan orang.”

Bukan apa yang masuk, tetapi yang keluar dari hati yang jahat dan kotor itulah yang akan menajiskan orang.

Merawat hati supaya tetap bersih, suci, murni itulah yang perlu dijaga. Hati yang bersih akan menghasilkan pikiran yang jernih. Pikiran yang jernih akan berdampak pada tutur kata dan tindakan yang baik.

Mari kita selalu menjaga hati.

Menikmati durian harum rasanya.
Ingat yang jual celananya biru muda.
Lebih baik jaga tindakan dan tutur kata,
Agar tidak menyakiti hati sesama.

Cawas, durian montong….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 09.02.21 / Markus 7:1-13 / Membasuh Tangan

 

PADA masa pandemi ini kita diajak untuk membiasakan diri melakukan 3M bahkan 5M. Mencuci tangan, Menjaga jarak, Memakai masker, Menghindari kerumunan dan Mengurangi bepergian.

Membasuh tangan demi menjaga hidup sehat agar tidak terpapar oleh virus corona yang terus merajalela.Sering membasuh tangan harus menjadi kebiasaan.

Sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak zaman dulu. Tetapi perkembangan zaman yang makin modern dan invidualis ini, membuat kebiasaan itu luntur.

Dulu di kampung-kampung ada “genthong” berisi air ditaruh di depan rumah. Fungsinya untuk membasuh tangan dan kaki sebelum orang masuk ke rumah. Keluarga yang rumahnya di pinggir jalan juga menyediakan genthong berisi air bersih untuk minum bagi yang dahaga dalam perjalanan.

Sayang sekali, orang zaman ini semakin tidak peduli dan egois. Kebiasaan membasuh tangan itu sudah hilang. Ketika virus corona datang, kita disadarkan kembali pentingnya membasuh tangan demi hidup bersih dan sehat.

Dalam Injil sikap yang sebaliknya nampak dalam diri kaum Farisi. Membasuh tangan menjadi hukum wajib yang harus dilakukan. Melalaikan itu sudah dianggap najis, berdosa.
Kaum Farisi menjadi sangat “skruple” jika melihat orang lain tidak mentaati hukum.

Kaum Farisi melihat murid-murid Yesus makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Mereka gusar dan gelisah ada pelanggaran terhadap adat istiadat nenek moyang.

Mereka skruple dengan memprotes kepada Yesus. “Mengapa murid-murid-Mu tidak mematuhi adat istiadat nenek moyang kita? Mengapa mereka makan dengan tangan najis?”

Kaum Farisi terlalu menekankan adat istiadat. Lalu dengan itu mereka berhak menilai dan mengadili orang. Adat lalu dijadikan alat untuk mengucilkan orang, menghukum orang. Sementara ada hukum yang lebih utama justru diabaikan.

Yesus mengkritik mereka. “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadatmu sendiri.”

Adat istiadat boleh dilakukan, tetapi jangan menghapuskan perintah yang utama. Adat jangan dimutlakkan sehingga mengganggu relasi dengan sesama dan Tuhan. Apalagi meminjam sabda Tuhan untuk mengadili sesama.

Siapakah kita sampai mengatas-namakan Tuhan sendiri?

Makan pisang di pinggir kali.
Terjerembab diserbu kera.
Janganlah suka mengadili.
Karena kita tidak sempurna.

Cawas, celana biru ….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 08.02.21 / Markus 6: 53-56 / Rumah Sakit Apung

 

ADALAH dr. Lie Dharmawan mengawali sebuah ide gila dengan membangun rumah sakit apung. Ia termotivasi membuat rumah sakit apung karena menghadapi kenyataan betapa sulitnya akses kesehatan bagi masyarakat di pulau-pulau terluar Indonesia. Ia memulai pelayanannya bagi masyarakat miskin pada tahun 2009.

Rumah sakit apung menjangkau daerah-daerah miskin di Indonesia timur, mulai dari Kepulauan Seribu, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku. Ia berlabuh di daerah-daerah terpencil seperti Kisar, Miangas dan Yapen Papua. Ia menolong dan menyembuhkan orang-orang sakit di daerah sulit.

Ketika wilayah Mamuju dilanda gempa, rumah sakit apung itu terlihat merapat di sana membantu para korban bencana.

Selama 10 tahun pelayarannya, RSA dr. Lie Dharmawan sudah melakukan 3.549 penyuluhan dan kampanye kesehatan dengan perincian; 331 pelayanan kesehatan untuk ibu hamil, 643 operasi kecil, dan 385 operasi besar. Selain itu, ada 13.368 pasien rawat jalan dan konsultasi kehamilan di bawah tanggung jawab tim dokter RSA dr. Lie Dharmawan.

Yesus naik perahu bersama murid-murid-Nya dan mendarat di Genesaret. Banyak orang datang mengusung orang-orang sakit di atas tilamnya. Dimana pun Yesus pergi, orang-orang meletakkan orang sakit di pasar atau di jalan yang dilewati Yesus. Mereka percaya, hanya dengan menjamah jumbai jubah-Nya saja, mereka akan sembuh. Kehadiran Yesus membawa sukacita, harapan dan keselamatan.

Yesus didatangi banyak orang untuk minta disembuhkan. Dokter Lie mendatangi banyak orang untuk menolong mereka yang sakit. Intinya semua orang bersukacita dan diselamatkan karena kehadiran mereka.

Di sekitar kita banyak orang menderita, apakah kehadiran kita bisa mendatangkan sukacita dan harapan bagi mereka? Hadir dan menyapa mereka itu bisa memberi rasa aman dan tentram bagi mereka yang punya beban berat.

Ideku terganggu sinar pelangi.
Tenggelam di bukit Wilwatikta.
Mari kita bangun semangat peduli.
Menolong sesama yang menderita.

Cawas, nonton layar tancap….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 07.02.21 – Minggu Biasa V Tahun B/1 – Markus 1:29-39

 

“Harmonisasi Doa dan Karya”

HIDUP doa dan karya itu adalah dua sisi kehidupan yang selalu diperjuangkan oleh setiap orang. Dalam kisah pewayangan, hidup karya itu dijalani saat menjadi ksatria. Hidup doa dilakukan waktu “madeg” resi atau begawan. Para ksatria yang baik selalu menjaga keseimbangan antara karya dan doanya.

Raden Arjuna menjalani hidup sebagai ksatria, juga “mesu budi” mengolah batinnya dalam doa sebagai Begawan Ciptaning. Raden Werkudara menjadi Begawan Bima Suci di Padepokan Argakilasa. Kakrasana menjalani penyucian diri sebagai Resi Jaladara. Kresna yang titisan Wisnu itu juga mengasah hidup rohaninya dalam diri Resi Padmanaba. Bahkan Hanoman, pahlawan perang Sri Ramawijaya itu “mesanggrah” sebagai Resi Mayangkara di Kendalisada.

Kehidupan ksatria adalah “memayu hayuning bawana” mengabdi kepada kebaikan makhluk. Ksatria selalu menolong mereka yang kecil, miskin, lemah dan tertindas. Resi atau Begawan melambangkan kehidupan doa dalam tapa hening, semadi.

Doa dan karya menyatu mempribadi dalam diri Yesus. Ia berkarya untuk menolong mereka yang sakit, kerasukan setan. Ibu mertua Simon disembuhkan, dan banyak orang datang mohon pertolongan-Nya.

“Menjelang malam, sesudah matahari terbenam, dibawalah kepada Yesus semua orang yang menderita sakit dan yang kerasukan setan. Yesus menyembuhkan banyak orang yang menderita bermacam-macam penyakit, dan mengusir banyak setan. Keesokan harinya, waktu hari masih gelap, Yesus bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.”

Doa dan karya, ora et labora menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Kita diingatkan agar tidak melalaikan doa. Selalu meluangkan waktu, entah pagi atau malam sunyi untuk berdoa.

Dengan begitu kita tidak akan kekeringan atau kehilangan daya untuk berkarya.

Satu jam dalam dua putaran lari.
Nafas terengah karena sudah tua.
Luangkan waktu di malam sunyi.
Menyatukan doa dengan karya.

Cawas, satu jam saja…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 06.02.21 / PW.St. Paulus Miki dkk, Imam dan Martir / Markus 6: 30-34

 

“Taize, Oase Kasih Persaudaraan”

SEBELUM mengikuti acara World Youth Day di Paris, saya punya waktu istimewa berkunjung di Taize, desa kecil di Burgundy, Perancis. Dari Stasiun Gare Montparnasse Paris saya naik kereta api menuju Stasiun Macon. Dari depan stasiun sudah ada bus yang menuju ke Taize.

Tinggal bersama di komunitas Taize dalam keheningan yang penuh sukacita membuat hati ini terasa tentram dan damai. Doa dengan nyanyian menambah suasana batin meluap penuh kegembiraan. Keheningan Taize seperti sebuah oase yang dalam di tengah padang pasir kehidupan.

Doa hening, meditasi kitab suci dan nyanyian-nyanyian lembut nan syahdu menjadi oase iman yang menyuburkan. Kasih persaudaraan dengan semua orang adalah buah-buah nyata dari oase Taize. Keheningan Taize menjadi sumber pengolahan diri dan tempat menimba inspirasi hidup.

Hari ini Yesus mengajak para murid-Nya untuk masuk dalam keheningan. “Marilah kita pergi ke tempat sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah sejenak.”

Kesibukan adalah godaan manusia zaman sekarang. Hiruk pikuk dunia menggoda kita untuk terus bekerja dan bekerja. Kadang kita lupa untuk mengambil waktu hening sebentar. Orang dikejar-kejar oleh pekerjaan.

Seperti seorang penebang kayu, dia butuh waktu sebentar untuk istirahat, agar kekuatannya bertambah. Kayu yang besar itu tidak akan rubuh jika si penebang terus mengayunkan kapaknya. Tenaganya akan habis, sementara kayu tetap tegak berdiri. Jika ia mau berhenti sejenak, diam dan hening, maka tenaga baru akan berlipat ganda.

Keheningan adalah waktu untuk mengambil jarak sebentar dari segala kesibukan. Keheningan adalah oase yang akan memberikan daya kekuatan besar.

Banyak orang zaman sekarang takut masuk ke dalam keheningan. Sebetulnya ia takut berhadapan dengan dirinya sendiri. Dalam hening, orang akan berjumpa dengan dirinya dan Tuhan. Itulah yang kadang menakutkan.

Kesunyian atau keheningan adalah kesempatan untuk mengolah batin. Hening adalah oase dimana kita menimba kekuatan baru untuk tugas dan tanggungjawab kita. Mari kita berani memasuki keheningan batin.

Pergi ke sungai membawa pancing.
Kita tangkap ikan arwana.
Mari masuk ke doa hening.
Kita makin dekat dengan Sang Sabda.

Cawas, jalan-jalan happy….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr