DALAM Buku Menghidupi Teologi Berkah bersama Mgr. J. Pujasumarta, tertulis sharing pengalaman pada waktu Frater Trilaksyanta (nama Mgr. Puja waktu muda) menjadi sub-pamong di Seminari Mertoyudan.

Sosok frater sub-pamong yang ‘kebapakan’ dan peduli dirasakan para seminaris. Dia hadir tidak menimbulkan rasa takut, tetapi menyejukkan dan justru memberi rasa damai.

Ada dua seminaris pada waktu itu ketahuan malam-malam masih “ngebut” belajar di belakang WC.

Dengan diterangi lilin remang-remang, mereka ngumpet-ngumpet mempersiapkan ulangan bahasa Latin.

Kepada mereka Frater Trilaksyanta cuma bilang, “Kasihan matanya. Dilanjutkan besuk saja belajarnya. Kalau masih tetap sulit, saya beri ‘les tambahan’ deh !”

Pamong itu tidak menghukum atau memarahi tetapi membantu memberi solusi yang menenteramkan.

Itulah kata-kata Yesus dalam Injil hari ini, “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkanNya”.

Orang yang mengasihi tidak akan tega temannya jatuh dan patah atau pudar. Ia datang menguatkan, meneguhkan, membawa damai dan harapan sehingga teman bisa bangkit dan berjuang.

Marilah kita belajar berbelarasa. Jika ada teman yang salah, jangan kita ikut menyorakinya, mengejek atau berteriak “huuuuuuuuu”.

Mari kita mengaca diri kalau aku sedang di posisi dia, bagaimana perasaanku. Dengan begitu kita tidak akan mudah menghukum sesama.

Selamat merenungkan.

Masih mengikuti kirab obor Asian Games? Tetap Indonesia satu.

Berkah Dalem.

(Rm. A. Joko Purwanto Pr)