by editor | Sep 7, 2020 | Renungan
Sukipan Fans Club
DI ATAS panggung duo sinden asal Klaten ini bikin heboh. Namanya Kusumaning Ayu Mimin Saputri Ratu Onggo Inggi Pringganingtyas Arigustanti Agni Pratista Arkadewi Kuswardono. Panggilannya Mimin alias Sukimin.
Pasangannya, Princes Aprilia Sucipto Suzuki. Princes artinya bidadari. Apriliia berarti perempuan yang cantik sekali lahirnya bulan april. Sucipto, bukan anaknya Pak Cipto, tapi mengandung arti “susune lancip merga ganjelan bata”, Suzuki artinya “jarene susu jebul kaos kaki.” Panggilan kerennya Apri alias Panut.
Mereka adalah sinden heboh dengan penampilan super cantik dan suaranya tinggi seperti wanita. Padahal mereka adalah laki-laki tulen. Banyak orang terpana, terkesiap oleh kecantikan dan suara mereka. Mereka menyulap diri mereka dengan dandanan wanita sempurna. Padahal mereka adalah lelaki asli yang juga disunat.
Dulu mereka dipandang sebelah mata sebagai banci atau waria. Tetapi simaklah isi kata-katanya Mimin, “mentes, penuh optimisme, kebaikan dan religius. Suara Apri sangat berkualitas dan profesional.
Saking tergila-gila oleh popularitas mereka, ada sekelompok orang membuat grup “Sukipan Fans Club” yang diambil dari nama asli mereka, Sukimin dan Panut.
Mimin selalu memberi nasehat, “Jangan terkecoh oleh penampilan luar. Banyak lelaki tertipu oleh dandanan luar. Jangan menilai orang hanya dengan melihat tata lahiriahnya saja.
Jangan memandang perempuan hanya dari “chasingnya.” Yang lebih utama dan penting adalah batinnya yang baik, mutu hidup, kualitas pribadi, itu yang menentukan nilai seseorang.”
Dalam silsilah Yesus yang dikutip oleh Matius, sebagian besar nama adalah kaum laki-laki. Ada empat nama perempuan; Tamar, Rut, Istri Uria (Bersyeba) dan Maria. Nama-nama itu kalau dilihat secara lahiriah manusiawi punya “cacat.” Mereka dipandang sebelah mata.
Tamar melacurkan diri dengan Yehuda, mertuanya sendiri. Rut adalah orang dari luar Israel, bukan bangsa terpilih. Bersyeba diambil Daud dengan intrik yang licik, jahat dan kejam. Maria mengandung dari Roh Kudus sebelum bersuamikan Yusuf.
Jangan memandang rendah atau meremehkan wanita-wanita di atas. Mereka dipakai Allah menyelamatkan bangsa manusia.
Allah itu menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Ia mau menyelamatkan manusia dengan berbagai cara. Bahkan yang dilihat tidak baik menurut kaca mata manusia, bisa dipakai Allah sebagai jalan kepada keselamatan.
Kaca mata Allah berbeda dengan kacamata manusia. Keselamatan Allah bersifat universal. Allah ingin menyelamatkan manusia melalui Yesus dengan cara apa pun dan untuk siapa pun.
Jalan berdua di tengah taman kota.
Menikmati temaran dan indahnya panorama.
Jangan menilai orang hanya dari segi luarnya.
Lihatlah kualitas dan mutu pribadinya.
Cawas, punya jurus B3…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 6, 2020 | Renungan
DILEMA dapat dimaknai sebagai situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.
Dilema dapat terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia, misalnya asmara, keluarga, persahabatan, minat, pekerjaan, jodoh dan lain-lainnya yang semuanya menyebabkan seseorang sulit mengambil keputusan.
Kumbokarno menghadapi dilema atau pilihan yang sulit. Sebagai adik, dia harus membela kakaknya, Rahwana. Tapi Rahwana jahat menculik Sinta, istri Rama. Ia membenarkan tindakan Rama kendati ia berada di pihak musuh. Karena dilema yang sulit itu, ia tidak mau ikut campur urusan dan melakukan tapa tidur.
Sedangkan Wibisana, adiknya yang bungsu, dengan tegas menyalahkan Rahwana dan keluar dari Alengka untuk membela Rama. Gunawan yakin Rama berada di pihak yang benar. Rahwana berada di pihak yang salah karena merebut istri orang lain.
Yesus juga dihadapkan pada situasi yang dilematis. Orang-orang Farisi tahu kondisi itu. Mereka mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Yesus melakukan pilihan yang keliru sehingga mereka dapat menyalahkan-Nya. Di rumah ibadat itu ada orang yang mati tangan kanannya. Tetapi hari itu adalah hari Sabat. Menurut aturan Yahudi, orang tidak boleh melakukan pekerjaan pada hari Sabat.
Yesus dihadapkan pada masalah. Menyembuhkan orang tetapi melanggar aturan Sabat atau mengikuti aturan tetapi membiarkan orang itu tetap sakit. Pikiran orang Farisi sudah jahat; ingin menjatuhkan Yesus dan mempersalahkan-Nya.
Yesus mengajak audiens untuk berpikir, menimbang-nimbang, membuat discerment. Dia bertanya, “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat? Menyelamatkan orang atau membinasakannya?”
Kita hanya tahu reaksi para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka sangat marah. Mereka memilih taat aturan dan membiarkan orang itu tidak selamat.
Sedangkan Yesus memilih menyelamatkan orang kendati harus melanggar hukum Sabat. Bagi Yesus keselamatan manusia lebih penting daripada hukum buatan manusia.
Manakah prinsip-prinsip yang kita pilih jika kita menghadapi suatu dilema? Beranikah kita mengambil prinsip kebenaran kendati arus umum menentangnya? Ataukah kita suka cari aman, mengikuti arus umum kendati melawan kebenaran? Pilihan anda menunjukkan kualitas pribadi anda.
Ada kisah manis di buah markisa
Baunya harum semerbak akasia
Jika kita menghadapi suatu dilema
Kepekaan suara hati akan menuntun kita
Cawas, tas pinggang kecil isinya besar…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 5, 2020 | Renungan
“Pastor Diturunkan oleh Koster”
SUATU hari para ibu sedang asyik bersih-bersih di gereja. Ada yang menyapu dan mengepel lantai. Ada yang bersih-bersih bangku, kaca jendela dan alat-alat misa. Mereka asyik mengerjakan tugas.
Tiba-tiba koster di gereja itu naik ke mimbar. Ia pegang mike dan berteriak dengan suara lantang, “Pengumuman-pengumuman, ibu-ibu dan bapak-bapak. Mulai hari ini Romo X (dia menyebut nama salah satu romo yang bertugas di paroki itu), saya turunkan menjadi frater. Dia tidak pantas menjadi romo lagi. Sekian pengumuman, terimakasih.”
Sontak semua ibu berhenti melakukan aktivitasnya, terbelalak dan melongo. Mereka terkejut dengan polah koster, anak yang polos, pendiam dan lugu itu, tiba-tiba berani tampil di mimbar dan membuat pengumuman penuh tanda tanya. “Ada apa bro?”
Tanya seorang ibu. “Kamu kok berani-beraninya menurunkan seorang romo? Kalau ada apa-apa kamu berbicara dulu bapak-bapak pengurus dewan, baru ke bapak uskup, jangan langsung diumumkan sendiri seperti ini.”
Rupanya dia sudah tidak tahan melihat perilaku seorang pastor yang tidak sesuai dengan janji tahbisannya. Ia tinggal di pastoran dan tahu segala hal yang dilakukan pastor itu. Tahun 2008 pastor itu akhirnya mundur. Pasti bukan karena pengumuman koster itu, melainkan karena keputusan bapak uskup yang bijaksana.
Dalam Injil, Yesus mengajarkan bagaimana kita menasehati sesama saudara. Pertama, dibicarakan “empat mata”. Kedua memanggil satu dua orang saksi, bukan untuk memojokkan tetapi untuk meyakinkan bahwa orang itu salah. Baru kalau dia tidak mau mendengarkan, hal-nya bisa dibawa kepada jemaat. Dibicarakan bersama demi kebaikan semua orang.
Mungkin koster itu takut menegur pastornya. Seorang pastor kalau sudah berdiri di mimbar berkuasa penuh. Tidak ada yang berani menginterupsi.
Sayangnya, kadang mimbar dijadikan tempat untuk mengadili orang. Ada pastor yang marah-marah menggunakan mimbar. Maka si koster ikut-ikutan pastornya. Ia langsung menurunkan pastornya dari mimbar.
Yesus mengajarkan kita menegur atau menasehati orang berdasarkan kasih persaudaraan. Tidak untuk mempermalukan atau menjatuhkan, tetapi demi perkembangan pribadi yang bersangkutan. Kalau tidak mau dinasehati ya biar umat menilai sendiri. “Becik ketitik, ala ketara.”
Pagi-pagi makan dua telur mata sapi.
Biar sehat dan kuat jasmani dan rohani.
Nasehati sesamamu dengan rendah hati.
Dengan harapan ada pertobatan dan perubahan diri.
Cawas, tidak boleh libur….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 4, 2020 | Renungan
“Noli Me Tangere”
(Jangan Menyentuh Aku)
NOVEL Jose Rizal ini sangat inspiratif bagi para pejuang keadilan. Karakter antagonis dimainkan oleh Pastor Damaso Verdolagas. Ia bermusuhan dengan Don Rafael, ayah Don Chrisostomo Ibarra. Damaso seperti orang Farisi yang membebani orang dengan aturan-aturan agama yang berat. Ia berkuasa mengkafirkan orang. Ia bertindak di atas segala hukum. Ia mempersulit orang dengan aturan-aturan yang dibuatnya sendiri. Ia menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya.
Pastor Damaso mempersulit Ibarra mendirikan sekolah. Ia menuduh Ibarra memberontak melawan pemerintah dan gereja. Pastor Damaso bertindak dengan angkuh, kejam dan menindas. Ia tidak berusaha melayani umat tetapi lebih menindas dan menguasai. Ia beripikir bahwa umat itu bodoh, dungu dan miskin. Dengan kuasa “kunci surga”, ia bisa menentukan orang masuk neraka, menjadi kafir dan dipersalahkan.
Yesus berhadapan dengan kaum Farisi yang mempersalahkan murid-murid Yesus. mereka memetik gandum dan memakannya pada hari sabat. Orang Farisi gusar karena murid-murid tidak menghormati hukum Sabat. Aturan harus dijalankan sampai sedetail-detailnya. Mereka merasa bersalah kalau melanggar adat istiadat nenek moyang. Mereka menuntut orang lain bertindak mengikuti cara hidup mereka. Kalau tidak, mereka dianggap kafir dan masuk neraka.
Seperti Pastor Damaso, kita sering merasa paling pinter dan sok kuasa. Umat dianggap tidak tahu apa-apa. Umat harus “manut’ atau nurut pada romonya. “Kalau mau ya begini, kalau gak mau ya terserah, sana cari romo sendiri saja.” Sering menghindari tugas dengan mengatakan, “maaf saya sibuk banyak acara, tolong hubungi romo vikaris.”
Ketemu dengan romo vikaris dijawab, “masalah ini wewenangnya pastor kepala, minta ijin dulu ke romo kepala. Kalau diijinkan baru saya urusnya.” Birokrasinya lebih rumit dan sulit dibanding kantor pemerintahan, apalagi kalau didasari rasa like and dislike. Padahal umat melihat romonya asyik dengan hobbynya, nonton film, makan-makan di resto yang mewah dengan ibu-ibu.
Kalau para pastor berpedoman pada sabda Yesus, “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat,” tentu tidak akan mempersulit diri dengan berbagai aturan yang membelenggu. Aturan itu bukan untuk berkuasa atau mempersulit, tetapi memudahkan orang menemukan solusi. Yesus mencarikan jalan bagi orang-orang Farisi itu, “Tidakkah kalian baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan para pengikutnya lapar?” Daud melanggar aturan demi para prajuritnya hidup. Jadi, Jangan merasa “sok suci.”
Kalau ada umat datang, jangan langsung ditembak dengan kalimat, “kamu datang hanya bawa masalah kan?” Tetapi seperti operator telepon itu, “Selamat pagi, apa yang bisa saya bantu?” Dengan berlaku demikian, setengah masalah sudah bisa diatasi.
Membeli topi untuk menutup kepala.
Topi olahraga gambarnya pemain bola Pele.
Tanpa jubah kalian hanya manusia biasa.
Jangan berlagak “kaya kere munggal bale”
Cawas, yakult…saya minum dua.
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 4, 2020 | Renungan
KALAU romo tua dicampur dengan romo muda di satu komunitas, isinya keluhan tidak cocok atau litani “tembok ratapan.” Romo tua mengeluhkan romo-romo muda. Begitu pula nanti sebaliknya.
Romo muda menilai yang senior itu kolot, ketinggalan zaman, “mandeg” atau stagnan, seneng kemapanan, kurang kreatif-inovatif. Romo tua menilai yang muda ini “pating pethakil” gak punya tatakrama, sopan santun.
Mereka ini penggemar teknologi, materialistis, gadjetnya gonta-ganti, mementingkan diri sendiri, seneng mejeng cari popularitas, malas dan arogan.
Di sisi lain, generasi tua punya kelebihan, dinilai sebagai generasi yang sopan, pekerja keras, berdedikasi tinggi, sangat peduli pada lingkungannya, sangat menghargai dan beretika.
Romo tua sering mengulangi frase “zaman saya dulu…” atau menilai romo-romo yunior dengan kalimat, “romo muda sekarang ini kurang….” Kalau zaman kami dulu gak ada romo muda seperti sekarang ini.”
Zaman kami dulu kalau bertemu Bapak Uskup harus memberi hormat, memberi salam dan mencium cincin beliau dengan takzim. Zaman sekarang ketemu Bapak Uskup malah melambaikan tangan dari jauh sambil teriak, “Halo Boss…”
Lingkaran penilaian seperti itu akan terus berputar tiada henti. Kalau romo-romo muda nanti menjadi senior juga akan menilai juniornya seperti itu. Tidak akan bisa ketemu. Baju tua tidak cocok ditambalkan ke baju baru. Begitu pula anggur baru tidak cocok dimasukkan ke kantong kulit yang sudah tua.
Segala sesuatu ada waktunya. Nasehat orangtua, “Kamu nanti juga akan mengalami menjadi tua seperti aku ini.” Orang harus mengalami lebih dahulu, baru nanti akan dapat menilainya. Ketika kita masih muda menilai orangtua kita lamban, malas. Nanti ketika kita menjadi tua, generasi berikutnya akan menilai kita juga lamban dan malas.
Maka tidak mungkin orang minum anggur tua atau lama ingin merasakan anggur yang baru. Anggur tua lebih enak daripada anggur baru. Tuak yang disimpan lama rasanya lebih nikmat daripada tuak yang baru jadi. Semua akan ada waktunya sendiri-sendiri. Setiap zaman atau generasi punya nilainya sendiri-sendiri.
Jika pastur tua digabungkan dengan pastur muda maksudnya biar saling belajar memahami satu sama lain. Yang muda belajar dari yang senior. Yang tua belajar mendengarkan dengan rendah hati kepada yang yunior. Tidak usah “mbondhan tanpa ratu atau mbeguguk ngutha waton” artinya hidup itu jangan semaunya sendiri.
Tak kan lupa pada telur gosong.
Baunya menyengat sampai sudut hati.
Kita tidak boleh merasa sombong.
Selalu ada plus minus di setiap generasi.
Cawas, telor mata sapi…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr