by editor | Sep 2, 2020 | Renungan
“Semar dan Togog”
SEMAR Bodronoyo sesungguhnya adalah dewa. Ia bernama Batara Ismaya. Togog Tejamantri adalah kakak Semar. Ia juga dewa yang bernama Batara Tejamaya. Semar dan Togog turun ke bumi dan menjadi abdi bagi para ksatria.
Semar mendampingi ksatria yang berwatak baik. Sedang Togog mengabdi ksatria yang berwatak buruk. Walaupun mereka itu orang kecil, tetapi sering memberi nasehat, kritik, saran, masukan yang baik kepada tuannya.
Semar danTogog adalah gambaran orang kecil, miskin, sederhana tetapi bijaksana. Mereka adalah wujud rakyat jelata. Jika para ksatria mengikuti nasehat rakyat kecil, hidup mereka akan berhasil, bahagia, selamat. Tetapi jika tidak mau mendengarkan, mereka menuju kehancuran dan kegagalan.
Suara Semar sering didengarkan oleh tuannya. Mereka berhasil mencapai cita-citanya. Sebaliknya nasehat Togog sering tidak digubris oleh tuannya yang sombong dan sok pinter.
Mereka kalah, tidak berhasil dan gagal hidupnya. Mereka yang tidak mau mendengar nasehat orang kecil itu merasa paling pinter, lebih kuasa, sok hebat, sombong, tidak terbuka.
Dalam Injil Yesus naik ke perahu Simon. Ia memerintahkan Simon untuk mencari ikan. “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”
Kalau dipikir-pikir, Simon dan teman-temannya adalah nelayan. Mata pencaharian mereka setiap hari adalah menangkap ikan. Mereka pasti sangat ahli dan mengenal medan.
Sebaliknya Yesus adalah seorang guru, pengajar yang tidak tahu menahu tentang kehidupan nelayan. Anak tukang kayu. Bahkan mungkin membuat jala saja Yesus tidak bisa.
Tetapi Ia menyuruh Simon bertolak ke tempat dalam dan menebarkan jala. Simon yang ahli mencari ikan itu mengungkapkan pengalamannya, “Guru telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa.”
Dia yang berpengalaman saja tidak berhasil. Tetapi dia terbuka terhadap perintah orang baru. “Tetapi atas perintah-Mu, aku akan menebarkan jala juga.”
Ketika mereka terbuka terhadap hal baru, nilai baru, mau mendengarkan orang lain, hasilnya sangat luar biasa. Mereka menangkap banyak ikan, jala mereka hampir koyak.
Ketika orang berani ambil resiko ke tempat yang dalam, hasilnya sungguh mengagumkan. Mari kita terbuka pada saran orang lain dan berani masuk ke tempat yang lebih dalam.
Merinding oleh hembusang angin.
Seluruh tubuh rasanya gemetar.
Dengarkanlah nasehat orang lain.
Jangan sombong merasa paling benar.
Cawas, gemericik air kolam….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 2, 2020 | Renungan
PERPISAHAN itu selalu mengharukan, setidaknya bagi saya. Apalagi jika punya kedekatan emosional dan pengalaman jatuh bangun bersama. Ibaratnya “lara lapa dilakoni bareng”, suka duka dialami bersama. Sebelum kembali ke Jawa, saya diundang misa di Nanga Tayap. Pak Herman, ketua umat bilang, “Kalau boleh Romo itu tidak usah balik ke Jawa, tinggal di sini saja?” Berat rasanya meninggalkan Tayap. Banyak pengalaman jatuh bangun yang menguatkan.
Lebih dari tujuh tahun menjadi bagian hidup mereka dalam suka duka. Pagi-pagi saya singgah ke rumah Pak Herman, menyerahkan kunci motor KLX. Motor itu hadiah teman-teman angkatan alumni Mertoyudan. Dia menemani saya kemana pun juga turne ke stasi-stasi. Saya tinggalkan motor itu untuk Tayap dan aku naik Honda GL kuning yang harus dikembalikan ke keuskupan. Waktu saya pamitan, Pak Herman memeluk saya di warungnya dan berkata, ”Jangan lupa dengan keluarga kami ya romo. Romo sudah jadi keluarga kami di sini.” Kaki ini seperti diikat batu yang besar, berat sekali mau melangkah.
Mata kami berkaca-kaca tak kuasa menahan gejolak. Ada rasa yang hilang. “Kenapa romo harus pindah?” Mama Felix gak berani mendekat, hanya berkata lirih, “Jangan lupa ya romo, sekali-kali tengoklah kami disini” Saya menjawab pelan, “Saya hanya taat melaksanakan perintah. Disuruh ke sana ya berangkat, pindah ke sini ya pindah, mung sendika dhawuh.” (Aku hanya ikuti perintah saja). Motor kutarik dengan laju, tak kuasa lama-lama, air mata ini mau membanjir dengan deras. Di tengah jalan suara tangis itu tenggelam oleh raungan sepeda motor.
Yesus berkarya dan mengajar di Kapernaum. Banyak mukjijat dilakukan di sana. Ia menyembuhkan ibu mertua Petrus dan banyak orang sakit lainnya. Orang-orang ingin supaya Yesus tidak meninggalkan Kapernaum. Mereka sangat sayang pada Yesus. Mereka ingin menahan Yesus untuk tetap tinggal di kota mereka.
“Ketika menemukan-Nya, mereka berusaha menahan Dia, supaya jangan meninggalkan mereka. Tetapi Yesus berkata kepada mereka, “Juga di kota-kota lain Aku harus mewartakan Injil Allah sebab untuk itulah Aku diutus.”
Yesus diutus Bapa untuk mewartakan Kabar Gembira, bukan hanya untuk orang Kapernaum, Bangsa Israel, tetapi untuk semua orang, semua bangsa. Maka Ia pergi dari desa ke desa, kota ke kota. Ia tidak hanya menetap di suatu tempat.
Sebagai imam, saya hanya taat kepada pimpinan, yakni Uskup. Sabda Yesus itu meneguhkan hati, ”Untuk itulah Aku diutus.” Sedih memang harus berpisah meninggalkan tempat tugas, tetapi perutusan harus diutamakan. Kehendak Bapa ada diatas segalanya. Demikian Yesus mengajari kita semua.
Bunga mawar di atas batu permata.
Di beli di plaza Catalunia.
Mari setia pada perutusan kita.
Menjalani hidup dengan gembira.
Cawas, satu jam 2 putaran…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | Sep 2, 2020 | Renungan
“Idu Geni”
BATARI Umayi adalah permaisuri Batara Guru, rajanya para dewa di Kahyangan. Ia selingkuh dengan penggembala sapi. Batara Guru marah dan bertitah, “Uma, tingkah lakumu tidak patut sebagai permaisuri dewata, kelakuanmu layaknya seperti raksasa.” Seketika itu juga wajah cantik Batari Uma berubah menjadi raseksi mengerikan. Ia diberi nama Batari Durga. Ia diusir pergi ke Setragandamayit, merajai segala jin setan, banaspati, pocong warudoyong. Perilakunya jahat mengganggu manusia. Mulutnya lebar bertaring, matanya besar memancarkan nafsu serakah. Aroma baunya busuk seperti bangkai. Karena sabda Batara Guru, Dewi Uma yang cantik berubah menjadi Batari Durga yang buruk rupa dan jahat.
“Sabda Pandita Ratu tan kena wola-wali” artinya sekali pandita, raja atau pemimpin bertitah akan terjadi. Bisa juga diibaratkan sabdanya bagai “idu geni”, apa saja yang dikatakan akan menjadi kenyataan. Seorang pemimpin yang berwibawa dan berkuasa, tidak cerewet banyak omong ibarat “kakehan gludhug kurang udan.” Sekali bersabda akan dilaksanakan oleh bawahannya. Wibawa seorang pemimpin mengalir dari sifat “berbudi bawa laksana.”
“Ber” itu bukan awalan, tetapi dari kata “luber” atau melimpah, tumpah ruah. “Budi” artinya watak yang baik. “Bawa” itu artinya kata-kata atau ucapan. “laksana” itu jalan, langkah, tindak-tanduk manusia. Seorang pemimpin mempunyai watak baik yang melimpah. Antara kata dan tindakan atau kebijakannya sesuai dan dapat dicontoh.
Dalam Injil, Yesus pergi ke Kapernaum. Ia mengajar pada hari-hari Sabat. Orang-orang takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa. Di situ ada orang yang kerasukan setan. Yesus menghardik dia, kata-Nya, “Diam, keluarlah daripadanya.” Setan itu tunduk dan keluar dari orang itu. Semua orang takjub dan berkata satu sama lain, “Alangkah hebatnya perkataan ini. Dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat, dan mereka pun keluar.”
Sabda Yesus itu penuh kuasa dan wibawa ibarat “idu geni”, “tan kena wola-wali”, sekali bertitah akan terlaksana. Ia menunjukkan kuasa keilahian-Nya. Setan-setan pun tunduk kepada-Nya. Kita tidak perlu ragu percaya kepada-Nya karena Ia berkuasa atas segalanya. Mari kita percaya dan bersujud kepada-Nya.
Kuncup mawar di atas bebatuan.
Rumputnya rimbun hijau warnanya.
Sabda Yesus penuh kekuatan.
Setan-setan pun takut kepada-Nya.
Cawas, telur gosong….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr