Puncta 02.06.21 / Rabu Biasa IX / Markus 12: 18-27

 

“Hidup Bersama Lagi”

SETELAH memakamkan bapak dengan khidmat, kami sekeluarga berkumpul merayakan ekaristi untuk kedamaian jiwa bapak. Saya memimpin ekaristi bersama Rm. Sus, adik saya.

Kami sharing mengungkapkan pengalaman hidup bersama bapak almarhum. Kenangan, ceritera dan nasehat-nasehat bapak kami ungkapkan. Suka duka, pahit getir, konyol dan lucu membahagiakan kami bagikan. Tidak terasa ekaristi itu berlangsung selama tiga jam, melebihi ekaristi hari Raya Paskah.

Kisah cinta bapak ibu diceritakan oleh Rm. Sus yang mendengarnya dari kakek nenek kami. Bapak itu pemuda pemberani. Waktu ibu sudah dijodohkan dengan pemuda lain, -Zaman itu zaman Siti Nurbaya – bapak saya dengan berani mendekati ibu. “Kamu mau hidup dengan aku atau dengan orang yang sakit-sakitan itu?” tantang bapak di depan ibu langsung to the point.

Ibu tentu saja memilih bapak saya. Dia gagah, pemberani dan tanggungjawab, tapi memang ganteng juga. Bapak membawa pergi ibu saya dan setelah dibaptis mereka menikah di gereja.

Mereka jalani kehidupan bersama dengan setia selama 55 tahun. Ketika ibu meninggal, bapak ingin “nyuceni” memandikan jenasahnya. Karena mereka berdua telah berjanji, siapa yang ditinggal perdi duluan, dialah yang akan “nyuceni.”

Bapak pernah bilang pada kami, “Aku bangga dengan ibumu. Dia itu “gelem diajak lara lapa.” ( Ibu sanggup diajak menderita ).

Selama ditinggal ibu, bapak selalu berdoa di kamar depan. Beliau bercerita sering ditemani ibu saat berdoa, dipeluk saat tidur, hadir melalui bau wangi di kamar. Bagi bapak, ibu masih tetap hidup dan hadir. Kini mereka hidup bersama lagi.

Begitulah kami, anak cucunya juga merasa bahwa bapak dan ibu masih hidup, walaupun mereka sudah meninggal. Bapak dan ibu tetap hadir dimana pun kami berada, bahkan tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Peringatan tiga hari meninggalnya bapak ini, kami masih merasakan beliau hadir di tengah-tengah kami.

Bacaan hari ini menegaskan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Yesus berkata bahwa Allah adalah Allah orang hidup, bukanlah Allah orang mati.

Kematian tidak memisahkan kita dengan Tuhan. Kematian bukan akhir kehidupan. Kita diubah supaya bisa berhadapan muka dengan Allah.

Saya percaya bapak dan ibu tetap hidup di antara kami. Mereka menjadi pendoa ulung di hadapan Tuhan.

Bapak ibu saling senyum-senyuman.
Berjumpa lagi di alam keabadian.
Ada kehidupan di balik kematian.
Di sana tidak ada lagi kesedihan.

Banyuaeng, merindukanmu….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 01.06.21 / PW. St. Yustinus Martir / Markus 12:13-17

 

“Bapakku, Persembahanku”

SEHARI setelah peringatan setahun ibu meninggal, bapak menyusul ibu, menjumpai kekasih jiwanya di surga. Ada beberapa peristiwa yang menyentuh kami sebagai peristiwa iman hari-hari ini.

Kemarin waktu kami merayakan ekaristi peringatan setahun ibu, bapak yang sedang terbaring di rumah sakit didatangi ibu. Kepada Titik, adik ipar saya yang menjaga, bapak bilang, “Ibumu datang, bilang; ‘ayo Pak tangi…” (ayo Pak segera bangun…).

Tiga hari sebelum dipanggil Tuhan, ada tiga ekor burung gereja bernyanyi-nyanyi di jendela kamar bapak dirawat. Bapak merasa senang mendengar kicauan burung itu. Hari kedua, tinggal dua ekor yang datang. Hari ketiga, pagi-pagi yang cerah tinggal satu ekor saja yang singgah, dan setelah itu dengan tenang bapak ikut terbang bersama Sang Burung Gereja.

Minggu saat burung itu datang bertiga adalah Hari Raya Tritunggal Mahakudus.

Ketika bapak bilang, “ibumu datang…” hari itu adalah Hari Raya St. Maria mengunjungi Elisabet. Ibu mengunjungi bapak untuk diajak segera bangun. Mungkin ibu mengajak bapak bersama-sama “sowan Gusti.” Bapak memang sangat mencintai ibu. Mungkin mereka sudah kangen untuk berkumpul bersama.

Kemarin pagi sesudah sarapan bapak tidur dengan tenang. Setelah doa Angelus, kira-kira pukul 12.36 wib bapak menghadap Tuhan dengan tak terduga karena sebelumnya saya masih bisa telpon beliau.

Hari ini Yesus ditanya apakah boleh kita membayar pajak kepada kaisar atau tidak? Yesus menjawab, “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah!”

Bapak saya adalah milik Allah. Dia berhak mengambilnya kapan saja. Kami, putra-putrinya tidak berhak “nggondheli.” Apa yang menjadi hak Allah berikanlah kepada Allah.

Puji Tuhan kami sudah berkumpul semua di rumah. Rm. Joko Susanto yang di Palembang, Tutik yang di Lampung sudah ada sejak hari Kamis. Mereka pulang sebetulnya mau berdoa untuk peringatan setahun ibu. Mereka tidak menduga kalau bapak sakit.

Ketika bapak minta supaya anak-anak berkumpul, Rm. Sus dan Tutik yang boleh menjenguk. Tutik mohon dalam hati, “Bapak, yen bapak badhe sowan Gusti, kami ikhlas, tapi jangan ‘nilapke’ kami.”

Benar saja, bapak seperti mendengar permohonan itu. Sebenarnya mereka akan kembali ke Sumatera Senin sore. Semua sudah siap berangkat. Pada saat limit terakhir, ada berita dari Panti Rapih, bapak menghadap.

Ada rasa berat, namun kami ikhlas mempersembahkan bapak kepada Tuhan. Bapak adalah milik Tuhan. Bapak sangat mencintai ibu. Bapak ingin bahagia bersama ibu. Hanya satu tahun persis bapak berpisah dengan ibu. Kini mereka telah bahagia di surga.

“Berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.”

Kupersembahkan harta paling berharga kepada Allah. Bapak “sugeng tindak, mangga ngaso kanthi tentrem sesarengan ibu ingkang sutresna.”

Membawa rangkaian bunga sebagai persembahan.
Nyanyian dan pujian untuk kemuliaan Bapa.
Trimakasih atas doa-doa, dukungan dan perhatian.
Untuk menghantar bapak menuju ke surga mulia.

Banyuaeng, saat sepi menyergap…
Rm. Alexandre Joko Purwanto.