Puncta 22.01.22 – Sabtu Biasa II/C

Markus 3: 20-21

Gila Pelayanan

SUATU sore ketika sedang ada latihan koor di gereja, tiba-tiba ada seorang bapak nyelonong masuk tanpa permisi. Ia berteriak keras, “Katanya punya rumah, tapi gak pernah di rumah. Apa gereja memberi gaji kok sepanjang hari di gereja?” Bapak itu marah kepada istrinya yang terlalu sibuk berkegiatan di gereja.

“Duwe bojo ora diurusi, duwe anak ora diopeni, omah njembrung ora diresiki.” (Punya suami tidak diurus, punya anak gak diperhatikan, rumah kotor didiamkan), kata bapak itu nggedumel.

Sang istri dengan muka masam, langsung “lunga klepat” meninggalkan latihan koor tanpa bilang-bilang.

Suasana latihan menjadi mencekam. “Cep klakep” hening tiada suara sedikit pun, seperti “orong-orong kepidak.” Semua hanya pandang memandang bingung tak berani berkomentar.

Kerabat Yesus mendengar bagaimana Dia berkarya di tengah banyak orang. Ia melayani semua orang tak kenal waktu.

Ia mengajar mereka di sinagoga-sinagoga. Banyak orang berdesak-desakan mencari Dia untuk sekedar menjamah jubah-Nya. Mereka yang sakit dan kerasukan datang untuk disembuhkan.

Rumah penuh sesak dengan orang bahkan sampai membludag di depan pintu. Orang-orang sampai tidak bisa masuk.

Sepanjang hari, waktu Yesus dihabiskan untuk melayani mereka. Bahkan sampai-sampai makan pun mereka tidak sempat.

Kaum kerabat-Nya menjadi gusar dan kawatir. Mereka berpikir Yesus sudah tidak waras lagi. Mereka menuduh Yesus sebagai workaholic disorder, orang yang gila kerja.

Tidak lagi memikirkan kesehatan diri sendiri. Yang penting kerja, kerja, dan kerja. Tidak memikirkan untuk makan, istirahat, berhenti sejenak nyantai.

Bisa jadi kaum kerabat-Nya juga merasa diabaikan. Mereka merasa dilupakan. Tidak mendapat porsi yang semestinya untuk bisa menikmati keberhasilan dan popularitas-Nya.

Mereka menganggap Yesus sudah tidak waras lagi. Apa gunanya pelayanan-pelayanan kalau kaum kerabat-Nya tidak memetik dan menikmati hasilnya.

Orang terdekat, keluarga atau kerabat yang tidak tahu visi misi pelayanan Yesus, bisa jadi salah paham. Mereka menganggap Yesus sudah gila, tidak waras lagi. Maka bisa muncul percekcokan dan pertengkaran.

Kalau Maria menghadapi semua ini pasti beda. Ia sejak awal sudah tahu, karena Yesus pernah berkata, “Mengapa engkau mencari Aku, bukankah Aku harus berada di rumah Bapa-Ku?”

Maria akan menyimpan segala perkara itu dalam hatinya. Ada komunikasi dan keterbukaan antara Yesus dan Maria.

Kaum kerabat-Nya menilai negatif dan menuduh Yesus gila kerja, gila pelayanan. Mereka tidak mengerti dan memahami tugas dan karya Yesus.

Di dalam keluarga kita pun penting ada komunikasi dan keterbukaan agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang pelayanan-pelayanan.

Sungguh indah ombak di Pantai Pangandaran.
Banyak terlihat perahu-perahu nelayan di kejauhan.
Jangan jadikan pelayanan sebagai pelarian.
Keluarga dikorbankan dengan alasan melayani Tuhan.

Cawas, melayani dengan tulus hati….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 21.01.22 – PW. St. Agnes, Perawan dan Martir || Markus 3: 13-19

 

“Yang Rapuh Dipanggil-Nya”

DALAM retret menjelang pesta perak imamat, saya menggambarkan diri sebagai bejana tanah liat yang mudah retak.

Mengingat kembali ke belakang tentang apa yang telah saya buat sebagai imam, ternyata hanya seperti sebutir pasir di lautan. Sangat kecil dan tidak nampak pengaruhnya dalam karya Tuhan yang maha besar.

Kerapuhan dan kelemahan itulah kenyataan yang dipakai Tuhan untuk menjadi alat-Nya. Sebagai manusia yang lemah sering gagal melaksanakan tugas-tugas. Sebagai pribadi yang rapuh, masih sering mementingkan egoisme pribadi.

Ditunjuk sebagai pastor paroki, kadang bertindak sewenang-wenang; suka sok kuasa, cari hormat, pengin dihargai.

Ditugaskan untuk menjadi gembala, sering meninggalkan domba-domba, suka mencari jalan sendiri, sering mencari alasan meninggalkan tugas.

Ditugaskan untuk menjadi pewarta, sering mewartakan diri sendiri, senang pujian, cari popularitas.

Ditugaskan untuk berdoa dan menguduskan, hidup rohaninya berantakan, doa-doa harian terbengkelai dengan alasan sibuk pelayanan.

Sadar akan kerapuhan dan kelemahan, yang tinggal hanya kesediaan untuk dibentuk dan diubah. Pertobatan terus menerus.

Kasih Tuhan yang memanggil lebih besar daripada kerapuhan diri. Belas kasih Tuhan sungguh nyata karena Dia mau memakai yang lemah untuk tugas perutusan-Nya.

Demikianlah Tuhan memanggil keduabelas rasulnya untuk menyertai Dia, dan diutus-Nya memberitakan Injil.

Mereka-mereka itu adalah orang-orang biasa yang lemah, miskin, sederhana dan belum sempurna.

Petrus, Andreas, Yohanes dan Yakobus dan teman-temannya adalah orang-orang sederhana yang dipanggil untuk menyertai Dia. Duabelas rasul ini dibentuk untuk belajar dari Guru Sejati.

Mereka diajak terlibat dalam perjalanan dan karya Yesus menuju Yerusalem. Mereka pun sering gagal, jatuh bangun.

Kendati lemah, rapuh, tidak sempurna namun pada akhirnya mereka menunjukkan kesetiaan total pada Sang Guru.

Kendati Petrus pernah menyangkal Yesus, namun akhirnya dia berani mati di salib seperti Gurunya. Begitu pula rasul yang lain, mereka menjadi martir membela imannya.

Setia kendati lemah. Terus maju kendati jatuh bangun. Berani bangkit kendati pernah gagal. Tetap percaya kendati tidak selalu jelas masa depan.

Tuhan yang memanggil dapat dipercaya. Dia tidak pernah ingkar pada janji-Nya. Kasih Tuhan lebih besar daripada kelemahan kita.

Yesus telah menetapkan kita menjadi murid-Nya untuk setia menyertai Dia. Jangan pernah berhenti dan menoleh ke belakang. Tuhan yang memanggil ada di depan kita.

Tadi siang dapat vaksin yang ketiga.
Bukan moderna tapi astrazeneca.
Kita dipanggil menjadi murid-Nya.
Dia memilih bukan yang sempurna.

Cawas, terus belajar setia…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.01.22 – Kamis Biasa II/C

Markus 3: 7-12

Kreatif dan Tidak Terlena

KALAU kita melayani umat, kita harus bisa menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana umat berada. Ketika tugas di Kalimantan, kita harus pandai-pandai mengikuti situasi umat yang dilayani. Pandai melihat musim-musim apa yang sedang terjadi.

Kalau musim “Nugal” atau musim nabur benih di ladang, kita bisa mengadakan ekaristi di pinggir ladang dimana mereka bisa berkumpul.

Kalau musim “Nuba” atau musim nangkap ikan di sungai, kita bisa melayani mereka di pinggir sungai.

Kalau musim “Nyandau” atau musim mungut buah durian jatuh, kita bisa misa di pondok-pondok mereka di hutan.

Kalau bulan November, kita bisa misa di makam-makam kampung untuk mendoakan arwah.

Meja altar dibikin seadanya. Bahkan ketika tidak ada meja, kami hanya menggelar selembar kain. Kami semua duduk di tanah, merayakan ekaristi seadanya. Salib dibuat dari batang kayu yang dipalangkan dan diikat tali.

Yang penting umat tetap dilayani. Situasi dan kondisi apapun tidak menghalangi agar Tuhan dimuliakan dan iman dapat dirayakan.

Yesus sangat kreatif dalam melayani orang banyak. Saking banyaknya orang berhimpit-himpitan, Dia menyuruh para murid menyediakan sebuah perahu untuk-Nya, agar Dia bisa melayani dan mengajar orang banyak.

Yesus tidak terbelenggu pada keharusan ini itu. Aturan-aturan hanya dipakai sejauh membantu untuk melayani orang banyak.

Bahkan pada hari Sabat pun, Yesus tetap mengajar dan menyembuhkan mereka.

Banyak orang berhimpitan dan berdesak-desakan untuk menjamah jubah-Nya. Mereka yang sakit mencari Dia untuk disembuhkan.

Bahkan roh-roh jahat pun mengenali Dia. Mereka berteriak-teriak menyebut Dia sebagai Anak Allah. Yesus justru dengan keras melarang mereka memberitahukan siapa Dia.

Banyak orang hebat jatuh karena terlena oleh popularitas. Ketika semua orang memuja dan mengelu-elukan, banyak yang terbuai dan akhirnya tersandung.

Banyak orang-orang top tersandung karena popularitas.

Kendati banyak orang datang dari mana-mana, mereka berhimpit memuja-Nya, mereka ingin menjamah jubah-Nya, dan bahkan setan-setan pun takluk kepada-Nya, namun Yesus hanya fokus untuk pelayanan bagi mereka yang menderita.

Yesus tidak tergoda oleh popularitas dan kuasa. Ia melarang roh-roh jahat menyebarkan nama-Nya. Ia hanya memusatkan perhatian bagi perutusan-Nya yakni membawa keselamatan manusia.

Ketika kita sudah di puncak, kita tidak boleh terlena. Di puncak, bahaya justru makin besar. Tiupan angin makin kuat, kita harus berhati-hati menjaga komitmen dan konsistensi cita-cita.

Tetap fokus pada tujuan semula dan jangan tergoda oleh pujian dan kesuksesan sementara.

Bagaimana Yesus tetap fokus pada tugas perutusan, dan tetap kreatif dalam pelayanan dapat menjadi cara bagi kita untuk mengikuti-Nya.

Ke Muntilan beli tape ketan
Dibawa naik bus ke Ambarawa
Popularitas itu bisa jadi godaan
Jangan mudah terlena dibuatnya

Cawas, fokus pada cita-cita….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 19.01.22 – Rabu Biasa II/C

Pekan Doa Seduania
Markus 3: 1-6

Kebencian Dimulai Dari Kedegilan.

HAKIM bertanya kepada pembunuh Presiden Mesir, Anwar Sadat; “Kenapa kamu bunuh Sadat?”

Pembunuh itu menjawab; “Sebab dia sekuler.” Hakim bertanya lagi; “Apa kamu tahu arti sekuler? Apa maksudnya sekuler?”

Si pembunuh menjawab; “Tidak tahu.”

Ada lagi kasus percobaan pembunuhan oleh seorang teroris kepada Naguib Mahfoud, penulis Novel The Children of Our Neighbourhood.

Hakim bertanya; “Kenapa kamu menikam Mahfoud?”

Teroris itu menjawab; “Karena tulisan di novelnya.”

Hakim bertanya lagi; “Apakah kamu sudah membaca isi novelnya?”

Teroris itu menjawab; “Belum.”

Kasus yang sama menimpa Faraj Fouda, seorang penulis di Mesir.

Hakim bertanya kepada pembunuh Fouda, “Kenapa kamu membunuh Faraj Fouda?”

Teroris itu menjawab, “Sebab dia pengkhianat.”

“Dari mana kamu tahu bahwa dia pengkhianat?”
“Dari buku-buku yang dia tulis,” Jawabnya.

Hakim bertanya, “Buku dia yang mana yang membuat kamu bisa menarik kesimpulan bahwa Fouda adalah pengkhianat?”

Teroris itu menjawab, “Saya belum pernah membaca buku-bukunya.”

“Kenapa?” cecar sang hakim.

Teroris itu berkata, “Saya buta huruf.”

Apa pelajaran dari kisah-kisah di atas? Kebencian tidak pernah tersebar lewat ilmu pengetahuan. Kebencian selalu tersebar lewat kedegilan, kedunguan, kebodohan.

Orang yang punya akal sehat tidak mudah ditipu atau dibodohi.

Yesus mewartakan kebaikan. Ia menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya pada hari Sabat.

Orang-orang Farisi ada di situ dan mengamat-amati Dia. Yesus bertanya kepada mereka, “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat? Menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang?”

Mereka diam saja. Yesus jengkel karena kedegilan hati mereka.

Kaum Farisi itu belajar hukum tetapi tidak menerapkannya. Hukum hanya dipakai untuk menyalahkan orang lain dan membenarkan dirinya sendiri.

Kedegilan inilah yang membuat mereka membenci Yesus.

Karena kedegilan hati itu, mereka bersekongkol, memprovokasi orang-orang Herodian untuk membunuh Yesus.

Mereka mengipas-ipasi bara panas untuk mengobarkan permusuhan.

Hukum agama yang seharusnya membuat orang menjadi lebih baik, lebih bersaudara, lebih sabar, lebih rendah hati, lebih damai, tetapi justru dipakai untuk membunuh, menghancurkan, memusuhi dan menyengsarakan.

Jangan mudah dibohongi oleh kedegilan yang mengatasnamakan agama.

Jangan mudah ditipu oleh mimpi-mimpi yang meninabobokan. Jangan mudah dibodohi dan diprovokasi.

Gunakan akal sehat, karena dengan akal sehat hidup kita akan selamat.

Pagi-pagi sudah turun hujan
Mendung tebal terlihat di angkasa
Apa artinya mencintai Tuhan
Kalau tidak bisa mengasihi sesama

Cawas, mari semakin bersaudara….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 18.01.22 – Selasa Biasa II/C

Pembukaan Pekan Doa Sedunia
Markus 2: 23-28

Aturan Hari Sabat

KAUM Farisi sangat ketat dalam menerapkan hukum Taurat. Mereka ingin menjaga agar hukum dijalankan dengan baik.

Berhadapan dengan kekafiran yang disebarkan dalam budaya Romawi, mereka harus menjaga penerapan hukum dijamin seratus persen.

Sayangnya mereka kemudian jatuh pada legal formal atau penerapan hukum yang kaku tidak pandang bulu.

Melihat para murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat, sinyal “warning” mereka langsung berdiri.

Mereka tidak bisa menerima hukum Sabat dilanggar dengan seenaknya. Mereka menerapkan apa yang tertulis dalam Kitab Keluaran 20: 8-11 bahwa tidak diperkenankan orang melakukan sesuatu pada hari Sabat.

Dasar mereka jelas dan pasti. Mereka dibenarkan untuk mengingatkan orang agar jangan melanggar aturan.

Menghadapi situasi ini, Yesus menjawab dengan mengambil referensi dari peristiwa Raja Daud dalam Kitab 1Sam 21: 1-6.

“Belum pernahkan kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan para pengiringnya kekurangan dan kelaparan? Tidakkah ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai imam agung lalu makan roti sajian – yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam – dan memberikannya juga kepada pengikut-pengikutnya?”

Kita diajak untuk tidak mudah menghakimi atau menyalahkan orang lain dengan menerapkan hukum yang kaku.

Kaum Farisi menjadi kelompok yang suka menuduh dan menyalahkan orang. Mereka bertindak sebagai hakim yang paling berkuasa. Lalu muncul tindakan opresif yang menyengsarakan orang lain.

Yesus menghendaki agar hukum tidak membuat manusia menjadi lebih sulit dan menderita, tetapi untuk membantunya menjadi lebih baik dan bermartabat.

Dalam diskusi ini Yesus lebih berpihak untuk membela manusia daripada hukum yang membelenggu. Ia lebih menekankan ajaran kasih dan pengampunan daripada ketaatan pada hukum yang buta.

Kita belajar untuk tidak menghakimi orang hanya berdasarkan hukum tertulis yang kaku.

Manusia harus ditempatkan di atas hukum. Maka Yesus mengatakan, “Anak Manusia adalah Tuhan, juga atas hari Sabat.”

Peri kemanusiaan semestinya dijunjung lebih tinggi dari aturan legal formal. Hukum dibuat untuk kesejahteraan manusia bukan untuk menindas dan membelenggunya.

Sikap Yesus ini semoga bisa menjadi model bagi kita bagaimana memperjuangkan kemanusiaan di tengah kehidupan bersama.

Bunga mawar bunga melati.
Ditanam rapi di pinggir kali.
Mari kita lebih mengasihi.
Daripada kita menghakimi.

Cawas, kasihilah sesamamu…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr