by editor | Apr 21, 2022 | Renungan
“Paraban” atau Nama Panggilan.
SETIAP orang hidup dalam suatu komunitas. Kelompok yang akrab erat bisa terbentuk menjadi satu keluarga.
Saking akrabnya kita memberi julukan atau nama panggilan kepada teman-teman kita. Orang menyebutnya nama “Paraban.”
Di Seminari Menengah kami tinggal bersama dalam suatu asrama selama empat tahun. Kami menjalani kehidupan dari bangun pagi sampai tidur malam selalu bersama.
Teman-teman itu yang awalnya tidak saling kenal lalu menjadi akrab dan berubah menjadi saudara yang sangat dekat.
Saking eratnya lalu muncul nama-nama julukan atau nama panggilan.
Teman yang suaranya menggelegar dijuluki “Bledheg.”
Teman yang badannya gempal dan hitam dijuluki “Holmes.”
Ada julukan “Jaran” karena larinya kencang. Ada sebutan “Cecak Garing” karena badannya kurus kering.
Yang banyak jerawat sebutannya “Kukul.”
Ada pula yang dipanggil Singkong, Gethuk, Paijo, mBak Sri, Cakil, Bemo Cilik, Bemo Gede atau sebutan tempat asalnya, Edi Klepu, Edy Boro, Hari Dampit, Bambang Baciro.
Ketika acara reuni, kita menyebut nama “paraban” atau panggilan itu dan langsung ingat kembali orang yang dimaksud.
Sebutan atau penggilan itu menunjukkan hubungan yang akrab dan pengenalan secara pribadi yang mendalam. Nama paraban menunjukkan kedekatan hubungan dan penerimaan diri apa adanya.
Maria Magdalena bersedih karena merasa kehilangan orang yang disayanginya. Ia bingung karena jenasah Yesus tidak ada di makam.
Dalam kebingungan, kesedihan dan keputus-asaan, dia mengambil kesimpulan salah. Ia menduga orang yang berdiri itu adalah penjaga makam yang mengambil jenasah gurunya.
Padahal yang berdiri di situ adalah Yesus. Namun karena pikiran dan hati kacau, ia tidak mengenali-Nya.
Seperti teman lama yang tidak pernah bertemu tidak mengenali wajahnya.
Namun setelah disebutkan nama “paraban” atau panggilan akrabnya, orang itu baru mengenal. Suasana menjadi akrab mesra dan dekat, riang gembira.
Ketika Yesus menyebut namanya, “Maria,” barulah perempuan itu mengenal suara gurunya.
Sapaan dengan tekanan dan ciri tertentu mengingatkan kembali akan hubungan pribadi yang istimewa.
Maria mengenal suara itu. Ia menjawab, “Rabuni.”
Ketika namanya disebut, Maria mengenal suara itu. Ia menjadi akrab dan dekat. Ia ingin memeluk-Nya.
Tetapi Yesus berpesan, “Janganlah engkau memegang Aku, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa Aku sekarang akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.”
Maria kemudian bersaksi dan berkata kepada murid-murid-Nya, “Aku telah melihat Tuhan.”
Yesus menghendaki sukacita Paskah tidak boleh hanya dinikmati sendiri, tetapi mesti diwartakan, dibagikan kepada orang lain.
Kita tidak boleh berhenti pada perasaan sentimental tetapi kita diutus untuk suatu tugas pewartaan.
Pertanyaan refleksi, seberapa dekat hubungan kita dengan Yesus? Apakah kita bisa mengenal sapaan sayang-Nya pada kita?
Tergerakkah hati kita untuk bersaksi? Mari kita bercermin dari pengalaman Maria Magdalena ini.
Nama paraban nama kesayangan,
Lucu-lucu namun menggemaskan.
Tugas kita semua setelah kebangkitan,
Berani bersaksi dalam tugas perutusan.
Cawas, mari kita bersaksi ……
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Apr 21, 2022 | Renungan
Bouwheer
KITA sering mendengar istilah “Bohir.” Kata itu berasal dari Bahasa Belanda “Bouwheer” yang artinya kontraktor.
Akhir-akhir ini istilah Bohir dihubungkan dengan proyek politik. Pemilik modal yang menggelontorkan sejumlah uang untuk tujuan tertentu.
Bohir juga berarti rentenir politik atau semacam calo yang mendanai seorang kontentan dalam pemilihan. Bohir bisa menentukan menang kalahnya seorang kandidat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pesta demokrasi dalam pemilihan pejabat atau caleg sering muncul politik bagi-bagi uang. Di sinilah peran seorang bohir sangat menentukan.
Rakyat hanya mendapat limapuluh atau seratus ribu, menderitanya bisa bertahun-tahun. Para bohirlah yang akan meraup untung. Jadinya pesta demokrasi menjadi “Pesta Bohir” bukan pesta rakyat.
Para bohir juga bisa membiayai demonstrasi untuk menolak kebijakan atau menyebarkan berita-berita bohong sebagai bentuk perlawanan.
Mereka membuat narasi-narasi negatif yang ingin menjatuhkan lawan politiknya.
Pada zaman Yesus ternyata juga ada kelompok Bohir. Ketika para perempuan pergi ke makam, mereka berjumpa dengan Yesus yang bangkit.
Yesus memberi salam dan berkata, “Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku.”
Para prajurit yang menjaga makam Yesus melaporkan apa yang terjadi kepada imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi.
Mereka mengambil keputusan untuk membuat narasi bohong. Lalu membayar serdadu-serdadu untuk mengatakan bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri jenasah Yesus, ketika para serdadu sedang tidur.
Para bohir ini menjamin mereka jika ada masalah dengan walinegeri. Para Bohir tidak bekerja sendirian. Mereka bergerak dengan teman-teman satu aliran.
Ada imam-imam dari kelompok agama. Ada tokoh tua-tua dari bangsa Yahudi. Mereka juga punya akses ke pejabat pemerintah seperti walinegeri.
Jangan heran ya kalau di sini juga berkeliaran para bohir. Mereka punya agenda politik. Agenda paling dekat adalah 2024. Pengalaman pilkada DKI bisa dicopy paste untuk sebuah nafsu politik.
Kalau tidak hati-hati, NKRI bisa pecah kalau jatuh ke pelukan bohir-bohir politik yang hanya mencari keuntungan pribadi dan kelompok.
Mereka tidak peduli dengan kebenaran. Mereka akan melawan kebenaran. Seperti para imam kepala dan tua-tua Bangsa Yahudi.
Kebenaran bahwa Yesus bangkit dilawan dengan narasi kebohongan. Hal itu terjadi sampai sekarang.
Hari Raya Kebangkitan Tuhan ini mengajak kita juga untuk bangkit melawan narasi kebohongan.
Jangan hanya diam saja. Mereka menggunakan teori Hitler bahwa kebohongan yang disampaikan terus menerus suatu saat akan diterima sebagai kebenaran.
Mari kita terus sebarkan kebenaran. Hanya dengan kebenaran, kita akan damai dan aman.
Matahari muncul hanya sebentar,
Sinarnya redup membawa kehangatan.
Jadilah orang waras dan pintar,
Jangan mudah dibohongi demi kepentingan.
Cawas, Sebarkan kebenaran….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Apr 16, 2022 | Renungan
Belajar Percaya dari Covid-19
MUNCULNYA virus Covid-19 menimbulkan banyak reaksi. Virus ini muncul di Wuhan Cina pertama kali pada akhir 2019. Kemudian tahun 2021 menyebar ke seluruh dunia.
Catatan WHO mengatakan sudah ada 3,9 juta orang meninggal dari 178 juta kasus yang dikonfirmasi.
Reaksi orang beraneka ragam. Ada yang tidak percaya karena virus itu tidak kasat mata. Mereka minta bukti kalau virus ada.
Harus ada bukti kongkrit yang dapat dilihat mata. Lalu mereka menolak keras untuk divaksin.
Ada lagi orang yang masih ragu dan bimbang. Kalau tidak percaya kok banyak korban berjatuhan. Kalau percaya kok tidak bisa membuktikan.
Ada lagi yang membuat cerita bohong tentang konspirasi politiklah, ada yang membuat senjata pemusnah masal atau negara cari untung dengan jualan vaksinlah.
Barulah ketika orang mengalami langsung bagaimana sakit terkena virus, bahkan kemudian ada keluarga yang meninggal, mereka baru yakin bahwa pandemi ini ada nyata di sekitar kita.
Begitulah kiranya dengan peristiwa kebangkitan Yesus. Para murid tidak langsung percaya akan kebangkitan.
Walaupun sebelumnya Yesus pernah mengatakan bahwa Ia akan menderita, ditolak tua-tua dan dibunuh, tetapi akan dibangkitkan Bapa.
Maria Magdalena pergi ke kubur. Ia melihat batu telah terbuka dan jenasah Yesus tidak ada.
Ia lari menjumpai Simon Petrus dan berkata, “Tuhan telah diambil orang dari kuburnya, dan kami tidak tahu dimana Ia diletakkan.”
Makam kosong! Maria menyimpulkan jenasah Yesus dicuri orang.
Lalu Petrus dan murid lain juga pergi ke kubur. Petrus juga masih ragu. Murid yang lain itu ikut masuk.
Ia melihat makam kosong. Hanya ada kain kafan di tanah dan kain peluh sudah tergulung. Murid yang tidak disebut namanya ini melihat dan percaya.
Waktu itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit dari antara orang mati.
Hanya sebagian kecil orang pada waktu itu yang bisa membaca dan menulis. Bisa dimengerti kalau mereka tidak memahami isi Kitab Suci.
Apalagi waktu Yesus berbicara tentang kebangkitan, mereka malah membicarakan hal lain, siapa yang terbesar di antara mereka.
Jadi butuh proses dan waktu untuk bisa memahami peristiwa kebangkitan.
Seperti kita juga butuh waktu untuk memahami bahwa covid-19 ini sungguh-sungguh ada. Tidak ada iman yang instan.
Lalu seberapa besarkah iman kita kepada Yesus yang bangkit? Apakah kita masih ragu atau sudah yakin bahwa Yesus telah mati dan bangkit untuk keselamatan kita?
Ayo kita tetap maskeran,
Supaya tidak kena penyakit.
Selamat Paskah ya man teman …
Yesus sungguh sudah bangkit.
Cawas, Selamat Paskah bagi anda semua….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Apr 16, 2022 | Renungan
La Peste.
ALBERT CAMUS seorang filsuf Perancis menulis novel berjudul “La Peste.” Terjemahan novelnya adalah “Sampar.”
Bencana penyakit pes itu mirip seperti kondisi pandemi virus covid-19 sekarang ini.
Ia menggambarkan perilaku manusia menghadapi pandemi atau bencana yang menakutkan pada akhir abad 14 di Eropa.
Wabah itu menelan korban hampir sepertiga penduduk Eropa waktu itu.
Ketakutan melanda dimana-mana. Kematian seperti orang antri mencari minyak goreng yang tiba-tiba lenyap.
Penggali kubur sampai kelelahan karena keranda datang silih berganti.
Orang dirundung ketakutan yang mencekam akan datangnya malaikat maut.
Ibaratnya, “esuk lara sore pralaya, sore lara esuk mati.” (Pagi sakit sore mati, sore sakit pagi dah masuk peti).
Camus memotret perilaku orang. Ada yang cuek gak mau peduli. Orang tidak mau divaksin, gak mau ikuti prokes.
Ada yang menganggap bencana ini kutukan dari Tuhan. Ada yang menyebarkan hoak, berita bohong penebar ketakutan.
Namun ada pula yang turun tangan membantu seperti dokter Rieux, sang tokoh utama.
Kendati harus kehilangan istri tercinta, namun dia rela mempertaruhkan nyawanya.
Di tengah ketakutan yang mencekam, ada secercah harapan. Novel itu mengajari kita bagaimana menghadapi wabah.
Apakah hanya diam saja, pasrah keadaan? Apakah justru cari kesempatan dalam kesempitan seperti Cottard, Garcia dan Gonzales? Ada yang korupsi alkes, jualan test antigen, tipu-tipu suntikan, dll.
Atau seperti dokter Rieux yang tidak takut menghadapi bencana, tetap menolong orang dan rela berkorban bagi sesamanya.
Suasana pandemi masih kita rasakan sekarang. Namun ada ancaman lain yang juga mengkawatirkan yakni radikalisme, kebencian yang memecah belah warga, politik SARA, kebodohan dan tumbuhnya budaya kematian.
Dalam Injil suasana itu dihadapi para murid. Setelah Yesus disalibkan, para murid tidak terdengar posisinya. Mereka bersembunyi, ketakutan. Mereka mencari aman sendiri.
Namun ada wanita-wanita yang berani melakukan sesuatu. Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Salome. Mereka berani ambil resiko pergi ke makam.
Kendati ada hambatan, ketakutan dan ketidak-jelasan, namun mereka tetap berjalan ke luar.
Keberanian mereka dilengkapi oleh warta penuh kedamaian dari malaikat yang berkata, “Jangan takut.”
Warta malaikat itu menguatkan kita semua, bahwa Allah tidak meninggalkan kita.
Kematian bukan hal yang menakutkan. Yesus mati untuk mengalahkan maut. Ia bangkit dan hidup.
Kita diutus untuk mewartakan kebangkitan-Nya. Warta malaikat itu sekaligus perintah kepada kita untuk tidak takut dan berani bersaksi.
Jangan takut menghadapi apapun. Tuhan telah mengalahkan maut. Ia menang atas kematian dan hidup di tengah kita.
Ada burung perkutut,
Hinggap di pohon cemara.
Jangan pernah takut,
Tuhan slalu bersama kita.
Cawas, selamat Paskah…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | Apr 15, 2022 | Renungan
Belmondo Scorpio.
MASIH berseliweran di medsos gambar dan berita tentang pengeroyokan dan penganiayaan Ade Armando di depan Gedung DPR.
Polisi sedang mengejar para pelaku penganiayaan. Sedang diusut juga siapa pemicu peristiwa yang brutal dan biadab itu.
Tiada angin, tiada badai. Dua emak-emak berteriak-teriak “buzzer, munafik…pengkhianat..!!
Kemudian orang-orang merangsek dan memukuli Ade Armando tanpa sadar bahwa bulan ini bulan puasa. Bulan untuk mengendalikan diri. Bulan penuh ampunan.
Di tengah tindakan bengis ada seorang pemuda yang berusaha melindungi Ade Armando, kendati dia kena bogem mentah juga.
Namanya adalah Belmondo Scorpio. Dia hadir saat Ade Armando membuat konten video bersama crew-nya.
Ketika massa menyerang Ade, Belmondo melindungi dan merangkulnya. Sebuah tindakan heroik dalam situasi yang amat sulit.
Ia berani merelakan keselamatannya sendiri di tengah amuk massa tak terkendali. Belmondo tak memikirkan dirinya.
Setelah Ade diselamatkan polisi, anak muda ini senyap tiada beritanya.
Keributan terjadi di Taman Getsemani. Yesus dikeroyok dan ditangkap dengan kode sandi “ciuman sahabat.”
Dari ciuman berubah drastis menjadi pukulan, pengeroyokan bengis. Petrus berusaha membela, namun Yesus menegurnya.
“Sarungkan pedangmu. Bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?”
Yesus digelandang ke rumah Kayafas, imam besar. Dia dicemooh, dihina, disiksa dan diolok-olok.
Sepanjang malam dilucuti, diberi jubah ungu, dimahkotai duri. Tiada henti mereka melampiaskan kebencian dan kemarahan.
Siang hari kemudian, Dia diadili oleh rakyat yang buas. Mereka mengepung gedung pengadilan Pilatus dan berteriak-teriak “Salibkan Dia!! Salibkan Dia!!
Mereka itu seperti gerombolan kera yang lapar menemukan ladang kacang.
Di tengah perjalanan memikul salib dan penganiayaan bertubi-tubi, ada tindakan heroik yang dilakukan Simon dari Kirene.
Ia ikut memikul salib Yesus. Juga ada wanita lemah bernama Veronika, mengusap wajah-Nya yang berlumuran darah dan debu.
Mereka berdua tidak menyayangkan keselamatannya. Suara hatinya tergerak oleh belas kasihan untuk menolong yang lemah dan menderita.
Ada pula yang secara sembunyi-sembunyi berbuat untuk menolong, yakni Yusuf dari Arimatea. Juga Nicodemus yang membawa minyak mur dan gaharu untuk memburat jenasah Yesus.
Di tengah masyarakat kita ini sedang tersimpan dendam dan kebencian antar kelompok. Bahaya laten kita adalah perpecahan.
Kalau tidak hati-hati, ada kasus kecil saja bisa meledak menghancurkan semuanya. Radikalisme itu nyata ada di depan kita.
Agama yang seharusnya membawa kesejukan dan kedamaian, sedang ditunggangi oleh nafsu kebencian dan pemecah belah.
Dibutuhkan orang-orang seperti Belmondo, tukang Ojol yang baik hati atau Simon dari Kirene, Veronika, Yusuf Arimatea atau Nikodemus.
Tuhan menyentuh hati kita untuk membela yang benar dengan semangat kasih dan kejujuran.
Peristiwa Jum’at Agung ini mengajak kita menebar kerukunan dan damai, persatuan dan saling menghormati.
Jangan mudah menggunakan agama untuk menghukum orang tak bersalah seperti kaum Parisi.
Perbedaan harus diterima sebagai kekayaan yang saling melengkapi.
Anda bisa mengagumi pelangi, mengapa tidak bisa mengagumi warna-warni kehidupan di bumi?
Bersepeda ria bersama teman di pagi hari.
Memandang sawah yang luas hamparan padi.
Tidak ada yang lebih indah selain mengasihi.
Tidak ada yang lebih damai selain mengampuni.
Cawas, mengasihi tanpa batas….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr