Puncta 19.01.21 / Pekan Doa Sedua / Markus 2:23-28

 

“Ora Ilok”

DAHULU nenek pernah melarang cucunya, “Ora ilok nglungguhi bantal, mengko wudunen.” (Tidak baik duduk di atas bantal, nanti bisulen). Ada banyak larangan dengan ungkapan ”ora ilok”. Misalnya, “Ora ilok gadis duduk di depan pintu, nanti jadi perawan tua”, “Ora ilok dolanan beras, mengko drijine kithing” (Tidak baik mempermainkan beras, nanti jarinya cacat melekat). “Ora ilok ngidoni sumur mengko lambene guwing” (tidak baik meludah di sumur nanti bibir jadi sumbing).

Ada banyak aturan atau nasehat orangtua dengan ungkapan “ora ilok”. Larangan itu disertai dengan akibat yang menakutkan, walaupun belum tentu terjadi. Tetapi bagi anak kecil harus dibuat takut supaya tidak melanggar aturan.

“Ora ilok dolanan nganti surup, mengko digondhol wewe” (Dilarang bermain sampai petang hari nanti bisa diculik hantu).

Larangan itu kemudian diterima sebagai pamali, sesuatu yang harus dihindari. Kepercayaan komunal di masyarakat seperti itu diyakini secara irrasional. Lalu terbentuklah “gugon tuhon”, keyakinan bersama. Jika dilanggar akan menimbulkan bencana.

Orang Yahudi punya aturan tentang hari Sabat. “Shabbat” artinya istirahat atau berhenti bekerja. Dari kata Yahudi itu diturunkan menjadi Sabbath (Inggris), Sabt (Arab), Sabtu (Indonesia). Pada hari Sabat, orang harus berhenti bekerja.

Tetapi para murid Yesus berjalan sambil memetik gandum pada hari Sabat. Orang Parisi yang taat hukum memprotes mereka.

Yesus menaggapi hal ini dengan berkata, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat. Jadi Anak Manusia adalah Tuhan, juga atas hari Sabat.”

Hukum dan aturan memang harus ditaati agar kehidupan selaras. Tetapi aturan harus manusiawi. Martabat manusia harus berada di atas hukum. Kemanusiaan lebih tinggi daripada hukum.

Manusia jangan diperbudak oleh aturan yang justru akan menindas. Hukum tidak boleh untuk menindas atau menyengsarakan. Berhadapan dengan kemanusiaan, hukum harus dikawal oleh cinta kasih.

Permen lolipop enak dikulum-kulum.
Rasanya legit melebihi gula Jawa.
Hidup bersama memang ada hukum.
Cintakasih jadi ujung tombaknya.

Cawas, pamer parabola baru…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 18.01.21 / Pekan Doa Sedunia / Markus 2:18-22

 

“Bukan Demi Aturan”

“KALAU masa puasa tuh saya rajin ikut misa di gereja, pendalaman KS di lingkungan, juga menyisihkan uang di kotak APP, bahkan kami dipaksa oleh mama untuk baca Kitab Suci di rumah bersama-sama,” demikian sharing Maria.

“Tapi nanti kalau sudah selesai masa puasa ya udah deh kembali seperti biasa, malas ke gereja, enak bangun siang-siang kalau hari Minggu. Boro-boro baca Kitab Suci, nyentuh aja kagak.” Imbuhnya dengan tersenyum malu.

Masa puasa adalah masa yang istimewa. Masa ketika kita diajak kembali menjadi manusia bersih. Ibarat laptop atau HP yang sedang diupgrade, default setting, menjadi baru lagi, bersih dari virus-virus atau aplikasi yang tidak berguna.

Bagi kita puasa kadang hanya sekedar menjalankan kewajiban, mengikuti aturan atau ajakan karena gereja mengajarkan demikian. Buah-buah dari puasa dapat dinilai ketika kita menjalani hidup harian.

Kalau kehidupan kita setelah puasa itu biasa-biasa saja, kita seperti kembali menempatkan anggur baru ke dalam kantong yang lama.

Murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi menjalankan ibadat puasa. Tetapi murid-murid Yesus tidak. Maka orang-orang bertanya, “Murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, mengapa murid-murid-Mu tidak?”

Yesus menjawab, “Selama pengantin itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang, pengantin itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”

Kita harus memperbaharui cara berpikir kita seperti Yesus. Menempatkan anggur baru di kantong yang baru. Cara hidup baru semestinya juga didukung dengan cara berpikir dan kondisi hidup yang baru pula. Misalnya, melakukan puasa bukan sekedar menjalani aturan, takut dosa tetapi demi kehidupan yang lebih baik.

Minggu pagi naik sepeda.
Sepeda kecil tuasnya tiga.
Kalau kita jalankan puasa.
Demi hidup yang berbahagia.

Cawas, jadwal disuntik…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 17.01.21 / Minggu Biasa II / Yohanes 1:35-42

 

– “Gethok Tular” Alias Word of Mouth –

JANGAN meremehkan model penawaran “gethok tular” atau iklan dari mulut ke mulut (Word of Mouth). Di sebuah pintu keluar warung soto tertulis pesan, “Jika anda puas wartakan kepada teman, jika kurang puas laporkan kepada kami.” Tulisan itu mengandung pesan untuk mempromosikan kepuasan kepada orang banyak. Ketidak-puasan cukup dijadikan evaluasi internal.

Konsumen yang puas akan menceritakan kepada tiga orang lain. Konsumen yang tidak puas akan mengabarkan kepada sebelas orang lain. Maka pertimbangkan mulut konsumen.

Sebuah contoh; Blue Bird taksi dibangun bukan melalui iklan yang canggih, tetapi lewat attitude atau sikap sopir yang sopan, baik, tepat waktu, pelayanan yang tulus, argometer wajar tidak mencekik. Proses itu dilakukan bertahun-tahun, sehingga muncul brand positif. Taksi warna biru itu aman dan baik.

Dahulu ada bus namanya Sumber Kencono, melayani trayek Surabaya-Yogyakarta. Sopirnya suka ngebut dan ugal-ugalan di jalanan. Sering terjadi kecelakaan dan pelanggaran indisipliner.

Berdasarkan data selama tahun 2009, bus Sumber Kencono terlibat dalam 31 kali kecelakaan dengan korban 19 nyawa. Tahun 2010, jumlah kecelakaan naik menjadi 35 kali dengan korban 17 orang. Sedangkan selama tahun 2011 jumlah kecelakaan 13 kali dengan 36 orang meninggal.

Stigma buruk terlanjur melekat di hati konsumen. Banyak orang membuat plesetan nama Sumber Kencono menjadi Sumber Bencono (Sumber Bencana).

Kendati nama armadanya diubah menjadi Sumber Selamat, Sugeng Rahayu, tetapi stigma itu susah dihilangkan. Kalau perilaku tidak berubah walau bajunya baru ya sama saja. Konsumen yang tidak puas bisa sangat kejam, mematikan.

Yohanes Pembaptis memberitakan sebuah iklan, “Lihatlah Anak Domba Allah.” Dua orang muridnya kemudian mengikuti Yesus dan tinggal bersama Dia. Setelah mengalami tinggal bersama Yesus, Andreas lalu menceritakan kepuasannya kepada Simon Petrus. “Kami telah menemukan Mesias.” Terjadilah peristiwa “gethok tular.” Lalu Andreas membawa Simon kepada Yesus. Mereka pun mengikuti Dia.

Seandainya kita ini konsumen, apakah kita mengalami kepuasan mengikuti Yesus? Apakah kita juga secara “gethok tular” menceritakan perjumpaan dengan Yesus itu kepada orang lain, sehingga banyak orang percaya kepada Yesus? Jangan-jangan kita hanya menikmati untuk diri sendiri.

Dua parabola sudah kuat terikat.
Drakor di TV sudah bisa main.
Karena percaya Yesus anda selamat.
Wartakan itu kepada orang lain.

Cawas, terjeda sebentar…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 16.01.21 / Markus 2: 13-17 / Jokowi Disuntik Vaksin

 

PRESIDEN Jokowi adalah orang pertama yang disuntik vaksin sinovac saat dimulainya gerakan vaksinasi di Indonesia. Semua masyarakat akan menerima vaksin secara gratis.

Namun begitu masih saja ada suara-suara nyinyir yang berkomentar, “Biar presiden atau para menteri dan pejabat tinggi disuntik duluan, kalau vaksinnya belum aman atau ada efek sampingnya kan mereka dulu yang kena, bukan rakyat.” Begitu kata seorang tokoh dari partai tanah seberang. Ada saja kelompok yang berpikir miring atas niat baik pemerintah.

Ketika virus datang, mereka berpikir ini teori konspirasi negara maju. Pandemi merebak, mereka minta vaksin. Vaksin datang, mereka ribut soal halal. Vaksin tersedia, mereka minta gratis. Vaksin gratis, Siapa yang harus disuntik pertama? Mereka minta Jokowi yang duluan. Jokowi disuntik, mereka minta secara live. Ketika disiarkan secara langsung, mereka mencibir, “Ini pencitraan.” Pikiran kok isinya seperti benang ruwet.

Yesus memanggil Lewi, anak Alfeus, seorang pemungut cukai. Lewi dengan senang hati mengikuti Yesus. Ia kemudian mengundang Yesus dan murid-murid-Nya makan di rumahnya.

Tentu Lewi juga mengundang teman-teman sekerjanya. Melihat itu ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi mencibir, “Mengapa Gurumu makan bersama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?”

Yesus sendiri yang langsung menjawab, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

Lebih baik orang jahat bertobat daripada orang merasa paling benar tetapi tidak mau bertobat. Yesus datang bukan mencari orang benar, apalagi merasa sok benar, tetapi orang berdosa yang mau bertobat.

Orang Jawa mengatakan, “dadi wong iku bisaa rumangsa, aja rumangsa bisa.” (Hendaknya jadi orang itu bisa sadar diri, jangan merasa sok bisa).

Kendati ada yang mencibir, Yesus tetap teguh pada pendirian-Nya. Ia memanggil Lewi, pemungut cukai itu jadi murid-Nya. Begitu pun Jokowi, kendati ada yang nyinyir, dia teguh mengajukan Listyo Sigit Prabowo menjadi calon tunggal Kapolri.
Hehehe… apa hubungannya? Hubungannya ya Yesus dan Lewi.

Mari kita mengikuti Yesus seperti Lewi. Ia berani meninggalkan harta dan pekerjaan yang bergelimang uang. Bagi Lewi, Yesus adalah harta yang abadi.

Jadi orang jangan pelit-pelit.
banyak harta mau disimpan dimana.
Kalau kita mau menjadi murid.
Harus berani tinggalkan semuanya.

Cawas, the best of after care….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 15.01.21 / Markus 2: 1-12 / Belajar Kerjasama dari Semut

 

KELUARGA semut sudah hidup sejak zaman dinosaurus. Mereka tetap eksis sampai sekarang. Semut selalu ada dimana-mana dan dalam kondisi apa pun. Apa yang membuat mereka bisa bertahan hidup? Jawabannya adalah kerjasama.

Semut hidup dalam koloni. Mereka rukun, kompak dan solid. Kerjasama antar semut dinilai yang paling hebat dari seluruh binatang. Mereka saling membagi tugas; ada yang menjadi komandan, prajurit, pekerja, ratu yang tugasnya hanya bertelur, bahkan ada yang menjadi pengawas.

Kendati tugasnya berbeda-beda namun mereka mendapat jatah makanan yang sama. Semut prajurit mengawasi sekelompok semut pekerja yang membawa makanan ke sarang. Ketika ada yang kelelahan, semut prajurit menggantikan temannya. Kepala semut akan membagi makanan dan menjaga ketertiban mereka.

Kerjasama itu berlangsung dari generasi ke generasi, dari zaman ke zaman tetap terjaga sampai sekarang. Semut tetap eksis dan tidak punah. Semut ini menginspirasi kita semua. Untuk dapat bertahan, kita harus bekerjasama dengan orang lain. Kita juga harus belajar beradaptasi dengan lingkungan dan tempat kita hidup. Selalu berpikir kreatif menghadapi masalah dan tidak hanya mengeluh saja.

Meskipun kita lemah, namun jika kita bekerjasama, maka kita akan kuat. Walaupun kita kuat tetapi kalau tidak mau bekerjasama, maka akan rapuh, hancur dan gagal.

Saya kagum terhadap empat orang yang menolong si lumpuh. Mereka solid dan kompak bekerjasama. Mereka ini kreatif, tidak menyerah kepada keadaan dan hambatan. Mereka punya niat besar untuk menolong si lumpuh.

Ketika mereka tidak dapat membawa masuk karena orang banyak, mereka menemukan ide kreatif; membuka atap dan menurunkan si lumpuh dengan tilam, tepat di depan kaki Yesus. Mereka mampu beradaptasi dan berpikir kreatif. Yang penting tujuan mereka tercapai, si lumpuh dapat disembuhkan.

Melihat usaha mereka itu, Yesus tergerak hatinya dan berkata, “Bangunlah dan angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu.”

Sekecil apa pun usaha kita, pasti akan dihargai Tuhan. Jangan mudah menyerah dan mengeluh. Never give up bro….

Matahari sedang bersinar redup.
Burung-burung di pohon ramai berkicauan.
Seberat apa pun beban hidup.
Kalau kita bekerjasama akan jadi ringan.

Cawas, menatap senja…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr