by editor | Dec 17, 2019 | Renungan
KETIKA masih gadis, Dewi Kunti berguru kepada Resi Druwasa. Oleh Gurunya, Kunti diberi “ngelmu” yang bernama “aji kunta wekasing rasa, sabda tunggal tanpa lawan”.
Daya ngelmu itu mampu menghadirkan dewa dari kahyangan. Mantra itu ada pantangannya, yakni tidak boleh diucapkan pada waktu tidur atau mandi.
Terkadang oleh rasa ingin tahunya, Kunti mengucapkan mantra saat dia sedang mandi. Seluruh dewa di kahyangan geger. Batara Surya atau Dewa Matahari turun menemui Kunti.
Tak perlu diceritakan apa yang terjadi, karena pertemuan itu akhirnya Kunti mengandung jabang bayi. Kunti bingung dan sedih hati karena ia yang belum bersuami kini mengandung seorang bayi dari Batara Surya.
Bayiitu lahir laki-laki dan diberi nama Raden Karna Basusena. Karna berarti sorot atau cahaya. Basu berarti Matahari. Sena berarti anak.
Nama itu berarti putera dari Sang Batara Surya, Dewa Matahari. Peristiwa ini menimbulkan dilema bagi Kunti. Kalau dia tetap memelihara anak itu, Negara Mandura akan luntur kewibawaannya karena Sekar Kedaton Dewi Kunti punya anak di luar nikah.
Tetapi kalau mau pisah dengan anaknya, nama baik Negara Mandura akan tetap berjaya. Kunti memilih tetap menjaga nama baik Negara Mandura. Karna dibuang dengan dihanyutkan di Sungai Gangga.
Dalam bacaan Injil hari ini, Maria dikisahkan sedang bertunangan dengan Yusuf. Ternyata Maria mengandung dari Roh Kudus sebelum mereka hidup sebagai suami istri.
Hal ini jelas membuat dilema bagi Yusuf. Yusuf bimbang. Dia berniat menceraikan tunangannya secara diam-diam.
Tetapi Malaikat datang dan menguatkan hatinya. “Yusuf, Anak Daud. Janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu. Sebab Anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.”
Setelah diyakinkan oleh Malaikat, Yusuf segera mengambil Maria menjadi istrinya. Yusuf adalah pribadi yang taat, saleh dan bertanggungjawab. “Sesudah bangun dari tidurnya.”
Yusuf tidak menunda-nunda. Ia segera bertindak. Karena Yusuf dan Maria taat pada kehendak Tuhan, maka Sang Juru Selamat lahir, datang ke dunia membawa keselamatan.
Seandainya Kunti tidak membuang Karna, perang Baratayuda bisa dihindarkan. Karna adalah saudara satu ibu dengan Pandawa. Dunia akan damai, tidak terjadi pertumpahan darah antar saudara.
Yusuf dan Maria dengan ikhlas hati menerima kehadiran Yesus. Mereka menjadi keluarga tempat Yesus dibesarkan dengan penuh cintakasih. Berkat kesediaan Yusuf dan Maria, Sang Juru Selamat hadir membawa damai bagi dunia. Dialah Sang Imanuel, Allah beserta kita.
Masak telur kecap diberi kuah
Disiapkan untuk hidangan pesta
Mari kita berserah kepada Allah
Damai dan sejahtera adalah buahnya
Cawas, hari yang indah
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Dec 16, 2019 | Renungan
KALAU ditanya garis keturunan, kita paling hanya bisa mengingat sampai kakek nenek kita. Selebihnya itu kita sudah tidak dapat mengenal lagi, siapa bapaknya kakek kita atau siapa kakeknya kakek kita.
Dalam bacaan Injil hari ini, Matius memperkenalkan silsilah Yesus Kristus mulai dari awal, yakni Anak Daud, anak Abraham sampai 42 generasi.
Matius ingin menegaskan bahwa Yesus berasal dari keluarga Daud, juga garis keturunan Abraham sebagaimana nubuat para nabi.
Kita diajak untuk menghargai sejarah. Bung Karno pernah berkata, “Jas Merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Sekelam apapun sejarah itu tetap harus kita hormati. Karena merekalah yang telah mengukir kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini. Begitu pun dalam silsilah Yesus.
Kalau kita perhatikan, ada empat wanita yang disebut dalam silsilah itu yang punya catatan “kelam”. Mereka adalah Tamar, Rut, Bersyeba dan Maria. Tamar terpaksa menjadi wanita sundal agar bisa melanjutkan keturunan Yehuda.
Rut adalah wanita asing dari Moab yang ikut mertuanya Naomi kembali ke Kanaan. Bersyeba adalah istri Uria, tentara Daud. Daud mengambilnya dengan cara yang licik dan tidak terpuji.
Ketiga wanita itu dipakai Allah untuk mempersiapkan Maria yang akan melahirkan Sang Juru Selamat dengan cara yang sangat mengejutkan, bukan saja bagi Maria tetapi juga bagi kita.
Rencana Allah itu sungguh misteri. Karya keselamatan Allah itu terlaksana menurut kehendakNya, bukan mengikuti logika manusia.
Menurut logika kita, pastilah Allah mahakuasa dan mampu mengatur rencanaNya dengan memilih orang-orang yang baik dan saleh lagi suci. Tetapi itu alur pikiran manusia.
Allah punya rencana yang sangat berbeda. Allah justru menggunakan “kehinaan” manusia untuk mengangkat martabat kita. Disinilah kita justru semakin meyakini bahwa Yesus itu sungguh manusia. Allah yang mahakuasa itu mengambil rupa dalam diri Yesus yang sungguh manusia lemah.
Dengan melihat silsilah itu, Allah sungguh menyejarah dan masuk dalam perjalanan hidup kita. Allah sungguh setia kepada manusia sejak awal sampai akhir zaman.
Kendati manusia jatuh bangun menanggapi kasihNya, namun Allah tetap setia menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus PuteraNya.
Mutiara tetaplah indah dan mempesona walaupun berada di kubangan lumpur yang kotor. Begitulah Allah tetap kudus dan mulia kendati mengambil rupa dalam kehinaan manusia.
Kita harus bersyukur karena Allah hadir dan memakai “kehinaan” manusia untuk menyelamatkan kita. Kita adalah orang berdosa tetapi dikasihi oleh Allah.
Dengan dipandu tongkat tua
Kami menyusuri lubang gua
Hati Allah bagai samudera
Manusia berdosa dikasihiNya
Cawas, memburu senja di ufuk
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Dec 15, 2019 | Renungan
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengatakan bahwa gelar tidak menjamin kompetensi, bahkan gelar kelulusan tidak menjamin kesiapan seseorang dalam bekerja.
Ia juga mengatakan, bahwa kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya atau bekerja. Akreditasi tidak menjamin mutu dan kehadiran di kelas tidak lagi menjamin proses dalam belajar.
Ini adalah tantangan dalam pendidikan di era digital. Pandangan Nadiem Makarim itu sudah dirasakan jauh sebelumnya oleh Penyanyi Iwan Fals, dalam lagu yang berjudul “Sarjana Muda.”
Salah satu liriknya berkata, “Engkau sarjana muda resah tak dapat kerja, tak berguna ijasahmu. Empat tahun lamanya bergelut dengan buku. Sia-sia semuanya.”
Ijasah tidak lagi berkuasa menunjukkan kompetensi seseorang. Lulus perguruan tinggi tidak menjamin orang langsung dapat kerja. Ada banyak sarjana nganggur. Ijasah tidak kuasa menentukan masa depan orang.
Dalam bacaan Injil hari ini, kira-kira Yesus ditanya oleh imam-imam kepala dan pemuka-pemuka bangsa Yahudi, “Dengan ijasah dari Perguruan Tinggi mana Engkau melakukan hal-hal itu? Engkau itu lulusan sekolah mana, siapa yang memberi kuasa sehingga Engkau melakukan hal-hal itu?”
Kalau Paulus jelas, muridnya Gamaliel, Guru Besar terkenal dan disegani. Tapi Yesus? Mungkin hanya lulus SD Nasaret. Kota kecil tidak terkenal.
Kalau Yesus disebut guru, Dia ini lulusan SPG mana? Siapa mentornya? Para imam itu mempertanyakan soal legalitas Yesus mengajar dan membuat mukjijat-mukjijat.
Bagi Yesus, hal kuasa dari mana itu tidak penting. Yang penting adalah orang-orang yang diberi warta mengalami sukacita.
Orang buta dapat melihat, orang bisu dapat berbicara. Orang tuli bisa mendengar, orang lumpuh bisa berjalan. Orang mati dibangkitkan dan orang-orang miskin mengalami keselamatan.
Orang sering terjebak pada aturan legalitas, tetapi pada senyatanya tidak punya kemampuan apa-apa. Gelar atau ijasah tidak menjamin kompetensi seseorang.
Maka Yesus balik bertanya kepada mereka, “Dari manakah pembaptisan yang diberikan Yohanes? Dari surga atau dari manusia?” Mereka bingung sendiri. Mereka terjebak sendiri oleh pikiran sempit dan egoism kelompok.
Kalau pembaptisan Yohanes saja mereka tidak tahu dari mana, bagaimana bisa mereka mengetahui kuasa Yesus? Kita ini mudah sekali menilai orang atau perbuatannya hanya dari yang permukaan saja.
Kalau dimana-mana pegang rosario atau tasbeh itu orang suci. Kalau dimana-mana pakai jubah itu pasti romo yang saleh. Belum tentu. Jangan mudah jatuh pada penampilan luarnya saja.
Para imam-imam kepala dan pemuka bangsa Yahudi itu terlalu menekankan legalitas kuasa/ijasah atau penampilan luarnya saja.
Ke Kaliurang melintasi sawah dan pertanian
Berhenti melihat sapi kencing di jalan
Bukan ijasah atau penampilan luar yang diutamakan
Tetapi mutu dan kompetensi yang akan menentukan
Cawas, langit serba biru
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Dec 14, 2019 | Renungan
SAYA dulu mengikuti kuliah proyek teologi harapan di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari. Di situ kami menghadapi berbagai tipe orang yang sedang sakit.
Ada yang sakit ringan sampai yang tergolong berat. Dari ibu-ibu yang akan melahirkan sampai kakek-kakek yang hampir meninggal. Mereka yang sedang meregang nyawa karena kecelakaan atau mereka yang sakit karena usia.
Ada banyak sikap orang menghadapi penyakitnya. Ada yang meronta, menolak, tidak terima dan protes kepada Tuhan, kenapa diberi penyakit seperti ini.
Tetapi ada juga orang yang pasrah, menyerah, berharap ada penyembuhan dari Tuhan. Biasanya orang pada awalnya menolak dan memberontak atau tidak menerima sakitnya.
Tahap berikutnya menerima keterbatasannya dan tahap terakhir adalah pasrah penuh pengharapan. Ketika orang sampai pada tahap pengharapan, mereka mengalami cepat sembuh.
Pengharapan adalah kekuatan. Orang yang mempunyai pengharapan hidup untuk masa depan.
Bacaan Injil hari ini mengungkapkan nuansa pengharapan itu. Yohanes Pembaptis mempunyai pengharapan bahwa Yesus yang hadir dan berkarya itu adalah Mesias yang telah dinanti-nantikan.
Yohanes menyuruh muridnya bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?”
Di tengah kesedihan, kegalauan dan ketidak-pastian, Yohanes Pembaptis mempunyai pengharapan kepada Yesus. Dialah Mesias yang dinantikan. Dialah Juru Selamat yang dia siapkan datangNya.
Yesus tidak langsung menjawab. Tetapi Dia menunjukkan karya-karya Allah dalam diri orang buta yang melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, orang miskin mendengar kabar baik.
Itulah tanda nyata Allah yang hadir dan meraja. Melalui karya Yesus, Allah hadir nyata di tengah-tengah manusia. Mendengar jawaban itu, kiranya Yohanes Pembaptis merasa lega. Dia telah menyiapkan jalan bagi kedatangan Almasih.
Yesus menjunjung tinggi Yohanes Pembaptis. Dia menghormati Sang Perintis Jalan. Bagi Yesus, Yohanes lebih daripada nabi.
“Aku berkata kepadamu, bahkan lebih daripada nabi. Karena tentang dia ada tertulis: “Lihatlah, Aku menyuruh utusanKu mendahului Engkau! Ia akan mempersiapkan jalan di hadapanMu.”
Yohanes Pembaptis dengan legawa mempersilahkan Yesus tampil ke depan. “Dia harus makin besar, dan aku harus makin kecil.”
Beranikah kita meniru Yohanes Pembaptis? Orang yang selalu mempunyai pengharapan dan optimis. Ia dengan rendah hati menyiapkan jalan bagi orang lain untuk menjadi besar.
Kuch Kuch Hota Hai digoyang merdunya
Nyanyi bersama dengan Dewi Kunti
Yohanes dicontoh karena rendah hatinya
Menyiapkan jalan bagi Sang Putra Ilahi
Cawas, minum degan sampai deg-degan
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Dec 13, 2019 | Renungan
YOHANES PEMBAPTIS adalah penjelmaan Nabi Elia. Yohanes Pembaptis menghadirkan warta pertobatan sebagaimana
Elia melakukannya dahulu kepada Raja Ahab dan Ratu Izebel. Oleh mereka Israel dibawa kepada penyembahan dewa-dewa Baal.
Israel berpaling dari Yahwe Allah mereka. Maka Allah mengutus Elia untuk mengingatkan bangsanya. Yohanes Pembaptis berpakaian jubah bulu unta dan berikat pinggang kulit, seperti Elia. Makanannya belalang dan madu hutan.
Ini adalah cara hidup asketis, mati raga demi kehendak Allah. Yohanes Pembaptis mengajak umat bertobat dan kembali kepada Allah. Ia menyiapkan Allah yang akan melawat umatNya.
Para ahli Taurat sebenarnya tahu, karena mereka mempelajari Kitab Suci, bahwa Elia akan dating lagi. Yesus paham siapa yang dimaksud para ahli Kitab itu. Dialah Yohanes Pembaptis.
Elia sudah menampakkan diri lagi dalam diri Yohanes Pembaptis. Tetapi orang-orang tidak mengenalnya dan para ahli kitab pura-pura tidak mengetahuinya.
Padahal mereka membaca dan mempelajari kitab suci. Tulisan kitab suci itu ditafsirkan sendiri menurut kehendak dan kemauan mereka. Kalau tidak sesuai dengan kemauan mereka, maka isi kitab suci itu dibelokkan dan diberi makna sendiri.
Betapa sering kita mengabaikan nasehat, anjuran, teguran, ajakan baik dari orang-orang yang diutus Tuhan.
Orangtua menasehati, kita cuekin. Para guru mengajar yang baik, kita acuhkan. Pastor mengajak hidup baik dan saleh, kita sepelekan. Teman-teman memberi teguran, masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Tuhan Allah mengutus orang-orang baik dan bijaksana untuk mengingatkan kita melangkah di jalan yang benar. Tetapi seringkali kita mengabaikan dan membuangnya.
Perkataan Yesus itu tidak hanya ditujukan kepada orang-orang sebangsaNya. Tetapi juga masih relevan bagi kita. Yesus mengingatkan bahwa Yohanes datang untuk mengarahkan umat ke jalan yang benar, menyembah Allah dan mematuhi perintahNya.
Tetapi orang-orang tidak mempercayainya. Bahkan Yesus sendiri juga ditolak sehingga Ia harus menderita sengsara dan mati di kayu salib. Itu karena hati orang sudah bebal membatu.
Masa Advent ini warta tentang pertobatan digemakan lagi lewat tokoh Yohanes Pembaptis.
Apakah kita seperti orang-orang pada waktu itu yang tidak percaya dan mengabaikan pertobatan? A
kita cuek-cuek saja dan tidak mau menanggapi kedatangan Almasih?
Yesus berkata, “Barangsiapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”
Temanku suka tahu pong, aku suka tahu bacem.
Hai teman janganlah bengong, siapkan hati untuk Natal yang adem
Cawas, latihan tari gidal gidul
Rm. A. Joko Purwanto Pr