by editor | May 25, 2020 | Renungan
GAJAH mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belulang. Manusia mati meninggalkan nama. Nama itu akan diingat dengan dua karakter, baik atau buruk.
Jika perbuatannya di dunia itu membawa kebaikan banyak orang, maka nama baik akan dikenang. Namun sebaliknya, jika hidupnya di dunia itu hanya bikin susah orang, tebarkan kebencian dimana-mana, maka nama buruk yang dikenangkan.
Sorga atau neraka yang dibangun ya tergantung bagaimana perbuatannya di dunia dilakukan. Sorga atau neraka itu bukan soal nanti kalau kita mati. Tetapi kita hidup di dunia ini sudah bisa membangun keselamatan kita kelak.
Kita mau memilih litani atau pidato macam apa waktu kematian tiba, tergantung bagaimana kita menjalani hidup di dunia. Tetapi homili atau pidato kematian itu tidak jujur. Yang disebut hanya puji-pujian dan sanjung-sanjungan.
Ketika Yesus akan berpisah dengan murid-murid-Nya, Ia berdoa kepada Bapa-Nya, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk Kulakukan.”
Kemuliaan di sorga itu bagi Yesus adalah dengan melaksanakan pekerjaan yang Bapa berikan. Pekerjaan-pekerjaan di dunia ini kita lakukan demi kemuliaan Allah.
Begitulah Santo Ignatius Loyola merumuskan tujuan manusia diciptakan pertama-tama adalah untuk memuji dan memuliakan Allah. Orang rela hidup menderita, jika dengan itu nama Allah dimuliakan.
Orang memilih sakit daripada sehat, kalau dengan itu ia bisa memuliakan Allah. Orang berani hidup miskin, daripada banyak harta namun tidak bisa memuliakan Allah. Harta itu hanya titipan, nyawa itu hanya pinjaman.
Bagi Yesus yang utama adalah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan Allah. Ia mewartakan nama Allah kepada mereka yang percaya. Allah itu mengasihi orang miskin.
Allah itu mengampuni orang berdosa. Allah itu menyembuhkan orang sakit. Allah itu menguatkan orang putus asa. Allah itu berpihak pada yang kecil. Allah itu teman bagi yang berdukacita.
Kita tinggal memilih mau ikut Yesus atau ikut setan. Membangun sorga atau terperosok ke neraka. Berbuat baik atau berbuat jahat. Meninggalkan nama baik atau dikenang karena kejahatan kita? Apa yang kita lakukan kini menentukan kemuliaan kita kelak.
Orang disuruh sabar diam di rumah sendiri.
Malah jalan-jalan pergi ke sana ke mari.
Sorga dan neraka bukan urusan nanti.
Tergantung bagaimana kita hidup di dunia ini.
Cawas, sabar….sabar….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | May 24, 2020 | Renungan
KALIMAT atau kata-kata kiasan adalah ungkapan untuk membandingkan atau mengibaratkan. Kata Kata kiasan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ibarat atau perbandingan.
Sedangkan makna kias artinya sebuah arti atau makna dari ungkapan atau kata yang mengandung pengibaratan atau pengandaian. Contoh kata-kata kiasan misalnya; kecil hati, muka dua, buah bibir, buah tangan, meja hijau, muka masam, empat mata, mata duitan dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan kecil hati bukan hatinya kecil tetapi penakut. Muka masam berarti sedang cemberut atau tidak suka. Empat mata berarti bicara berdua saja.
Yesus sering mengajar dengan perumpamaan atau perbandingan kepada orang banyak. Misalnya, Kerajaan surga itu seumpama pukat, atau ragi. Kerajaan surga digambarkan seperti seorang yang mengadakan pesta perjamuan atau seorang penabur yang keluar menaburkan benih.
Kadang Dia menggambarkan Diri-Nya sebagai Gembala yang baik atau pokok anggur. Allah yang penuh kerahiman digambarkan dalam perumpamaan anak yang hilang. Banyak sekali gambaran perumpamaan, perbandingan atau kiasan yang dipakai oleh Yesus untuk mengajar tentang Allah.
Ketika tiba saatnya Yesus berpisah dengan murid-murid-Nya, Ia tidak lagi berbicara dengan kiasan. Ia berterus terang menyatakan siapa Diri-Nya. Para murid mulai mengenal Dia. Mereka percaya bahwa Yesus berasal dari Allah.
Dia datang diutus oleh Allah untuk mewahyukan siapakah Allah itu. “Sekarang kami tahu, bahwa Engkau mengetahui segala sesuatu dan tidak perlu orang bertanya kepada-Mu. Karena itu kami percaya bahwa Engkau datang dari Allah.” kata para murid.
Semakin dekat relasi seseorang, komunikasinya makin terbuka dan percaya. Dia akan membuka dirinya dengan terus terang dan percaya bahwa sahabatnya akan menerima apa adanya. Yesus membuka diri-Nya bahwa Mesias harus mati dan ditolak oleh penatua, ahli kitab dan orang Yahudi.
Namun bagi Yesus, itu adalah jalan untuk mengalahkan dunia. Para murid diajak untuk tidak takut mengalami derita dan penganiayaan di dunia. Menjadi murid harus berani meneladan gurunya.
Kita sekarang diajak meneruskan karya Yesus, mewartakan kebenaran dan kasih Allah kepada dunia. Kita akan mengalami kesulitan dan penderitaan. Tetapi Yesus meneguhkan kita, “Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.”
Bersepeda mengejar senja.
Dia tenggelam di balik awan.
Kita diutus menjadi saksi-Nya.
Wartakan kasih dan kebenaran.
Cawas, sendiri ….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | May 22, 2020 | Renungan
SAYA adalah cucu kesayangan “simbah” di dusun Gondangan. Simbah itu kakek-nenek. Sejak kecil saya ikut simbah sampai masuk sekolah dasar. Setiap pagi saya ikut menyapu halaman yang luas dengan dua pohon mangga yang besar.
Habis nyapu biasanya saya dibelikan nasi “gudhangan” atau nasi urap. Apa pun yang saya minta diberikan oleh simbah karena rajin membantunya. Kalau di keluarga ada istilah “anak kesayangan.”
Di kelas juga ada sebutan murid kesayangan. Entah anak, murid atau cucu kesayangan menunjukkan relasi dekat di antara keduanya. Antara guru dan murid atau orangtua dan anak ada hubungan yang istimewa. Apa yang diminta akan diberikannya.
Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.”
Sabda itu menjelaskan bagaimana Dia mempunyai hubungan istimewa dengan Bapa-Nya. Apa saja yang kita minta kepada Bapa dalam nama-Nya akan diberikan-Nya kepada kita. Karena kedekatan Yesus kepada Bapa, maka apa pun akan diberikan.
Jika kita yang berdosa saja bisa memberi hal yang baik kepada anak-anak kita, apalagi Bapa yang di surga, Ia akan memberikan yang terbaik untuk kita semua.
Yesus adalah Anak kesayangan Bapa. Yesus punya relasi mesra dengan Bapa-Nya. Bapa berkenan pada Yesus putra-Nya. Kematian Yesus menunjukkan kesetiaan-Nya kepada Bapa. Maka Bapa berkenan membangkitkan Dia dari mati.
Kalau Bapa mengasihi Dia, Bapa juga akan mengasihi kita dalam nama Anak-Nya.Yesus menegaskan kepada kita bahwa Bapa juga mengasihi kita sebagai anak-anak-Nya.
Yesus berkata, “Bapa sendiri mengasihi kamu, karena kamu telah mengasihi Aku dan percaya bahwa Aku datang dari Allah. Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; kini Aku meninggalkan dunia lagi dan pergi kepada Bapa.”
Jangan segan untuk minta kepada Bapa, melalui Yesus,Putera-Nya. Doa adalah cara kita berkomunikasi dengan Allah. Dalam doa itulah kita membangun relasi mesra dengan Allah, sebagaimana Yesus selalu berdoa kepada Bapa-Nya.
Marilah kita khususkan waktu untuk Tuhan. Yesus sudah membukakan ruang Bapa untuk kita, mari kita masuk ke hadirat-Nya.
Isap rokok tembakaunya kuat.
Asapnya memenuhi udara.
Jika hidup kita terasa berat.
Jangan lupa langsung berdoa.
Cawas, sehari tujuh kali…..
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | May 22, 2020 | Renungan
DEWARUCI bersabda, “Heh ngger, Bratasena, sira mlebua ana ing guwagarba ulun. Sira bakal ngawruhi sing jenenge kasampurnaning dumadi.” (Hai, anakku Bratasena, masuklah kamu ke rahimku. Kamu akan menemukan apa itu hidup yang sempurna).
KETIKA Werkudara atau Bratasena masuk ke tubuh Dewaruci, ia merasakan “urip sajroning pati, mati sajroning urip.” Bima merasa tenang dan damai, tentram, bahagia dan sukacita tiada taranya.
Kedamaian sejati itu didapat jika titah atau ciptaan bersatu dengan Sang Penciptanya. Bratasena ingin tetap tinggal selamanya di rahim Sang Dewaruci.
Tetapi belum diijinkan karena dia harus mendarmabaktikan hidupnya sebagai ksatria. Ksatria itu tugasnya menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia.
Ketika seorang bayi lahir, ia menangis menjerit-jerit “njempling-jempling” sejadinya, mengapa? Karena ia dipisahkan dari rahim ibunya. Rahim adalah surga bagi si bayi. Ia menangis menjerit seorang diri, tetapi semua orang di sekitarnya tertawa bahagia.
Ia harus terpisah dari surga yang damai, aman, tentram bahagia. Itulah dukacitanya seorang bayi. Tangisan sang bayi adalah bahagianya seorang ibu. Ia melupakan segala penderitaan ketika akan melahirkan. Perjuangan melahirkan itu adalah perjuangan hidup dan mati. Seorang ibu rela berkorban agar anaknya hidup.
Dalam amanat perpisahan-Nya, Yesus menggambarkan perpisahan dengan murid-murid itu seperti pengalaman seorang ibu yang melahirkan.
Para murid seperti bayi yang baru saja lahir. Ia menangis, sedih dan berdukacita karena lepas dari rahim ibunya. Tetapi mereka nanti akan bersukacita karena Roh Kudus diberikan Yesus pada hari Pantekosta.
Yesus naik ke surga. Tetapi Ia akan mengutus Roh Kudus-Nya, agar kita tidak berjalan sendiri. Roh Kudus itu akan menuntun kita kembali ke rumah Bapa di surga. Roh Kudus akan membimbing kita kembali ke rahim Allah.
Kita nanti akan bersatu kembali dengan Allah. Seperti Bratasena yang harus menjalankan darma hidupnya, kita pun diajak berjuang menegakkan kasih dan damai Allah. Bersama dengan Roh Yesus, mari kita menjalankan darma bakti kita.
Sore-sore makan pisang rebus.
Sambil menyeruput kopi robusta.
Tuhan Yesus mengutus Roh Kudus.
Agar kita berjuang sampai ke rumah Bapa.
Cawas, tetap di rumah aja….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr
by editor | May 20, 2020 | Renungan
ANOMAN diutus Rama pergi ke Alengka. Ia diutus untuk memastikan bahwa Sinta masih hidup dan tetap setia kepadanya.
Maka diberikan kepada Anoman cincin perkawinan Rama. Jika cincin itu cocok dipakai di jari manis Sinta maka itu tanda kesetiaan Sinta kepadanya.
Anoman berangkat melaksanakan titah Rama. Ia menyelinap masuk di Taman Argasoka dimana Sinta ditawan oleh Dasamuka. Ia mempersembahkan cincin pemberian Rama kepada Sinta. Cincin itu pas dipakai Sinta.
Ketika Anoman pamit pulang, ia diberi “cunduk” oleh Sinta dengan pesan kepada Rama bahwa dia menanti kedatangan Rama untuk membawanya pulang ke Ayodya.
Cincin dan “cunduk” menjadi tanda Anoman sebagai duta yang membawa pesan khusus. Barang itu juga tanda resmi dari yang mengutusnya.
Empatpuluh hari setelah Yesus bangkit, Ia mengajak para murid-Nya naik ke sebuah bukit di luar Yerusalem, yakni di Bukit Zaitus (Mount Olive). Di sana Ia terangkat ke surga dan duduk di sisi Bapa.
Selama empatpuluh hari Yesus meyakinkan para murid bahwa Ia hidup. Ia menampakkan diri dan menyiapkan murid-murid-Nya untuk suatu perutusan baru. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”
Selama empatpuluh tahun, Israel mengembara di padang gurun dan diajar Tuhan untuk menjadi suatu bangsa baru. Selama empatpuluh hari Yesus membangun dasar Israel baru di atas iman para rasul.
Gereja adalah Israel baru. Gereja adalah kita semua. Tugas mewartakan Injil itu diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi sampai kita di zaman ini. Kita semua punya tugas untuk memberitakan Injil ke segala penjuru dunia.
Murid-murid Kristus adalah duta atau utusan. Kita semua menerima perutusan agung Tuhan, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku. Dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.”
Baptisan kita adalah tanda bahwa kita ini mendapat tugas perutusan. Sakramen baptis juga menjadi tanda bahwa Kristus menyertai kita selamanya. Mari kita melaksanakan tugas perutusan ini dimana pun kita berada.
Masuk hutan belantara.
Hanya bawa tongkat semata.
Kita semua adalah pewarta.
Yang membawa Kabar Sukacita.
Cawas, semangat diutus…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr