Puncta 19.06.20 / HR. Hati Yesus Yang Mahakudus / Matius 11:25-30 / Anawim Yahwe

 

PANAKAWAN adalah abdi yang mendampingi para ksatria. Pana itu artinya tahu, paham, mengenal, pinter. Kawan berarti sahabat, kawan karib, teman seperjalanan.

Mereka terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka adalah gambaran rakyat jelata yang sederhana, bijak dan senang melucu. Mereka menghibur, menemani dan menasehati para ksatria.

Mereka adalah orang-orang kecil yang bijaksana. Mereka juga disebut “batur” atau abdi. Batur dari kerata basa, “pangembating catur”. Mereka bukan sekedar abdi tetapi teman diskusi, teman menemukan solusi dari berbagai persoalan hidup. Orang-orang sederhana yang peka terhadap bisikan roh.

Hari ini Gereja merayakan Hati Yesus yang Mahakudus. Yesus mengucap syukur kepada Bapa karena misteri Kerajaan sorga tersembunyi bagi orang cerdik pandai tetapi dinyatakan kepada orang-orang kecil dan sederhana.

Orang-orang sederhana itu hanya dapat mengandalkan Allah sebagai satu-satunya harapan. Mereka tidak mempunyai apa pun yang dapat diandalkan kecuali Allah yang maharahim.

Orang kecil, sederhana dan bijak ini disebut anawim. Mereka adalah orang miskin yang hanya mengandalkan kekuatan Allah. Mereka bersikap rendah hati, taat pada hukum Allah dan mengharapkan pemenuhan janji-Nya. Hati mereka peka terhadap bisikan roh Allah.

Orang-orang di sekitar kelahiran Yesus itu mewakili kaum anawim. Para gembala, Simeon-Hana, Elisabeth-Zakharia, dan Maria-Yusuf menjadi tokoh-tokoh kaum anawim.

Misteri Kerajaan Allah tersembunyi bagi kaum cerdik pandai, tetapi diwahyukan kepada kaum kecil, miskin dan sederhana. Kaum cerdik pandai di Istana Herodes, para ahli kitab di Yerusalem justru tidak tahu bahwa Kerajaan Allah telah hadir dalam diri Yesus.

Hati Yesus menunjukkan hati Allah yang tertambat pada orang-orang sederhana yang hanya mengandalkan kekuatan Allah semata. Hati Yesus seperti samudera luas yang mampu menampung siapa pun juga yang datang kepada-Nya. “Datanglah kepada-Ku kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”

Kita diundang untuk datang kepada hati-Nya. Kita tidak akan dikecewakan. Yesus menjamin keselamatan dan ketenangan jiwa kita. Ia akan memberikan kelegaan dan tidak akan membebani kita dengan kuk yang berat.

Yesus berjanji akan memberi ketenangan dan kelegaan pada kita. Maka marilah kita datang kepada hati-Nya. Marilah kita satukan hati kita dengan hati Yesus yang penuh kerahiman.

Di alun-alun beli jagung rebus.
Dinikmati sambil membaca buku.
Hati Yesus yang mahakudus.
Jadikanlah hatiku seperti hati-Mu.

Banyuaeng, merindukan hatimu….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 18.06.20 / Matius 6:7-15 / Bapa Kami

 

RESI Bagaspati adalah seorang ayah yang baik hati. Dia punya anak perempuan bernama Pujawati. Gadis ini jatuh cinta pada Narasoma, Putera Mahkota Mandaraka.

Narasoma mau menerima Pujawati asalkan sang ayah memberikan ajian candabirawa. Ajian itu melekat pada hidupnya sendiri. Jika ajian itu diberikan kepada orang lain, maka Bagaspati harus mati.

Demi cintanya kepada anak gadis satu-satunya, Bagaspati menyerahkan ajian candabirawa kepada Narasoma, menantunya. Karena cintanya, Bagaspati memberi apa pun bahkan nyawanya untuk anak yg dikasihinya.

Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya doa wasiat. Bapa kami adalah doa warisan Yesus bagi kita. Kita boleh menyebut Allah sebagai Bapa yang penuh kasih.

Allah adalah Bapa kita. Melalui Yesus kita boleh menyebut Allah sebagai Bapa. Bapa mengenal apa yang kita perlukan. Allah maha mengetahui. Ia menyelami kita masing-masing.

Maka Yesus mengatakan, “Janganlah kalian seperti mereka (yang berdoa dengan banyak kata-kata), karena Bapamu tahu apa yang kalian perlukan, sebelum kalian minta kepada-Nya.”

Isi doa Bapa Kami, pertama-tama adalah memuliakan Allah Bapa. Tugas pertama kita sebagai manusia adalah memuliakan Allah. Yesus juga pernah berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah.”

Nama Allah atau Kerajaan Allah harus menjadi yang utama dalam hidup kita. Kalau kita fokus hidup demi Kerajaan Allah, apa yang kita perlukan di dunia ini akan ditambahkan kepada kita. Allah akan menyelenggarakan hidup kita.

Sesudah memuji nama Allah, barulah kita memohon rejeki secukupnya dan membagun relasi yang baik dengan sesama atas dasar saling mengampuni.

Yesus mengajarkan kepada kita untuk tidak serakah. “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.”

Kita meminta makanan secukupnya untuk hari ini. Besok akan ada rejekinya sendiri. Maka kita diminta berdoa setiap hari. Itu artinya kita mengandalkan Allah semata dalam hidup kita.

Sesudah itu kita diajak membangun relasi dengan sesama. Semangat dasarnya adalah pengampunan. Sebagaimana Bapa mengampuni kita, demikian juga kita diajak saling mengampuni.

Kalau kita mau mengampuni saudara-saudara kita di dunia, nanti di sorga pun Bapa akan mengampuni kita. Sorga itu kita bangun dengan semangat pengampunan di dunia.

Begitulah sikap Allah sebagai Bapa. Ia adalah Bapa yang dekat dan baik hati kepada kita anak-anak-Nya. Kita bersyukur mempunyai Allah yang begitu mengasihi kita.

Senja telah datang lagi.
Membawa pelangi yang indah.
Allah Bapa sungguh mengasihi.
Walau kita adalah manusia lemah.

Banyuaeng, hari ini penuh warna…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 17.06.20 / Matius 6:1-6.16-18 / Jangan Sok Pamer

 

SEKELOMPOK ibu-ibu paroki ingin menyumbang sembako ke sebuah panti asuhan. Mereka membuat panitia. Mengadakan rapat untuk persiapan aksi baksos.

Mereka bangga pesertanya membeludak. Ibu ketua usul supaya mengundang wartawan stasius TV agar acara ini diliput. Biaya menjadi membengkak.

Tujuannya ditambah, tidak hanya ke panti asuhan, tetapi sekaligus juga ziarah karena panti itu sejalur dengan gua Maria. Biaya komsumsi dan transportasi malah lebih besar daripada sumbangan yang akan diberikan ke panti asuhan.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus berbicara tentang amal sedekah, doa dan puasa. “Jikalau engkau memberi sedekah, janganlah tangan kirimu tahu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi.”

Salah satu kebutuhan kita itu adalah diakui. Apalagi dalam dunia medsos sekarang ini, kita ingin eksis. Apa-apa diupload di FB, IG dan WA supaya diketahui oleh orang banyak.

Kita diingatkan oleh sabda Yesus, kalau kita beramal hendaklah jangan sampai diketahui oleh orang, tetapi biarlah Tuhan saja yang tahu.

Sahabat saya berkata, “Kalau kamu diberi, ingatlah dan catatlah namanya di atas batu karang. Tetapi kalau kamu memberi catatlah namamu di pasir pantai.”

Begitu juga tentang berdoa. Yesus berkata, “Janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanga dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan di tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang.”

Saya kadang juga tergoda ingin pamer biar kelihatan suci. Beberapa waktu lalu saya ikut berdoa di jalan, di tengah hamparan sawah, diliput dan disiarkan televisi. Saya ini termasuk orang munafik yang dikritik oleh Yesus.

Begitu pun tentang berpuasa. Nilai puasa tidak terletak pada hal-hal lahiriah yang tampak oleh mata. “Apabila engkau berpuasa, janganlah muram mukamu, seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa.”

Puasa adalah usaha pengendalian diri. Mengendalikan diri dari hawa nafsu, termasuk nafsu pamer sedang menjalankan puasa. Tanpa dipamerkan, Tuhan sudah tahu apa yang kita lakukan.

Kita menjadi suci bukanlah untuk diri kita sendiri. Apalah artinya kita hidup suci tetapi sesama kita menderita dan kekurangan? Apalah artinya kita selamat tetapi egois hanya untuk diri sendiri?

Banyak berdoa dan berpuasa, tetapi orang di sekitar kita menderita, apalah artinya? Moga-moga tindakan amal kasih, doa dan puasa kita menyelamatkan sesama yang menderita.

Nginteri gabah memakai tampah.
Disimpan di tempayan biar aman.
Kalau tangan kita memberi sedekah.
Janganlah kita mengharap balasan.

Banyuaeng, tujuh hari yang lalu…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 16.06.20 / Matius 5:43-48 / Kasih Ibu

 

PUNTADEWA adalah putera Batara Dharma, dewa kebaikan. Ia juga disebut Dharmaputera. Dharma berarti berbuat baik. Yang dibuatnya adalah nilai-nilai kebaikan.

Ketika ia kalah bermain dadu, ia dibuang bersama-sama dengan saudara-saudaranya di tengah hutan selama duabelas tahun. Ia menerima dengan ikhlas. Ia tidak dendam terhadap para Kurawa.

Bahkan seandainya segala apa yang dimiliki diminta oleh musuhnya sekalipun, ia akan memberikannya dengan senang hati. Ia tidak mau berperang dalam gelanggang baratayuda.

Kalaupun mereka meminta nyawanya, asalkan dunia bisa damai aman sejahtera, ia akan memberikannya. Ketika Kresna membujuknya untuk maju berperang, Dharmaputera tetap kukuh tidak mau melukai musuhnya sekecil apapun.

Kresna berkata, “Paduka itu, orang baik dibaiki, orang jahat juga dibaiki.” Demikianlah sifat putera Sang Dharma. Ia hanya ingin berbuat dharma demi kebaikan itu sendiri.

Dalam kotbah-Nya Yesus berkata, “Kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kalian. Karena dengan demikian kalian menjadi anak-anak Bapamu di sorga.”

Yesus menentang apa yang sudah diajarkan dan dihayati secara umum, “Kasihilah sesamu manusia dan bencilah musuhmu.” Mengasihi sesama dan membenci musuh itu dianggap normal dan wajar. Namun bagi Yesus untuk menjadi anak-anak Bapa di sorga, memang ada tuntutan yang lebih berat.

Mengasihi hanya kepada mereka yang seiman, seagama, sesuku, sekelompok atau sesama bajunya belumlah cukup. Kasih itu harus menembus batas-batas kelompok eksklusifitas.

Berbuat baik hanya kepada orang-orang yang baik kepada kita saja itu masih kurang. Standar yang ditetapkan Yesus adalah “Kalian harus sempurna sebagaimana Bapamu di sorga sempurna adanya.”

Allah Bapa itu mengasihi manusia siapa pun juga. Ia membuat matahari terbit bagi orang jahat, dan juga bagi orang yang baik.

Hujan pun diturunkan bagi orang benar dan juga bagi orang yang tidak benar. Kasih Allah tanpa pamrih dan tidak membeda-bedakan. Begitulah kiranya kalau kita mau menjadi anak-anak Bapa di sorga.

Kasih Allah itu seperti kasih seorang ibu. Ia mengasihi semua anak-anaknya tanpa membeda-bedakan. Ibu mengasihi anak-anaknya juga tanpa mengharapkan balasan. Ia hanya ingin anaknya menjadi orang yang baik.

Allah juga ingin kita semua menjadi orang baik dan akhirnya selamat sampai kembali ke rumah-Nya. Marilah kita belajar mengasihi seperti seorang ibu yang mengasihi anak-anaknya.

Senja di langit masih berwarna biru.
Mengingatmu hati terasa pedih.
Betapa besar kasih seorang ibu.
Ia mengasihi semua tanpa pamrih.

Banyuaeng, indah kasihmu….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 15.06.20 / Matius 5:38-42 / Dendam Kesumat

 

PERMAINAN judi yang awalnya untuk bersukaria antara Kurawa dan Pandawa, akhirnya menjadi dendam membara permusuhan antar saudara.

Pandawa kalah. Drupadi istri Puntadewa menjadi taruhan. Karena merasa menang Kurawa bertindak sewenang-wenang. Diliputi nafsu kemenangan Sengkuni melepas kain Drupadi.

Ia ingin mempermalukan perempuan itu di tengah gelanggang. Dursasana dengan nafsu yang menggelegak, melepaskan gelung rambut Kunti, ibu para Pandawa, membuatnya “modhal-madhul” tak teratur.

Tidak terima diperlakukan demikian, Drupadi bersumpah tidak akan memakai penutup dada kalau tidak dengan kulitnya Sengkuni.

Kunti juga mendendam kepada Dursasana. Dia tidak akan keramas, jika tidak memakai darahnya Dursasana. Dalam perang baratayuda, dendam kesumat itu dibalaskan oleh Werkudara.

Dalam Injil hari ini Yesus mengajarkan agar orang tidak saling balas dendam. Rantai kekerasan dan balas dendam harus diakhiri dengan menghormati dan mengasihi orang lain.

Dia berkata, “Kalian telah mendengar bahwa dahulu dikatakan, ‘mata ganti mata; gigi ganti gigi.” Mungkin dahulu ada salah tafsir oleh para hakim atau ahli Taurat bahwa untuk menghukum orang yang salah harus diganjar setimpal atau sama dengan yang dilakukan orang.

Kalau orang memotong tangan orang lain, supaya setimpal, hakim menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan ganti potong tangan. Hukum itu kemudian diterima wajar bagi setiap orang. Mata ganti mata, gigi ganti gigi.

Kesalahan penerapan hukum itu dikoreksi oleh Yesus dengan mengembalikan kepada hukum yang sesungguhnya. Bahwa orang harus mengasihi sesamanya sama seperti diri sendiri.

Yesus mengatakan, “Janganlah kalian melawan orang yang berbuat jahat kepadamu. Sebaliknya, bila orang menampar pipi kananmu, berikanlah pipi kirimu.”

Orang tidak boleh main hakim sendiri, karena hakim sesungguhnya adalah Tuhan. Yang kedua, hukum balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Balas dendam hanya akan melahirkan dendam berikutnya.

Oleh karenanya hormat dan kasih kepada sesama menjadi hukum tertinggi yang harus diutamakan. Maka kalau kita tidak ingin disakiti, janganlah menyakiti. Kalau tidak ingin diperlakukan tidak adil, maka bersikaplah adil bagi orang lain.

Tanamlah kebaikan, maka kamu akan memetik buah kebaikan. “Berilah kepada orang apa yang dimintanya.” Dengan bersikap begitu, kita akan memetik buah kebaikan kita.

Burung tekukur burung gelatik.
Lebih besar lagi burung dara.
Marilah kita sering berbuat baik.
Kita akan punya banyak saudara.

Banyuaeng, bunga itu masih segar….
Rm. A, Joko Purwanto, Pr