Puncta 08.10.20 / Lukas 11:5-13 / Tempat Persinggahan

 

ADA dua paroki yang cukup lama saya layani. Di Paroki Pugeran (1998-2005) dan di Paroki Nanga Tayap, Ketapang (2009-2017). Banyak peristiwa indah di Tayap. Paroki ini letaknya sangat strategis. Ia ada di tengah-tengah wilayah Ketapang, dilewati jalur trans Kalimantan. Menjadi tempat persinggahan dari arah mana pun.

Waktu mengawali pelayanan, saya dihantar Bapak Uskup Mgr. Blasius dan Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Leopoldo Girreli. Beliau singgah di Tayap dalam perjalanan dari Ketapang menuju Paroki Tanjung. Baru kali ini seorang pastor diberi tugas di paroki, dihantar langsung oleh uskup dan Duta Besar Vatikan. 21 Juni 2009 adalah hari tak terlupakan.

Banyak romo-romo dari Pangkalan Bun singgah di Tayap, jika mereka pergi ke Pontianak. Romo-romo dari regio utara atau selatan, timur atau barat, sering singgah di Tayap dalam perjalanannya. Umat dari pedalaman juga sering menginap di Tayap jika mereka berurusan ke kota kabupaten.

Kapan saja pintu pastoran selalu terbuka untuk siapa pun yang datang. Bapak Cornelis, Gubernur Kalimantan Barat pernah bermalam di Tayap. Bahkan gadis kurang waras pun pernah diterima singgah di Tayap.

Tidak hanya individu, tetapi juga rombongan ibu-ibu WK dari Randau, para katekis dari Botong dan Balai Berkuak. Bahkan rombongan mahasiswa-mahasiswi dari Atmajaya dengan naik bus dari Kumai, Kalteng. Mereka datang tengah malam, kami terima dengan sukacita.

Hospitality atau keramahan sebagai saudara adalah bagian dari ibadah. Jika kita menjadi tuan rumah yang baik, maka di mana pun kita berada, juga akan diterima dengan baik pula.

Yesus menggambarkan Allah adalah tuan rumah yang baik. Ia akan menolong siapa pun yang datang walau tengah malam sekalipun. Asalkan kita mau datang mengetuk pintu.

Doa adalah suatu usaha untuk meminta, mencari dan mengetuk. Siapa yang meminta akan diberi. Yang mencari akan mendapat. Yang mengetuk pintu akan dibukakan.

Doa itu terkait dengan peristiwa hidup sehari-hari. Doa harus dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Orang-orang yang datang kepada kita, meminta pertolongan, mencari tumpangan atau mengetuk pintu rumah kita adalah orang-orang yang sedang berdoa. Tuhan menggunakan kita untuk menerima, menolong dan menampung mereka.

Maka Tuhan mengajarkan kepada kita untuk berani meminta, mencari dan mengetuk pintu. Tuhan punya banyak tangan untuk memberi, menolong dan membukakan pintu. Kitalah tangan dan pintu Tuhan untuk memberi mereka tumpangan. Tidak mungkin seorang bapa akan menelantarkan anaknya.

“Jika kalian yang jahat tahu memberikan yang baik kepada anakmu, betapa pula Bapamu yang di surga.” Itulah Allah yang mahamurah. Bapa kita yang di surga. Maka Yesus mengajak kepada murid-murid-Nya untuk tidak sungkan-sungkan meminta, mencari dan mengetuk hati-Nya. Kita harus sering berdoa.

Malam-malam pakai kacamata.
Bukan silau tapi sedikit bergaya.
Betapa sulitnya kita berdoa.
Karena kita tidak mau meminta kepada-Nya.

Cawas. MC berkacamata gaya….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 07.10.20 / Lukas 11:1-4 / Tak Mungkin Seorang Ayah Tega

 

SEORANG ayah akan buru-buru menolong, jika anaknya jatuh. Tidak mungkin seorang ayah “njlomprongke” atau mendorong anaknya jatuh ke dalam jurang.

Seorang ayah atau ibu akan susah jika anaknya mengalami kesusahan atau penderitaan. Jika anaknya sakit, seorang ayah atau ibu ikut merasakan. Bahkan mereka rela tidak makan atau minum, asalkan anaknya hidup baik.

Pak Anang dan Bu Anang adalah orangtua yang baik. Mereka sangat mengasihi anak-anaknya. Ketika Iber, anak sulungnya sakit, Pak Anang berusaha dengan sekuat tenaga mengobatinya.

Mereka membawanya ke rumah sakit di Pontianak yang jaraknya 300 km lebih dengan kondisi jalan yang sulit dan berat. Tidak cukup di situ. Berobat ke Penang pun diusahakan. Yang penting anaknya sembuh.

Begitulah seorang bapa yang baik, selalu mengusahakan keselamatan bagi anaknya. Dalam Injil hari ini Yesus mengajarkan sebuah doa yakni Doa Bapa Kami.

Bila kalian berdoa, katakanlah: “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu. Berilah kami setiap hari makanan yang secukupnya, dan ampunilah dosa kami sebab kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.”

Yesus menyebut Allah itu Bapa kita, Bapa yang baik. Pertama kita diajak memuji dan memuliakan nama-Nya. Baru kemudian kita memohon rejeki dan pengampunan. Kita mohon supaya Bapa tidak membiarkan kita masuk ke dalam pencobaan, penderitaan.

Bulan Juni 2019, Paus Fransiskus telah mengijinkan adanya perubahan dalam teks doa Bapa Kami. Kalimat yang diubah dalam doa itu adalah “dan jangan masukkan kami ke dalam pencobaan” menjadi “dan jangan biarkan kami jatuh ke dalam pencobaan”. Doa yang lama itu seolah-olah menjelaskan Tuhan sendiri yang membuat pencobaan kepada manusia.

“Saya sendiri yang terjatuh. Dia (Tuhan) tentu tidak akan dengan sengaja mendorong saya ke dalam pencobaan hanya untuk melihat seberapa jauh saya terjatuh,” kata Paus Fransiskus.

Kita sebagai bapa yang berdosa saja tidak tega melihat anaknya menderita. Apalagi Allah sumber berbelaskasih, pasti tidak akan merelakan anaknya masuk ke dalam pencobaan atau ujian yang berat.

Awalnya teks doa Bapa Kami yang kita pakai berasal dari terjemahan bahasa Yunani. “Peirasmos” diterjemahkan sebagai pencobaan atau ujian. Bahasa asli doa Bapa Kami adalah bahasa Aram yang dipakai Yesus. Dari bahasa Yunani diterjemahkan oleh St.Hieronimus ke dalam bahasa Latin.

Kita semua yakin dan percaya, seorang bapa akan menjamin keselamatan dan kebahagiaan anak-anaknya. Demikian pun Allah pasti tidak akan menyiapkan pencobaan atau ujian bagi kita.

Kita sendirilah yang sering salah arah atau coba-coba menyeleweng mencari jalan sendiri sampai jatuh ke dalam pencobaan. Doa Bapa Kami meyakinkan kita bahwa Allah sumber belaskasih itu menjamin keselamatan kita.

Pergi ke pasar membeli mangga.
Lebih nikmat kalau diberi tetangga.
Bapa yang baik mengasihi anaknya.
Ia akan siap berkorban apa pun juga.

Cawas, punctanya laris manis….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 06.10.20 / Lukas 10:38-42 / Sibuk Pelayanan Keluarga Berantakan

 

PADA awalnya saya kagum dengan seorang ibu yang sangat aktif berkegiatan di gereja. Dia pegang timja panggilan. Bahkan menjadi donatur bagi para seminaris di paroki. Masih juga membantu mengajar katekumen. Tugas utamanya adalah guru agama di sekolah. Kesibukan pelayanan di gereja sungguh luar biasa. Bisa dikatakan hari-harinya sebagian besar untuk “melayani”.

Pernah suatu hari minggu saya memimpin misa, ibu itu menjadi lektor. Saya memberkati perkawinan, ibu itu masuk di kelompok koor. Saya ikut rapat persiapan baptisan bayi, ibu itu ikut hadir dalam rapat. Dia terlibat dalam rekoleksi orangtua calon baptis. Sore hari ada rapat tim panggilan paroki, ibu itu memimpin rapatnya. Dari pagi sampai malam, waktunya dipakai untuk gereja. Saya berpikir kapan ada waktu untuk keluarga, suami dan anak-anaknya?

Ketika ditelusuri lebih jauh, kesibukan melayani di gereja itu sebenarnya hanya pelarian saja. Ternyata keluarganya berantakan. Keluarga “broken home.” Suaminya punya WIL. Kalau di gereja duduk bersama, kelihatan baik. Tetapi di rumah tidak saling tegur sapa. Anak-anaknya tinggal di apartemen. Tidak ada komunikasi baik antar anggota keluarga. Rumah ibarat hotel bintang lima. Hanya menjadi tempat meletakkan kepala.

Saya pernah mengajak berdialog, supaya keluarga lebih diutamakan daripada kesibukan di berbagai kegiatan. Jangan sampai keluarga dikurbankan. Sibuk di berbagai kegiatan hanya menjadi alasan untuk lari dari keluarga. Jangan merasa bangga kelihatan baik di luar, tetapi di dalam keluarga hancur berantakan.

Injil hari ini berbicara tentang Marta dan Maria. Marta sibuk melayani Yesus dan para murid-Nya. Ia lari kesana kemari menyibukkan diri dengan berbagai urusan. Ada orang yang bangga kalau dilihat sedang punya banyak kesibukan. Ia senang dipuji karena punya banyak prestasi. Kita tidak tahu bahwa di dalam hatinya sangat tertekan, entah karena tuntutan orangtua, keadaan atau takut dianggap gagal. Marta terlalu sibuk tetapi tidak tahu tujuannya.

Maria telah memilih bagian yang terbaik. Antara karya dan doa, gereja dan keluarga, aksi dan kontemplasi itu harus seimbang. Kita mesti pandai-pandai membuat keseimbangan antara kesibukan, kerja, tugas dengan doa, ibadah dan amal kasih. Tidak bijaksana juga terlalu sibuk pelayanan tetapi keluarga hancur berantakan. Jangan pernah mengorbankan keluarga. Jangan merasa paling penting dan dibutuhkan. Tuhan punya banyak tenaga dan cara untuk mengurus gereja-Nya.

Puncta sekarang sudah dibukukan.
Siapa berminat silahkan pesan.
Keluarga kita akan berantakan,
Kalau tidak ada cinta dan pengorbanan.

Cawas, menunggu 75 ribuan….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 05.10.20 / Lukas 10:25-37 / Gusdurian yang baik hati

 

ORANG Tayap kalau pergi ke Ketapang menyebutnya “turun” karena pedalaman itu terletak di hulu. Dari hulu turun ke hilir. Ketapang berada di pinggir pantai. Air sungai mengalir dari hulu menuju ke pantai yang di hilir. Hampir tiap bulan saya turun naik ke Ketapang dengan sepeda motor untuk berbagai urusan di keuskupan atau pun belanja di kota. Menempuh jarak 145 km dalam waktu 3-4 jam tergantung cuaca.

Suatu kali saya balik ke Tayap lewat jalur Pelang. Setelah melewati warung Pak Kacong, saya terjatuh. Motor saya selip karena jalan berpasir. Tanki pecah dan bensin mengalir tumpah. Motor tidak bisa distarter, takut ada percikan api menyulut bensin yang tumpah. Beberapa kali ada motor lewat, tetapi tidak mau berhenti.

Seorang bapak pulang dari ladang. Ia menghampiri saya. “Bisa dibantu mas?” Ia menawarkan kebaikan. Tanki motor harus diganti. Saya mesti ke Bengkel Atong di Ketapang. Bapak itu dengan senang hati menolong. “Mas naik ke motor. Saya dorong dengan kaki di pedal motornya.” Dengan motornya, ia mendorong di sisi saya.

“Mas ini tugas di mana?” Dia mengawali pembicaraan selama di perjalanan kembali ke Ketapang yang jaraknya 50 km lebih. “Saya pastor Katolik di Tayap pak.Tadi itu mau pulang ke Tayap.” Dia memperkenalkan diri dan berkata, “Saya muridnya Gusdur romo. Awake dhewe seduluran.” Tuhan mengutus orang Samaria yang baik hati untuk menolong saya. Rasanya bahagia sekali punya saudara di perjalanan. Dia kemudian bercerita panjang lebar tentang nasehat Gusdur untuk mengasihi sesama tanpa pandang bulu. Gusdurian sungguh luar biasa. Saya jadi ingat persahabatan Gusdur dengan Romo Mangunwijaya.

Injil hari ini berkisah tentang orang yang turun dari Yerusalem ke Yeriko. Lagu yang sering kita nyanyikan itu terbalik, “Dari Yeriko ke Yerusalem ada jalan cintakasih.” Yerusalem itu terletak di Bukit Zion. Yeriko terletak di bawah dekat dengan Lembah Yordan. Ia dirampok habis-habisan, hampir mati. Ada Imam melihatnya tapi melewatinya dari seberang jalan. Begitu juga orang Lewi hanya melewatinya.

Lalu orang Samaria yang dicap sebagai orang kafir lewat dan menolongnya. Ia merelakan minyak dan anggurnya. Ia menaikkan orang sakit itu ke keledai tunggangannya. Ia membawanya ke tempat penginapan. Ia masih menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan untuk merawat si sakit. Bahkan ia masih berjanji akan menggantinya jika dibelanjakan lebih. Ini orang Samaria guys…..yang dipandang orang Yahudi sebagai musuh, orang kafir, najis bergaul dengan mereka.

Imam dan orang Lewi yang mengganggap diri suci dan saleh itu malah tidak berbuat apa-apa. Mereka menghindar, lewat dari seberang. Hati-hati guys… kalau ada orang saleh kok mengajarkan kebencian, permusuhan, mengkafir-kafirkan. Seorang imam dan kaum Lewi semestinya menjadi teladan kebaikan, bukan permusuhan. Seorang imam mestinya mengajarkan kebenaran bukan penipuan atau kebohongan.

Sekali lagi hati-hati ya Guys… jangan menilai buku hanya dari covernya. Jangan mudah percaya pada orang hanya karena melihat penampilan luarnya. Bisa tertipu Guys…..

Mengasihi Tuhan Allah itu terwujud dalam mengasihi sesama yang kesulitan. Tidak ada gunanya kotbah berbuih-buih tentang Tuhan, tetapi tetangga melarat, miskin, kesulitan, menderita, kita diam saja. Cintamu kepada sesama menunjukkan cintamu kepada Tuhan.

Plecing jembak itulah sayur nikmat untuk sarapan.
Nasinya pulen sampai tersekat di tenggorokan.
Mencintai Tuhan bukan sesuatu yang jauh di angan-angan.
Wujud nyatanya mengasihi sesama yang sedang kesulitan.

Cawas, Sarapan pagi dengan sayur langka, jembak….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 04.10.20 / Minggu Biasa XXVII / Matius 21:33-43

 

“Penggarap Tak Beradab”

PEMILIK lahan terkejut karena alat-alat berat tahu-tahu sudah menggusur lahan dengan paksa tanpa pemberitahuan sebelumnya. Masyarakat yang punya lahan tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan ketua adat yang memprotes penggusuran justru digelandang oleh aparat ditahan dan diintimidasi.

Pemodal bekerjasama dengan aparat bersenjata dan pejabat setempat menggusur lahan-lahan masyarakat adat. Segala macam cara dipakai. Ada cara halus, ada yang kasar. Dengan cara halus, warga dibujuk nanti akan diberi pekerjaan di perusahaan.

Walaupun hanya jadi buruh kasar di kebun. Pejabat diberi janji akan dibangunkan rumah adat atau lapangan sepakbola untuk desa. Aparat diberi upeti untuk menjaga segala kondisi. Jangan berharap aparat di belakang rakyat. Ia akan membela yang memberi upeti.

Tidak akan ada orangtua memberi warisan kepada anak cucunya karena lahan-lahan mereka sudah diambil alih oleh penggarap-penggarap raksasa yang punya modal besar. Mereka tidak akan menjadi ahli waris tanah leluhur. Tetapi mereka hanya akan menjadi buruh di tanah moyangnya atau kuli di tanah sendiri.

Rakyat sebagai pemegang hak waris hanya berjuang sendiri. Mungkin masih ada media yang punya hati nurani. Tetapi mereka pun disokong oleh pemodal. Belum pernah dengar ada istilah “wartawan amplopan”? atau LSM? Perangkat desa sudah tahu mereka datang kasih uang langsung pulang, tak ada yang menentang.

Penggarap-penggarap tidak bekerja sendirian. Mereka bisa membayar yang pegang senjata. Mereka bisa menyuap pejabat. Rakyat itu seperti hamba-hamba kebun anggur. Mereka ditangkap, disiksa, diteror, diintimidasi dan dieksekusi.

Mereka yang berkuasa bisa bikin narasi, konperensi pers; bahwa orang-orang itu melawan hukum, melawan aparat, menentang kebijakan penguasa, menghalangi pembangunan. Intinya mereka bisa dikorbankan.

Yesus menggunakan perumpamaan antara penggarap dan pemilik kebun anggur sebagai ilustrasi bagi para imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi yang tidak mau percaya kepada nabi-nabi sebagai utusan Tuhan.

Yesus adalah Putera yang diutus oleh Bapa, Sang pemilik kebun anggur. Tetapi penggarap-penggarap itu justru menangkap, menyiksa dan membunuh si ahli waris.

“Kerajaan Allah akan diambil daripadamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.”

Sungguh nikmat makan pisang rebus.
Pisang nipah kulitnya masih mulus.
Marilah kita percaya kepada Yesus.
Dialah Sang ahli waris yang diutus.

Cawas, GT, Give and Take…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr