by editor | May 6, 2021 | Renungan
“Perintah Baru”
BEBERAPA hari lalu kami mengunjungi dan menyapa orang-orang tua yang sakit di lingkungan. Selama pandemi ini mereka tidak bisa ke gereja. Beberapa sangat memprihatinkan kondisinya. Ada yang lumpuh, stroke, tidak bisa kemana-mana.
Bahkan ada ibu yang stroke, jatuh dari kursi tidak ketahuan. Mungkin mau ambil makanan lalu jatuh. Badan “semampir” di kursi dan makanan berserakan di lantai. Bau tidak sedap menyengat memenuhi ruangan.
Ada ibu yang tidak tahan dan keluar langsung muntah-muntah. Bersama Pak Sugeng dan Pak Muji, kami menolong agar ibu itu berbaring di alas yang bersih.
Pengalaman kunjungan ini menyentakkan rasa kemanusiaan. “Romo, kendati tidak enak, saya senang ikut kunjungan. kita perlu menindaklanjuti untuk menolong yang sakit.”
Mengasihi itu berani melakukan sesuatu kendati tidak menyenangkan diri sendiri. Kasih itu mau berkorban kendati tidak nyaman.
Dalam Injil Yesus bersama kesebelas murid-Nya memberi perintah baru. Mereka adalah komunitas yang masih setia pada-Nya. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Disebut perintah baru karena ada tekanan khusus yang berbeda dengan perintah sebelumnya.
Perintah yang lama dikatakan, “Kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.” Dasar mengasihi sesama masih egosentris, keuntungan atau kebaikan diri sendiri.
Aku melakukan sesuatu demi diriku sendiri. Kalau baik untuk diriku ya aku lakukan. tetapi kalau baik untuk orang lain kadang tidak aku lakukan. Kalau menguntungkan untuk diri sendiri dilakukan, tetapi kalau untuk orang lain tidak dilakukan. Ini standar kasih yang lama.
Yesus menggunakan diri-Nya untuk standar kasih yang baru. “Seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Kalau standarnya kasih Kristus, dimungkinkan mengasihi musuh atau mereka yang membenci kita. Kalau standarnya kasih Kristus bisa terjadi kita berkorban, menderita, tidak dihargai, mau jadi pelayan, mau merendahkan diri.
Kalau standar kasih itu “seperti engkau mengasihi diri sendiri”, kasih itu masih ada pamrihnya. Ada motif keuntungan pribadi.
Inilah perintah Yesus yang baru tentang kasih. “Seperti Aku telah mengasihi kamu.” Modelnya adalah kasih Kristus. Seperti Kristus harus mati sekalipun demi mengasihi manusia, demikianlah kita juga diajak berani mengasihi seperti Dia.
Mengasihi punya nilai tinggi jika kita meneladan kasih Kristus. kasih tanpa pamrih, bukan demi kepentingan diri sendiri.
Lebaran tidak ada roti.
Gantinya kiriman uang kertas.
Cinta Yesus sampai mati.
Mengasihi kita tanpa batas.
Cawas, menanti fitrah….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | May 5, 2021 | Renungan
RAHWANA, raja Alengka yag jahat itu tertarik oleh kecantikan Shinta yang bersama suaminya, Rama dan Laksmana sedang di hutan Dandaka. Ia menyuruh Kala Marica untuk menjadi kijang kencana. Shinta tertarik memiliki kijang kencana itu.
Rama disuruh menangkapnya. Kijang lari ke dalam hutan. Rama mengejarnya. Sebelum pergi Rama berpesan kepada Laksmana agar menjaga kakak iparnya. Rama lalu pergi mencari kijang kencana.
Di kejauhan Rahwana menirukan suara Rama. Ia merintih minta tolong. Mendengar itu Shinta menyuruh Laksmana membantu Rama. Laksmana tidak mau karena harus menjaga Shinta. Namun Shinta justru menuduh Laksmana mau memperkosanya.
Karena tidak enak hati Laksmana pergi. Sebelum masuk ke hutan, Laksmana membuat garis lingkaran dengan pusakanya. Ia berpesan, “Kakanda Shinta harus tetap tinggal di dalam lingkaran ini. Jangan sekali-kali keluar, nanti bisa celaka.”
Sepeninggal Laksmana, Rahwana berubah rupa jadi pengemis. Ia mendekati Shinta. Namun setiap kali masuk ke lingkaran rajah kalacakra, Rahwana terpental. Ada daya yang menghalangi dia mendekati Shinta.
Dengan mengiba-iba, ia minta Shinta mengulurkan tangan memberi sedekah. Shinta jatuh kasihan, ia mengulurkan tangan dan saat itu juga tangan Rahwana, menyambarnya. Shinta diculik ke Alengka.
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku telah mengasihi kamu. Tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.”
Kalau kita tinggal di dalam kasih Yesus, kita akan selamat. Tinggal bersatu dalam Yesus berarti taat setia pada perintah-Nya. Ia menjamin keselamatan kita.
Namun jika kita meninggalkan-Nya, kita pasti akan menderita. Seperti Shinta yang tidak menuruti perintah Laksmana, ia keluar dari batas rajah kalacakra. Ia diculik oleh raja angkara murka dan menderita.
Kita diajak tinggal di dalam kasih-Nya. Kasih Yesus adalah sumber hidup yang memberi keselamatan. Jangan pernah meninggalkan kasih-Nya.
Kita dikasihi-Nya sampai Ia rela mengorbankan nyawa agar kita tetap hidup dalam nama-Nya.
Lebaran jangan mudik ke desa.
Kita selamatkan keluarga dari virus corona.
Kasih Yesus jaminan keselamatan kita.
Jangan pernah kita meninggalkan-Nya.
Cawas, senja merona…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | May 4, 2021 | Renungan
“Anggur Merah Anggur Cinta”
BUAH anggur sangat disukai banyak orang. Dari anak-anak sampai orang dewasa senang makan buah yang manis ini. Kualitas anggur menentukan nilai jualnya. Semakin anggurnya baik, semakin mahal harganya.
Anggur yang baik juga akan menjadi bahan dasar minuman wine atau amer. Wine yang baik dihasilkan dari buah anggur yang bermutu tinggi. Semakin wine itu baik, semakin mahal nilai jualnya.
Proses pemeliharaan pohon anggur pun harus dilakukan dengan cermat. Semua dilakukan dengan teliti dan hati-hati.
Menanam anggur sudah membudaya di Israel. Maka Yesus mengambil pola memelihara anggur ini dalam perumpamaan-Nya. Ia ingin menggambarkan Allah Bapa sebagai pengusaha atau pemilik kebun anggur. Pokok anggur adalah Yesus sendiri. Para murid adalah ranting-ranting-Nya.
Supaya pohon anggur bisa menghasilkan buah yang banyak maka harus dipotong dan dibersihkan. Pembersihan adalah sebuah tahap penting agar ranting berbuah. Kita pun harus dibersihkan, disucikan atau dimurnikan agar berbuah banyak.
Ranting hanya akan berbuah jika dia tinggal kuat erat bersatu dengan pokok anggur yang sesungguhnya, yakni Yesus.
Dia berkata, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”
Tinggal di dalam Yesus itulah yang akan menghasilkan buah. Jika tidak tinggal, ranting akan mati dan tidak menghasilkan apa-apa. Kalau ranting itu mandul, dia akan dipotong, dibuang dan dibakar.
Buah apa yang diharapkan muncul dari ranting yang bersatu dengan pokok anggur? Apakah sukses, kekuasaan, kekayaan, harta melimpah, popularitas? Ternyata bukan itu.
Buah-buah yang mesti dihasilkan adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan dan kelemah-lembutan.
Apakah kita sudah menghasilkan buah-buah itu? Jika belum berarti kita mesti lebih menyatukan diri kita dengan Sang Pokok Anggur yang sejati.
Bunga putih bunga dahlia.
Semerbak wangi di bukit cinta.
Mari tinggal dalam kasih-Nya.
Hidup damai dengan sesama.
Cawas, selamat jalan teman…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | May 4, 2021 | Renungan
“Yerusalem: The City of Peace”
ORANG Kristiani yang berziarah ke Tanah Suci pasti mengunjungi Kota Yerusalem. Yerusalem artinya the city of peace, kota damai.
Tetapi pada kenyataannya sepanjang sejarah kota ini tak pernah damai. Kota ini selalu menjadi rebutan tiga agama samawi, Yahudi, Kristen, Islam.
Pada sekitar 2.110 Sebelum Masehi, Abraham merebut Yerusalem dari Raja Elam. Imam Agung Melkisedek memberkati Abraham dan keturunannya.
Karena kekeringan, keturunan Yakub atau Israel mengungsi ke Mesir. Musa memimpin Israel keluar dari Mesir dan merebut tanah Kanaan. Berulang kali terjadi peperangan merebut wilayah Tanah Terjanji.
Akhirnya Daud sebagai raja berhasil menyatukan Israel. Ia menjadikan Yerusalem sebagai pusat pemerintahannya dan Salomo berhasil membangun Bait Allah di Yerusalem. Zaman Daud, Yerusalem mengalami damai sejahtera.
Nebukadnesar, Raja Babilonia menghancurkan Yerusalem dan Bait Sucinya tahun 423 SM. Lalu dibangun lagi pada zaman Raja Koresy tahun 352 SM.
Kekaisaran Romawi menghancurkan kenisah pada tahun 70 Masehi. Silih berganti Yerusalem diduduki oleh berbagai bangsa. Darah dan air mata menggenangi kota suci Yerusalem. Kota damai yang tidak pernah mengalami damai.
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu.”
Damai yang diberikan dunia itu seperti yang dialami Yerusalem. Menyebut diri sebagai kota damai tetapi tidak pernah merasakan damai. Itulah damai yang diberikan dunia. Damai semu, tidak abadi dan hanya bersifat duniawi.
Yesus memberi damai sejati yang abadi yakni bersatu dengan Bapa di surga. Yesus pergi kepada Bapa untuk menyediakan tempat bagi kita. Damai yang bukan duniawi tetapi damai surgawi. Wafat dan kebangkitan-Nya menjadi jaminan damai abadi.
“Jangan gelisah dan gentar hatimu, Percayalah kepada Allah dan percayalah kepada-Ku.” Percaya kepada Yesus akan membawa kita memperoleh damai sejahtera yang abadi.
Mau lebaran pasar makin ramai.
Kita harus hati-hati masih ada pandemi.
Yesus datang membawa damai.
Damai di hati juga damai di bumi.
Cawas, Damai bagimu…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr
by editor | May 4, 2021 | Renungan
“Kalung Emas”
Lagu ciptaan Didik Kempot itu dinyanyikan dengan suara mendayu-dayu. Bapak setengah baya ini seperti sedang mengungkapkan isi hatinya. Syair lagu Kalung Emas itu menggambarkan seorang lelaki yang ditinggal istri tercintanya.
Istrinya sedang dimabuk asmara dengan orang lain. Ia sudah lupa dengan suami dan meninggalkannya.
“Kalung emas sing ana gulumu. Saiki wis malih dadi biru. Luntur kaya tresnamu. Luntur kaya atimu. Saiki kowe lali karo aku.
Kalung emas kuwi biyen tak tuku. Tak pasrahke mung kanggo sliramu. Gedhe rasa tresnaku ya mung kanggo sliramu. Ra nyana kowe lali karo aku.”
(Kalung emas yang ada di lehermu. Sekarang sudah berubah jadi biru. Luntur kayak cintamu. Luntur kayak hatimu. Kini engkau sudah melupakanku.
Kalung emas itu dulu kubeli. Kupasrahkan hanya untuk dirimu. Cintaku hanya untukmu. Tak kuduga kau melupakanku).
“Hampir sepuluh tahun kami menikah. Ia meninggalkanku saat aku terpuruk dan gagal. Sifatnya mulai berubah dan menjauhiku. Ia mulai pergi dengan orang lain. Aku lari cari hiburan di karaoke sambil minum.” Ceritanya dengan sendu.
“Sudah sekian lama kami bersama, ternyata saya belum sungguh mengenal pribadinya. Semua hanya topeng kepura-puraan,” katanya lirih seperti putus asa.
Filipus sudah cukup lama mengikuti Yesus. namun dia belum cukup mengenal siapa Yesus dan siapa Bapa-Nya.
Filipus berkata, “Tuhan, tunjukkanlah Bapa kepada kami, dan itu sudah cukup bagi kami.”
Kata Yesus kepadanya, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku?”
Yesus menjelaskan bahwa Dia ada di dalam Bapa dan Bapa ada di dalam Dia. Ia hidup menyatu dengan Bapa. Jika mengenal Kristus berarti mengenal Bapa. Jika orang melihat Yesus berarti melihat Bapa.
Relasi Yesus dengan Bapa sungguh erat menyatu. Relasi seperti itu dapat menjadi model dan pola relasi suami istri.
Lamanya waktu tidak menjamin kedekatan sebuah relasi. Nyatanya bapak tadi sudah menikah hampir sepuluh tahun, tetapi mereka tidak sungguh mengenal karakter pribadi pasangannya.
Bukan soal banyaknya waktu, tetapi kualitas relasi personal yang menentukan. Bapa mengasihi Yesus dan Yesus setia pada Bapa.
Dalam diri Yesus kita melihat Allah yang mengasihi tanpa batas. Dengan melihat Yesus, kita melihat Allah yang penuh belas kasih.
Kita masih butuh pengenalan yang lebih mendalam dengan Tuhan dan pasangan hidup kita.
Menanam padi di pinggir sawah.
Sawah subur hijau daunnya.
Kita bersyukur dikasihi Allah.
Mari kita membuka diri kepada-Nya.
Cawas, selalu bersyukur…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr