Puncta 12.05.22 || Kamis Paskah IV || Yohanes 13: 16-20

 

Musuh dalam Selimut

BETAPA sedih Mohamad Ali ketika dia harus berhadapan dengan teman sparing partnernya sendiri.

Pada 2 Oktober 1980 di Caesars Pallace Nevada pertarungan tinju terjadi antara Mohamad Ali dengan Larry Holmes. Padahal Holmes adalah teman berlatih setiap hari.

Waktu itu Mohamad Ali dipukul KO oleh Larry Holmes di ronde 11.

Peristiwa yang sangat memilukan karena Holmes adalah orang yang dibesarkan oleh Mohamad Ali. Dia hidup bersama dalam setiap latihan di ring tinju.

“Suatu saat kamu akan mengalami hal yang sama seperti aku.” Kata Ali.

Dan pada 22 Januari 1988 Mike Tyson membalaskan dendam Ali ketika dia memukul KO Larry Holmes pada ronde ke 4 di Convention Hall, New Jersey.

Larry Holmes adalah musuh dalam selimut bagi Mohamad Ali.

Kalimat pepatah ini mau mengatakan bahwa orang yang ada di dekat kita justru adalah musuh kita sendiri.

Kita tidak menyadarinya karena bisa jadi dia adalah orang kepercayaan kita. Dia sangat paham tentang kehidupan kita. Dia mengetahui semua rahasia dapur kita.

Dia berlagak dan berperilaku sangat baik dengan kita, tetapi di belakang dia sangat membenci kita. Bahkan berusaha keras untuk menjatuhkan kita.

Dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi dia menunggu kejatuhan kita.

Yang menyedihkan lagi, musuh dalam selimut ini berasal dari kalangan terdekat kita sendiri. Orang kepercayaan kita, teman sparing partner kita. Tangan kanan kita.

Dalam Injil Yesus sudah mengingatkan kepada murid-murid-Nya ketika Dia membasuh kaki mereka.

“Aku tahu siapa yang telah Kupilih. Tetapi haruslah genap nas ini: Orang yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku.”

Di antara dua belas murid-Nya itu ada yang akan berkhianat. Diantara mereka yang duduk makan bersama, dia yang akan mengangkat tumitnya melawan Yesus. Dia adalah musuh dalam selimut.

Yudas adalah satu dari sahabat-sahabat Yesus. Yudas adalah orang yang dipercaya pegang kas kelompok. Tetapi dia justru menjadi musuh dalam selimut.

Musuh dalam selimut itu bisa kita jumpai di dalam organisasi, komunitas, grup, pekerjaan, kantor, dan dalam relasi pertemanan kita.

Orang yang sangat kita percaya, menjadi tangan kanan kita, sangat tahu dan paham tentang kehidupan kita, bisa menjadi orang yang tega menusuk dari belakang.

Banyak persahabatan menjadi hancur karena ada musuh dalam selimut. Dia adalah teman yang tega membuat lubang jebakan untuk kita.

Dia lebih suka mengorbankan teman sendiri, dan berani mengambil keuntungan bagi dirinya daripada setia dan loyal kepada yang telah membesarkannya.

Pertanyaan untuk refleksi: pernahkah anda punya pengalaman dikhianati oleh teman sendiri? Bagaimanakah sikap anda terhadapnya?

Mari kita belajar dari cara Yesus menghadapi musuh dalam selimut.

Malam kelam dan gelap gulita,
Hanya ada satu bintang di angkasa.
Betapa sedih dan sangat terluka,
Jika teman tega mengkhianati kita.

Cawas, sahabat sejati…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 11.05.22 || Rabu Paskah IV || Yohanes 12: 44-50

 

Hanoman Duta

KERA PUTIH bernama Hanoman diutus Prabu Rama pergi Ke Alengka. Dia ditugasi untuk menemui Dewi Sinta yang diculik Rahwana.

Perjalanan ke Alengka tidak mudah dan penuh bahaya. Ada banyak tantangan dan hambatan menghadang.

Di Alengka dia dihadang oleh para mata-mata kerajaan. Mereka menghalangi langkah Hanoman.

Namun dia berhasil masuk ke Taman Argasoka, tempat Dewi Sinta ditawan.

Hanoman memberikan cincin Ramawijaya. Sinta memberikan sisirnya sebagai tanda Hanoman sudah sampai sebagai duta, sekaligus harapan agar Rama segera menjemput istrinya.

Indrajit dan bala tentaranya mengetahui bahwa Hanoman masuk ke tempat Sinta. Taman dikepung dan Hanoman ditangkap.

Sengaja tanpa melawan Hanoman diikat kaki dan tangannya. Rahwana menyuruh agar Hanoman dibakar di tengah alun-alun.

Namun Togog Tejamantri menolong Hanoman dengan memberi minum sehingga ia kuat.

Hanoman berterimakasih kepada Togog dan berpesan agar tiang rumahnya diikat dengan janur kuning.

Para prajurit Indrajit membakar Hanoman dengan api membara. Seluruh tubuhnya dijilati api yang berkobar.

Namun Hanoman justru melemparkan api-api itu ke istana Rahwana, sehingga berkobarlah seluruh bangunan ludes dimakan api.

Hanya rumah Togog Tejamantri yang selamat dari amukan api.

Hanoman kembali ke Pancawati dan melaporkan apa yang telah terjadi di Alengka.

Dia menyampaikan pesan Sinta kepada Rama agar segera mengambilnya dari tangan Rahwana.

Yesus itu juga utusan Allah. Ia duta surgawi. Bapa mengutus-Nya untuk membawa keselamatan kepada umat manusia.

Siapa yang menerima dan percaya kepada-Nya akan selamat, tetapi bagi mereka yang menolak dan tidak percaya berada dalam hukuman yakni kegelapan.

“Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi kepada Dia yang telah mengutus Aku; dan barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dia, yang telah mengutus Aku.”

Yesus adalah Utusan Bapa. Sabda Yesus adalah sabda Bapa, karena Dia berasal dari Bapa.

“Sebab Aku berkata-kata bukan dari Diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus Aku, Dialah yang memerintahkan Aku untuk mengatakan apa yang harus Kukatakan dan Aku sampaikan.”

Seorang duta atau utusan berarti menyampaikan pesan dari yang mengutusnya.

Yesus membawa pesan dari Bapa-Nya yang di surga.

“Jadi apa yang Aku katakan, Aku menyampaikannya sebagaimana yang difirmankan Bapa kepada-Ku.”

Pertanyaan untuk refleksi; Apakah kita sungguh percaya akan sabda Yesus itu dan menghayatinya dalam kehidupan kita setiap hari? Apakah sabda Yesus menjadi pedoman langkah hidup kita?

Mentari bersinar diantara dedaunan,
Bunga-bunga mekar di hutan belantara.
Sabda Tuhan adalah terang kehidupan,
Yang percaya akan bahagia hidupnya.

Cawas, Sabda-Mu adalah pelita bagi jalanku….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 10.05.22 || Selasa Paskah IV || Yohanes 10: 22-30

 

“Wedhuse Gusti Yesus.”

SEORANG ibu pernah berkisah pada masa kecilnya dulu. Dia pernah diledekin sama teman-teman sekolahnya karena beragama Katolik.

“Kowe ki rak wedhus-wedhuse sing jenenge Yesus kae ta?” (Kamu ini domba-dombanya Yesus kan?).

Dia hanya tersenyum saja tanpa membela diri, karena tidak ada gunanya menjelaskan bagi orang-orang yang tidak percaya.

Semua hanya disimpan dalam hati. Bahkan dia malah mendoakan teman-temannya itu.

Dia sangat kaget ketika reuni sekolah, sekian puluh tahun tidak bertemu, kini teman yang dulu meledeknya itu malah menjadi Katolik.

Mereka ketemu saling berpelukan dan bercanda ria mengenang kenakalan masa kecil.

Kesalah-pahaman juga terjadi diantara Yesus dan orang-orang Yahudi. Kaum Yahudi mengalami kebimbangan.

Mereka ini berharap Yesus mengumumkan Diri-Nya sebagai Mesias. Mereka berkata, “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbagan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami?”

Mereka mengharapkan datangnya Mesias. Mereka ingin Yesus memaklumkan Diri-Nya. Mesias yang ditunggu adalah Mesias politis.

Mereka ini sudah dijajah terlalu lama oleh Bangsa Romawi. Maka mereka ingin Yesus memimpin sebuah gerakan menentang penjajah.

“Berapa lama lagi” menunjukkan betapa beratnya menjadi bangsa terjajah. Mereka ingin hidup merdeka.

Mereka butuh Mesias sebagai pahlawan yang maju berperang mengusir penjajah dan mendirikan kerajaan sendiri.

Sementara itu Mesias yang dibawa Yesus bukanlah mesias politik.

Maka Yesus berkata, “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku, tetapi kamu tidak percaya.”

Kedatangan Yesus Sang Mesias digambarkan dengan sebuah metafora sebagai Gembala. Kita semua diumpamakan sebagai domba-Nya.

Dia adalah Gembala yang menyelamatkan domba-dombanya, membawa domba ke tempat yang aman, menjamin domba sampai ke padang rumput yang hijau.

Karya-karya Yesus menunjukkan Dia sebagai Mesias; orang buta melihat, orang bisa berbicara, orang tuli mendengar, orang sakit disembuhkan, orang mati dibangkitkan, orang miskin mendapat kabar sukacita. Itulah tandanya Mesias datang.

Namun orang-orang Yahudi tidak mau percaya, karena mereka mengharapkan Mesias yang mampu mengusir Bangsa Romawi dari tanah air mereka.

Disinilah letaknya perbedaan dan kesalah-pahaman yang membuat mereka tidak mau percaya.

Pertanyaan untuk refleksi: bagi kita Yesus itu Mesias. Paham Mesias macam apakah yang kita hidupi selama ini?

Ke Pasar Johar membeli beras.
Dijual lagi di pasar Ambarawa.
Yesus Kristus adalah Mesias.
Dia menjamin keselamatan kita.

Cawas, Yesus andalanku…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 09.05.22 || Senin Paskah IV || Yohanes 10: 1-10

 

Gembala Sejati.

FJELD GARD HARESTUA adalah kampung peternakan yang dikembangkan untuk wisata lingkungan. Di sana dipelihara banyak ternak; sapi, domba, ayam dan kelinci.

Peternakan ini berjarak 45 menit dari Oslo, Norwegia. Perjalanan ditempuh dengan mobil. Suasana kampung yang luas dengan padang rumput memungkinkan domba, sapi, kelinci hidup dengan nyaman.

Ada dua vila yang disewakan untuk para turis. Masing-masing dengan 6 dan 5 kamar tidur.

Kita bisa melihat langsung kegiatan para gembala. Kita dibuat kagum bagaimana para domba sangat kenal dengan suara gembalanya.

Dalam suatu acara outbound, para turis diminta untuk memanggil domba-domba yang sedang merumput di padang.

Orang pertama teman dari Afrika mencoba memanggil-manggil domba-domba. Tetapi teriakannya tidak digubris. Domba-domba tetap makan dengan tenang.

Orang kedua seorang gadis yang juga berteriak-teriak menirukan suara gembala. Namun tidak berhasil juga.

Orang ketiga belum mencoba sudah tertawa terpingkal-pingkal karena tak mampu menirukan suara gembala.

Lalu sang pemilik domba muncul. Dengan jaket warna orange dan topi hijau, dia memanggil domba-dombanya.

Semua orang terperanjat ketika domba-domba itu mendongakkan kepala dan mulai mendekati asal suara. Sang gembala masuk dan berjalan di padang rumput.

Sungguh aneh, semua domba kemudian mengikutinya dari belakang.

Apa yang dikatakan Yesus tentang Gembala dan domba-domba mudah sekali dijelaskan melalui tour di Harestua itu.

Yesus berkata, “Untuk dia penjaga membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya keluar.’

Domba-domba itu sangat kenal dengan sang gembala. Ketika Gembala memanggil, domba-domba itu mendekat dan mengikutinya.

Orang asing tidak mereka kenal. Mereka tak menggubris suara orang asing.

Yesus berkata, “Seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari daripadanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal.”

Yesus adalah Gembala utama. Dialah pintu dimana domba-domba masuk ke kandang yang benar dan aman.

Domba-domba mendengarkan suara-Nya. Hanya gembala yang sejati yang akan diikuti oleh domba. Mereka sangat kenal dan paham akan suara gembalanya.

Kalau kita ini adalah domba-domba-Nya, apakah kita sungguh mengenal suara Sang Gembala?

Kalau kita ini domba-domba milik-Nya, apakah kita juga mengikuti kemana Sang Gembala menuntun kita?

Jangan-jangan kita ini sering menyeleweng mencari jalan sendiri. Kita kadangkala menjadi domba yang tersesat dengan tingkah polah kita yang tidak benar.

Kadang kita juga tidak mendengarkan suara Sang Gembala.

Pertanyaan refleksif: Apakah kita mendengarkan suara Yesus yang memanggil kita?

Apakah kita sungguh-sungguh mengenal Yesus, Sang Gembala kita itu?

Pergi ke Pakem membeli kopi,
Dinikmati di bawah pohon kelapa.
Yesus sungguh Gembala sejati,
Dia mengenal dan memelihara kita.

Cawas, Tuhanlah Gembalaku…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 08.05.22 || Minggu Paskah IV || Hari Minggu Panggilan || Yohanes 10: 27-30

 

Panggilan; Bukan Dipamerkan, Tapi Dihidupi.

SUDAH menjadi tradisi setiap Hari Minggu Panggilan ada pameran atau promosi hidup bakti dari para biarawan-biarawati.

Banyak paroki mengundang pastor, bruder, suster atau frater untuk sharing panggilan. Aneka macam kegiatan dibuat agar benih-benih panggilan tertanam dalam diri anak-anak muda.

Ada yang namanya Aksi Panggilan, Live in Panggilan, pameran panggilan, sharing panggilan dan lain sebagainya.

Bahkan ada yang mendandani anak-anak kecil dengan baju-baju biara atau tarekat, juga ada yang berdandan layaknya uskup.

Mereka diarak masuk gereja, diberi tempat khusus dan juga ada hadiah-hadiah menarik.

Ada banyak cara dan kreativitas yang dibuat untuk menarik mereka menjadi imam, bruder dan suster,

Semua itu baik sebagai suatu usaha untuk menawarkan sebuah bentuk panggilan hidup.

Tetapi yang sering dilupakan adalah bagaimana menghidupi panggilan itu sehingga dapat menjadi sebuah keteladanan nyata.

Inilah yang dikritik tajam oleh Paus tentang kehidupan orang Katolik pada umumnya. Tapi kritikan itu bisa juga ditujukan kepada para gembalanya.

Paus menyebut, “lebih baik menjadi seorang atheis daripada menjadi seorang Katolik, tetapi menjalani kehidupan ganda alias “bermuka dua.”

Dalam homilinya Paus mengatakan, “Orang bisa saja sangat Katolik, tak pernah melewatkan misa, menjadi bagian dari komunitas Gerejawi, tapi hidupnya tidak mencerminkan sebagai orang Katolik.”

Kalau itu sebagai autokritik bagi kaum berjubah, boleh juga dikatakan; pastor bruder suster bisa sangat saleh, tak pernah melewatkan misa, punya kesibukan pelayanan yang bejibun, jadi selebritas di medsos, tapi hidupnya tidak mencerminkan sebagai gembala yang baik.

Sang Gembala Utama, Tuhan Yesus bersabda, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku.”

Jika kita menghidupi panggilan yang benar, domba-domba pasti senang datang untuk mendengarkan suara sang gembala.

Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Ia hidup dan hadir di tengah-tengah mereka. Ia menjadi tempat yang aman bagi semua dombanya terlebih yang lemah, tersingkir dan tak diperhatikan.

Jika kehidupan para gembala itu baik dan menjadi teladan, pastilah para domba akan mengikutinya. Namun jika apa yang dikatakan Paus itu benar bahwa orang lebih suka “bermuka dua” maka domba-domba pasti tidak akan mengikuti gembalanya.

Mereka tidak menjadi teladan malah menjadi batu sandungan.

Tandanya jika kita menghidupi panggilan dengan baik, persis seperti apa yang dikatakan Yesus; suara gembala akan didengarkan, gembala sungguh mengenal dombanya, dan para domba mengikuti teladan hidup gembalanya.

Pada Minggu Panggilan ini, kita perlu merefleksi sungguh sejauhmana kita menghidupi panggilan kita sebagai gembala.

Bukan pameran panggilan yang diutamakan, tetapi keteladanan hiduplah pewartaan yang sebenarnya.

Pertanyaan reflektif: apakah hidupku sebagai gembala, pelayan domba sungguh patut diteladani ataukah malah menimbulkan skandal bagi umat?

Burung bangau terbang di udara,
Hinggap sebentar di pucuk cemara.
Jadi pastor jangan bermuka dua,
Hidup suci tapi hanya pura-pura.

Cawas, belajar dari para domba…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr