Puncta 22.04.22 || Jumat Oktaf Paskah || Yohanes 21: 1-14

 

Yesus dan Era Disrupsi.

TAHUN 2020 disebut era disruption. Perkembangan teknologi digital telah memicu aneka inovasi dan perubahan besar dalam dunia industri.

Revolusi industri 4.0 telah mengubah pola dan kondisi persaingan global.

Perubahan itu menciptakan disrupsi industri di segala sektor. Struktur-struktur lama berubah menjadi makin efektif dan efisien.

Kegiatan-kegiatan manual berganti menjadi serba otomatis dengan bantuan teknologi.

Muncul berbagai macam aplikasi yang makin mempermudah dan mempercepat.

Pasar tradisional hilang, diganti dengan pasar online. Kita tidak lagi harus menunggu kendaraan di pinggir jalan. Tetapi bisa pesan moda online dan langsung antar jemput sampai di tempat.

Ada pembayaran online. Bahkan mata uang digital sudah diciptakan yaitu cryptocurrency yang dikenal dengan Bitcoin. Tidak hanya Universe, sekarang ada Metaverse.

Kalau kita tidak masuk dalam era digital ini, kita akan tersingkir. Ada banyak perusahaan gulung tikar karena tidak mengantisipasi adanya disrupsi digital.

Sekarang tidak ada lagi Nokia, Blackberry, Kodak, Fuji Film, Konica. Sudah diganti dengan Smartphone yang 5G.

Gerai-gerai yang pernah jaya seperti Giant, Matahari, Ramayana, Golden Truly, Kinokuniya sudah bertumbangan karena tidak mampu beradaptasi dengan era perdagangan digital.

Bagi mereka yang tidak berubah dan beradaptasi dengan era baru, pasti akan ngap-ngap dan megap-megap.

Yesus yang bangkit juga membawa sesuatu yang baru. Ketika para murid pergi menjala ikan, semalam-malaman mereka tidak menangkap apa-apa. Mereka menggunakan cara lama yang konvensional.

Yesus menampakkan diri dan menyuruh mereka dengan cara baru. “Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu peroleh.”

Kebiasaan orang, menebar jala biasa ke sebelah kiri. Yesus menyuruh ke kanan. Ini hal yang baru.

Kalau tidak ke kanan, berarti anda harus membalik arah perahu, mengubah haluan. Jangan hanya mengikuti kebiasaan lama, tetapi berani berbalik arah 180 derajat.

Ketika mereka berani mengubah arah baru, seperti perintah Yesus, mereka tidak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan yang mereka peroleh.

Yesus membawa pola dan cara baru. Kalau kita tidak mengikutinya, kita tidak akan mendapat hasil apa-apa.

Para murid kembali hidup sebagai nelayan. Ini pola hidup mereka yang lama. Sesudah Yesus bangkit, mereka diajak memakai cara dan pola hidup yang baru.

Dari pola lama mereka tidak menangkap apa-apa. Dengan pola baru yakni setia dan percaya pada Yesus, mereka menghela jala yang penuh dengan ikan.

Pertanyaan reflektif: Apakah kita mau mengikuti Nokia yang hilang ditelan bumi, atau mau ikuti cara dan pola baru yang diajarkan Yesus agar bisa menjala hasil yang melimpah?

Beranikah kita berubah menghadapi dunia yang sedang berubah?

Pergi ke pasar pakai sandal jepit,
Membeli celana berwarna biru.
Tuhan Yesus yang sudah bangkit
Membawa semangat dan harapan baru.

Cawas, semangat Paskah, hidup baru…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 21.04.22 || Kamis Oktaf Paskah || Lukas 24: 35-48

 

Kentut; Tidak Terlihat Namun Ada.

SAMPAI sekarang masih ada saja orang yang tidak percaya kalau virus Covid-19 itu sungguh-sungguh ada. Bahkan itu dikotbahkan di mimbar-mimbar oleh orang-orang beragama.

Sampai sekarang masih ada yang menolak untuk divaksin. Mereka dipicu oleh pendapat yang mengatakan bahwa berita tentang virus itu mengada-ada dan dilebih-lebihkan.

Mereka tidak percaya karena tidak bisa melihat virus secara kasat mata. Mereka ingin bukti secara langsung, dapat dilihat dan dirasakan oleh panca indera.

Bahkan ada yang bertanya, ”Apakah covid-19 itu benar-benar ada?” kata dr. Reisa Broto Asmoro, tim Gugus Tugas Covid dalam konperensi pers di BNPB.

Ada anggapan pula yang mengatakan bahwa tidak ada kematian karena covid-19.

“Harus diluruskan. Fakta-fakta kasus kematian karena covid-19 itu ada.” Kata dr. Agus Dwi Susanto, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Banyak orang tidak percaya kalau tidak ada buktinya. Orang harus melihat secara kasat mata, baru dia akan percaya. Kalau tidak, sulit untuk menyadarkannya.

Udara atau angin itu tidak bisa dilihat, tapi orang percaya bahwa ada udara. Kentut itu tidak terlihat tapi bisa menggegerkan banyak orang. Baunya tidak bisa kita lihat tetapi itu ada dan bisa bikin mual seluruh penumpang.

Selain angin/udara, bau, suara, rasa yang tak terlihat, ada juga bakteri, virus, mikro organisme lain yang tidak kasat mata.

Karena keterbatasan kita, sehingga tidak bisa melihat, namun semua itu ada.

Inilah kesulitan kita manusia modern yang selalu menuntut bukti nyata.

Begitu juga dengan kisah kebangkitan. Para murid masih tetap ragu-ragu ketika Yesus tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka.

Mereka menyangka melihat hantu. Maka Yesus menyapa mereka, “Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan di dalam hatimu? Lihatlah tangan-Ku dan kaki-Ku: Aku sendirilah ini; rabalah dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku.”

Karena mereka belum percaya juga, Yesus makan ikan goreng di depan mereka.

Kalau Yesus minta bunga mawar, melati, kantil atau kemenyan itu bisa diragukan. Ini Dia minta ikan goreng dan makan di depan para murid-Nya!!

Yesus membuktikan bahwa Dia sungguh-sungguh hidup seperti mereka.

Pesan-Nya kepada kita adalah jangan pernah ragu. Percayalah bahwa Yesus hidup. Kendati tidak melihat namun percaya. Inilah iman yang sesungguhnya.

Sebagaimana para murid diajak memahami isi Kitab Suci yang menubuatkan tentang Yesus, kita pun bisa membaca Kitab Suci untuk memahami dan lebih mengenal siapa Yesus yang hidup, berkarya,mati di salib dan bangkit dengan mulia.

Pertanyaan reflektif: Di dunia sekitar kita ini ada banyak hal yang tidak kelihatan namun ada, dan itu kita terima. Apakah anda percaya kendati tidak melihat langsung Yesus yang bangkit?

Pergi ke Penajem lewat Sampit,
Mau melihat Ibu kota Negara.
Tuhan Yesus sungguh bangkit,
Kita tidak melihat namun percaya.

Cawas, aku percaya….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.04.22 || Rabu Oktaf Paskah || Lukas 24: 13-35

 

Teman Perjalanan

WAKTU tugas di Simpangdua, saya jarang turun ke Ketapang lewat Sukadana karena tidak hapal rute jalannya.

Baru dua kali saya melewati di situ. Itupun karena ditemani Romo Made dengan sepeda motor. Jalur ini memang lebih singkat dan dekat.

Saya masih hapal kalau melewati Stasi-stasi Bukang, Banjur, Otong, Merangin. Tetapi sudah tak tahu jalan selepas Lembawang, harus menyeberang pakai kelotok ke Mentaba, lanjut ke Melano, Sukadana, Siduk sampai Ketapang.

Saya lebih suka lewat jalur panjang; Simpangdua- Laur -Sandai –Tayap-Tembelina- Indotani-Pelang- Ketapang.

Jalur ini banyak tempat singgah untuk melepas lelah sambil minum kopi atau juice di Tayap. Kalau mau makan sate kambing ada warung di Sungai Rayak.

Perjalanan panjang itu sangat melelahkan. Kalau hujan banyak genangan berlumpur. Kalau kemarau dihadang oleh debu tebal.

Kalau ada teman dalam perjalanan, rasanya aman dan tenang. Kalau motor rusak, ban kempes atau kehabisan bensin, ada teman yang menolong. Capek dan penat hilang karena ada teman.

Kita bisa saling ngobrol dan menguatkan. Menempuh perjalanan jauh, berat dan melelahkan perlu ada teman. Kita bisa saling berbagi, menolong dan menghibur.

Itulah yang dialami dua murid yang mengadakan perjalanan pulang ke Emaus. Mereka membawa beban kekecewaan yang berat.

Harapan yang selama ini sangat tinggi, jatuh terpuruk sangat dalam. Kesedihan ditinggalkan sang idola atau yang dikasihi menjadi duka yang membekas. Mereka putus asa dan lunglai tak bersemangat. Di dalam Kitab Suci disebut muram, sedih dan lamban hati.

Namun tiba-tiba ada “teman” yang nimbrung dalam perjalanan. Yesus datang. Namun karena sedih dan kecewa yang tak terkira, mata hati mereka tak mampu mengenal-Nya.

Ia menguatkan mereka dengan menerangkan isi Kitab Suci. Bahwa semua itu harus terjadi untuk memenuhi nubuat para nabi. Perbincangan menjadi asyik.

Beban menjadi ringan, tak terasa. Tahu-tahu sudah mendekati kampung.

Mereka mengajak “teman” singgah karena hari sudah petang.

Terjadilah!! Ketika memecah roti untuk makan, mereka baru terbuka hatinya. Mereka melihat Yesus membagi roti. Mereka baru sadar bahwa “teman” perjalanan tadi adalah Tuhan sendiri.

Yesus hadir tanpa mereka sadari. Hati mereka berkobar-kobar. Perjumpaan yang mengubah; dari sedih jadi sukacita; dari lamban jadi semangat, muram jadi berkobar-kobar.

Pertanyaan reflektif: Apakah anda pernah mengalami ditemani Tuhan dalam peziarahan hidup yang sulit dan berat?

Melalui siapakah Tuhan hadir menemani anda? Bagaimana pengalaman itu mengubah hidup anda?

Berjemur diri di panas matahari,
Hanya dinaungi oleh daun-daun jati.
Sungguh bahagia punya teman sejati,
Selalu hadir meringankan beban di hati.

Cawas, Kaulah teman sejati…..
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 19.04.22 || Selasa Oktaf Paskah || Yohanes 20: 11-18

 

“Paraban” atau Nama Panggilan.

SETIAP orang hidup dalam suatu komunitas. Kelompok yang akrab erat bisa terbentuk menjadi satu keluarga.

Saking akrabnya kita memberi julukan atau nama panggilan kepada teman-teman kita. Orang menyebutnya nama “Paraban.”

Di Seminari Menengah kami tinggal bersama dalam suatu asrama selama empat tahun. Kami menjalani kehidupan dari bangun pagi sampai tidur malam selalu bersama.

Teman-teman itu yang awalnya tidak saling kenal lalu menjadi akrab dan berubah menjadi saudara yang sangat dekat.

Saking eratnya lalu muncul nama-nama julukan atau nama panggilan.

Teman yang suaranya menggelegar dijuluki “Bledheg.”

Teman yang badannya gempal dan hitam dijuluki “Holmes.”

Ada julukan “Jaran” karena larinya kencang. Ada sebutan “Cecak Garing” karena badannya kurus kering.

Yang banyak jerawat sebutannya “Kukul.”

Ada pula yang dipanggil Singkong, Gethuk, Paijo, mBak Sri, Cakil, Bemo Cilik, Bemo Gede atau sebutan tempat asalnya, Edi Klepu, Edy Boro, Hari Dampit, Bambang Baciro.

Ketika acara reuni, kita menyebut nama “paraban” atau panggilan itu dan langsung ingat kembali orang yang dimaksud.

Sebutan atau penggilan itu menunjukkan hubungan yang akrab dan pengenalan secara pribadi yang mendalam. Nama paraban menunjukkan kedekatan hubungan dan penerimaan diri apa adanya.

Maria Magdalena bersedih karena merasa kehilangan orang yang disayanginya. Ia bingung karena jenasah Yesus tidak ada di makam.

Dalam kebingungan, kesedihan dan keputus-asaan, dia mengambil kesimpulan salah. Ia menduga orang yang berdiri itu adalah penjaga makam yang mengambil jenasah gurunya.

Padahal yang berdiri di situ adalah Yesus. Namun karena pikiran dan hati kacau, ia tidak mengenali-Nya.

Seperti teman lama yang tidak pernah bertemu tidak mengenali wajahnya.

Namun setelah disebutkan nama “paraban” atau panggilan akrabnya, orang itu baru mengenal. Suasana menjadi akrab mesra dan dekat, riang gembira.

Ketika Yesus menyebut namanya, “Maria,” barulah perempuan itu mengenal suara gurunya.

Sapaan dengan tekanan dan ciri tertentu mengingatkan kembali akan hubungan pribadi yang istimewa.

Maria mengenal suara itu. Ia menjawab, “Rabuni.”

Ketika namanya disebut, Maria mengenal suara itu. Ia menjadi akrab dan dekat. Ia ingin memeluk-Nya.

Tetapi Yesus berpesan, “Janganlah engkau memegang Aku, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa Aku sekarang akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.”

Maria kemudian bersaksi dan berkata kepada murid-murid-Nya, “Aku telah melihat Tuhan.”

Yesus menghendaki sukacita Paskah tidak boleh hanya dinikmati sendiri, tetapi mesti diwartakan, dibagikan kepada orang lain.

Kita tidak boleh berhenti pada perasaan sentimental tetapi kita diutus untuk suatu tugas pewartaan.

Pertanyaan refleksi, seberapa dekat hubungan kita dengan Yesus? Apakah kita bisa mengenal sapaan sayang-Nya pada kita?

Tergerakkah hati kita untuk bersaksi? Mari kita bercermin dari pengalaman Maria Magdalena ini.

Nama paraban nama kesayangan,
Lucu-lucu namun menggemaskan.
Tugas kita semua setelah kebangkitan,
Berani bersaksi dalam tugas perutusan.

Cawas, mari kita bersaksi ……
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 18.04.22 || Senin Oktaf Paskah || Matius 28: 8-15

 

Bouwheer

KITA sering mendengar istilah “Bohir.” Kata itu berasal dari Bahasa Belanda “Bouwheer” yang artinya kontraktor.

Akhir-akhir ini istilah Bohir dihubungkan dengan proyek politik. Pemilik modal yang menggelontorkan sejumlah uang untuk tujuan tertentu.

Bohir juga berarti rentenir politik atau semacam calo yang mendanai seorang kontentan dalam pemilihan. Bohir bisa menentukan menang kalahnya seorang kandidat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pesta demokrasi dalam pemilihan pejabat atau caleg sering muncul politik bagi-bagi uang. Di sinilah peran seorang bohir sangat menentukan.

Rakyat hanya mendapat limapuluh atau seratus ribu, menderitanya bisa bertahun-tahun. Para bohirlah yang akan meraup untung. Jadinya pesta demokrasi menjadi “Pesta Bohir” bukan pesta rakyat.

Para bohir juga bisa membiayai demonstrasi untuk menolak kebijakan atau menyebarkan berita-berita bohong sebagai bentuk perlawanan.

Mereka membuat narasi-narasi negatif yang ingin menjatuhkan lawan politiknya.

Pada zaman Yesus ternyata juga ada kelompok Bohir. Ketika para perempuan pergi ke makam, mereka berjumpa dengan Yesus yang bangkit.

Yesus memberi salam dan berkata, “Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku.”

Para prajurit yang menjaga makam Yesus melaporkan apa yang terjadi kepada imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi.

Mereka mengambil keputusan untuk membuat narasi bohong. Lalu membayar serdadu-serdadu untuk mengatakan bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri jenasah Yesus, ketika para serdadu sedang tidur.

Para bohir ini menjamin mereka jika ada masalah dengan walinegeri. Para Bohir tidak bekerja sendirian. Mereka bergerak dengan teman-teman satu aliran.

Ada imam-imam dari kelompok agama. Ada tokoh tua-tua dari bangsa Yahudi. Mereka juga punya akses ke pejabat pemerintah seperti walinegeri.

Jangan heran ya kalau di sini juga berkeliaran para bohir. Mereka punya agenda politik. Agenda paling dekat adalah 2024. Pengalaman pilkada DKI bisa dicopy paste untuk sebuah nafsu politik.

Kalau tidak hati-hati, NKRI bisa pecah kalau jatuh ke pelukan bohir-bohir politik yang hanya mencari keuntungan pribadi dan kelompok.

Mereka tidak peduli dengan kebenaran. Mereka akan melawan kebenaran. Seperti para imam kepala dan tua-tua Bangsa Yahudi.

Kebenaran bahwa Yesus bangkit dilawan dengan narasi kebohongan. Hal itu terjadi sampai sekarang.

Hari Raya Kebangkitan Tuhan ini mengajak kita juga untuk bangkit melawan narasi kebohongan.

Jangan hanya diam saja. Mereka menggunakan teori Hitler bahwa kebohongan yang disampaikan terus menerus suatu saat akan diterima sebagai kebenaran.

Mari kita terus sebarkan kebenaran. Hanya dengan kebenaran, kita akan damai dan aman.

Matahari muncul hanya sebentar,
Sinarnya redup membawa kehangatan.
Jadilah orang waras dan pintar,
Jangan mudah dibohongi demi kepentingan.

Cawas, Sebarkan kebenaran….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr