Puncta 09.05.22 || Senin Paskah IV || Yohanes 10: 1-10

 

Gembala Sejati.

FJELD GARD HARESTUA adalah kampung peternakan yang dikembangkan untuk wisata lingkungan. Di sana dipelihara banyak ternak; sapi, domba, ayam dan kelinci.

Peternakan ini berjarak 45 menit dari Oslo, Norwegia. Perjalanan ditempuh dengan mobil. Suasana kampung yang luas dengan padang rumput memungkinkan domba, sapi, kelinci hidup dengan nyaman.

Ada dua vila yang disewakan untuk para turis. Masing-masing dengan 6 dan 5 kamar tidur.

Kita bisa melihat langsung kegiatan para gembala. Kita dibuat kagum bagaimana para domba sangat kenal dengan suara gembalanya.

Dalam suatu acara outbound, para turis diminta untuk memanggil domba-domba yang sedang merumput di padang.

Orang pertama teman dari Afrika mencoba memanggil-manggil domba-domba. Tetapi teriakannya tidak digubris. Domba-domba tetap makan dengan tenang.

Orang kedua seorang gadis yang juga berteriak-teriak menirukan suara gembala. Namun tidak berhasil juga.

Orang ketiga belum mencoba sudah tertawa terpingkal-pingkal karena tak mampu menirukan suara gembala.

Lalu sang pemilik domba muncul. Dengan jaket warna orange dan topi hijau, dia memanggil domba-dombanya.

Semua orang terperanjat ketika domba-domba itu mendongakkan kepala dan mulai mendekati asal suara. Sang gembala masuk dan berjalan di padang rumput.

Sungguh aneh, semua domba kemudian mengikutinya dari belakang.

Apa yang dikatakan Yesus tentang Gembala dan domba-domba mudah sekali dijelaskan melalui tour di Harestua itu.

Yesus berkata, “Untuk dia penjaga membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya keluar.’

Domba-domba itu sangat kenal dengan sang gembala. Ketika Gembala memanggil, domba-domba itu mendekat dan mengikutinya.

Orang asing tidak mereka kenal. Mereka tak menggubris suara orang asing.

Yesus berkata, “Seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari daripadanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal.”

Yesus adalah Gembala utama. Dialah pintu dimana domba-domba masuk ke kandang yang benar dan aman.

Domba-domba mendengarkan suara-Nya. Hanya gembala yang sejati yang akan diikuti oleh domba. Mereka sangat kenal dan paham akan suara gembalanya.

Kalau kita ini adalah domba-domba-Nya, apakah kita sungguh mengenal suara Sang Gembala?

Kalau kita ini domba-domba milik-Nya, apakah kita juga mengikuti kemana Sang Gembala menuntun kita?

Jangan-jangan kita ini sering menyeleweng mencari jalan sendiri. Kita kadangkala menjadi domba yang tersesat dengan tingkah polah kita yang tidak benar.

Kadang kita juga tidak mendengarkan suara Sang Gembala.

Pertanyaan refleksif: Apakah kita mendengarkan suara Yesus yang memanggil kita?

Apakah kita sungguh-sungguh mengenal Yesus, Sang Gembala kita itu?

Pergi ke Pakem membeli kopi,
Dinikmati di bawah pohon kelapa.
Yesus sungguh Gembala sejati,
Dia mengenal dan memelihara kita.

Cawas, Tuhanlah Gembalaku…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 08.05.22 || Minggu Paskah IV || Hari Minggu Panggilan || Yohanes 10: 27-30

 

Panggilan; Bukan Dipamerkan, Tapi Dihidupi.

SUDAH menjadi tradisi setiap Hari Minggu Panggilan ada pameran atau promosi hidup bakti dari para biarawan-biarawati.

Banyak paroki mengundang pastor, bruder, suster atau frater untuk sharing panggilan. Aneka macam kegiatan dibuat agar benih-benih panggilan tertanam dalam diri anak-anak muda.

Ada yang namanya Aksi Panggilan, Live in Panggilan, pameran panggilan, sharing panggilan dan lain sebagainya.

Bahkan ada yang mendandani anak-anak kecil dengan baju-baju biara atau tarekat, juga ada yang berdandan layaknya uskup.

Mereka diarak masuk gereja, diberi tempat khusus dan juga ada hadiah-hadiah menarik.

Ada banyak cara dan kreativitas yang dibuat untuk menarik mereka menjadi imam, bruder dan suster,

Semua itu baik sebagai suatu usaha untuk menawarkan sebuah bentuk panggilan hidup.

Tetapi yang sering dilupakan adalah bagaimana menghidupi panggilan itu sehingga dapat menjadi sebuah keteladanan nyata.

Inilah yang dikritik tajam oleh Paus tentang kehidupan orang Katolik pada umumnya. Tapi kritikan itu bisa juga ditujukan kepada para gembalanya.

Paus menyebut, “lebih baik menjadi seorang atheis daripada menjadi seorang Katolik, tetapi menjalani kehidupan ganda alias “bermuka dua.”

Dalam homilinya Paus mengatakan, “Orang bisa saja sangat Katolik, tak pernah melewatkan misa, menjadi bagian dari komunitas Gerejawi, tapi hidupnya tidak mencerminkan sebagai orang Katolik.”

Kalau itu sebagai autokritik bagi kaum berjubah, boleh juga dikatakan; pastor bruder suster bisa sangat saleh, tak pernah melewatkan misa, punya kesibukan pelayanan yang bejibun, jadi selebritas di medsos, tapi hidupnya tidak mencerminkan sebagai gembala yang baik.

Sang Gembala Utama, Tuhan Yesus bersabda, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku.”

Jika kita menghidupi panggilan yang benar, domba-domba pasti senang datang untuk mendengarkan suara sang gembala.

Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Ia hidup dan hadir di tengah-tengah mereka. Ia menjadi tempat yang aman bagi semua dombanya terlebih yang lemah, tersingkir dan tak diperhatikan.

Jika kehidupan para gembala itu baik dan menjadi teladan, pastilah para domba akan mengikutinya. Namun jika apa yang dikatakan Paus itu benar bahwa orang lebih suka “bermuka dua” maka domba-domba pasti tidak akan mengikuti gembalanya.

Mereka tidak menjadi teladan malah menjadi batu sandungan.

Tandanya jika kita menghidupi panggilan dengan baik, persis seperti apa yang dikatakan Yesus; suara gembala akan didengarkan, gembala sungguh mengenal dombanya, dan para domba mengikuti teladan hidup gembalanya.

Pada Minggu Panggilan ini, kita perlu merefleksi sungguh sejauhmana kita menghidupi panggilan kita sebagai gembala.

Bukan pameran panggilan yang diutamakan, tetapi keteladanan hiduplah pewartaan yang sebenarnya.

Pertanyaan reflektif: apakah hidupku sebagai gembala, pelayan domba sungguh patut diteladani ataukah malah menimbulkan skandal bagi umat?

Burung bangau terbang di udara,
Hinggap sebentar di pucuk cemara.
Jadi pastor jangan bermuka dua,
Hidup suci tapi hanya pura-pura.

Cawas, belajar dari para domba…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 07.05.22 || Sabtu Paskah III • Yohanes 6: 60-69

 

Gagasan Gur Dur yang Kontroversial.

BANGSA Indonesia harus bersyukur karena punya tokoh hebat seperti KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pemikirannya melampaui orang-orang sezamannya.

Kendati sering dianggap kontroversial, namun pikiran dan gagasannya sangat mencerahkan, bersifat korektif untuk membangun.

Misalnya ada pernyataan yang kontroversial ketika Gus Dur berkata bahwa anggota DPR tidak beda dengan anak TK.

Orang yang tidak suka akan memprotes. Tetapi kalau dipikir dan direnungkan lebih dalam ada benarnya juga. Hal itu terkonfirmasi dengan tingkah laku para anggota dewan sendiri.

Banyak gagasan Gus Dur yang luar biasa. Misalnya; pengakuan Konghucu sebagai agama, tahun baru imlek, pengakuan terhadap kelompok minoritas, kontroversi soal komunisme dan Israel.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Iwan Fals dalam lagunya “Surat Buat Wakil Rakyat.”

Masyarakat sudah tahu dan membenarkan apa yang dilontarkan Gus Dur maupun Iwan Fals itu.

Bagi orang yang tidak siap, pemikiran ala Gus Dur itu sangat mengejutkan, membuat “risih” dan pasti ada yang tidak senang.

Bagi orang yang paham dan cerdas, apa yang dikatakan Gus Dur itu benar dan menggelitik.

Pernyataan Yesus dalam perikop ini juga menimbulkan kontroversi di antara kaum Yahudi. Ia berbicara tentang roti hidup.

“Yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia.”

Reaksi orang-orang Yahudi waktu itu, “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?”

Mereka tidak sanggup menerima dan mencernanya. Mereka menjadi gaduh, goncang dan ribut.

Yesus bertanya, “Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?”

Apa yang diajarkan Yesus itu belum apa-apa, karena Yesus berkata lagi, “Dan bagaimanakah jikalau kamu melihat Anak Manusia naik ke tempat di mana Dia sebelumnya berada?”

Karena mereka tidak sanggup menerima ajaran Yesus, banyak orang mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia.

Pada saat seperti itu,Yesus justru menantang murid-murid-Nya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?”

Yesus menuntut kesungguhan mereka. Kalau ya katakan ya, kalau tidak jawablah dengan pasti.

Petrus menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.”

Petrus mengamini, membenarkan dan mengikuti ajaran Yesus, bahkan sampai menjadi martir demi iman kepada Yesus.

Kita diajak untuk tidak reaksioner secara ektrem dan frontal. Kita perlu merenung, mencerna dan memahami apa pun dengan tenang.

Seperti Petrus, dia mengikuti, menyelami dan mengalami hidup bersama Yesus, makanya dia berani berkata, “Tuhan kepada siapakah kami akan pergi?”

Pertanyaan reflektif: Ikut Yesus itu banyak yang kontroversial, sudah siapkah anda?

Bagamanakah kita semakin memperdalam pemahaman tentang iman kepada Yesus? Seteguh apakah iman kita kepada Yesus? Sudah seperti Petrus?

Di pengadilan ada banyak kasus,
Dari kasus berat sampai ringan.
Tidak mudah mengikuti Yesus,
Banyak sekali cobaan dan tantangan.

Cawas, kepadaMu aku percaya…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 06.05.22 || Jumat Paskah III • Yohanes 6: 52-59

 

Orang Katolik Kanibal?

SEBELUM bertugas di Kalimantan, kalau mendengar kata “Dayak” yang terbersit adalah sebuah suku atau kelompok manusia yang suka makan daging orang.

Ada cerita yang beredar bahwa orang Dayak makan manusia. Entah benar entah tidak, itulah cerita-cerita yang pernah sampai di telinga.

Bisa jadi cerita itu sengaja dibikin pada zaman penjajah karena unsur politis, demi memecah belah antar suku.

Memang ada tradisi “Ngayau” yang pernah ada. Ngayau adalah berburu kepala manusia dengan cara memenggal kepala musuhnya dan dibawa pulang sebagai tanda keperkasaan, kegagahan.

Laki-laki yang berhasil “ngayau” sudah layak mendapat gelar Bujang Berani dan berhak memperistri gadis.

Namun tradisi itu sudah tidak ada lagi. Ketika saya bertugas di pedalaman, orang-orang Dayak sangat ramah, baik hati, suka menolong, hidup damai, bersaudara dengan siapa pun.

Orang asing diterima sebagai saudara dan disambut dengan penuh keramah-tamahan.

Perikope Injil hari ini menjadi polemik hebat di antara orang Yahudi. Mereka bertengkar karena Yesus menyebut makan daging-Ku dan minum darah-Ku.

Mereka terkejut dan shock mendengar ucapan Yesus itu. Bagi mereka itu sangat bertentangan dengan hukum Taurat. Menyentuh darah saja sudah menajiskan diri.

Yesus tidak mengurangi dengan membuat eufemisme atau memperhalus, tetapi Dia justru menekankan lagi, “Sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup dalam dirimu.

Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.

Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.”

Sabda Yesus ini justru makin keras dan tajam.

Makna dari “makan daging-Ku sebetulnya ialah menerima Yesus sebagai Anak Domba Paskah baru.

Minum darah-Ku berarti menyatukan diri kita dengan hidup Yesus sendiri. Berkali-kali Yesus menyebut istilah itu.

Bukan tanpa maksud, tetapi hal itu menunjukkan betapa pentingnya menyatu-ragakan diri kita dengan Diri-Nya.

Persatuan kita dengan Kristus itu kini dihadirkan kembali dalam perayaan Ekaristi. Dalam Ekaristi-lah, Yesus memberikan daging dan darah-Nya.

Dia juga menyebut Roti Hidup. Tidak lain adalah Ekaristi.

Kalau kita bersatu dengan Kristus, berarti bukan aku yang hidup, melainkan Kristuslah yang hidup dalam diriku. Itulah keyakinan St. Paulus.

Nah, begitulah yang ditangkap Paulus dengan ungkapan “Siapa saja makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.”

Pertanyaan reflektif: Apakah kita sungguh-sungguh sudah menyatu dengan Kristus? Apakah kita sudah senafas dengan Kristus? Apakah hidup Yesus sudah menjadi pola hidup kita?

Setiap pagi minum segelas kopi,
Ditambah lagi dengan pisang rebus.
Semakin kita mencintai Ekaristi,
Semakin kita menyatu dengan Kristus.

Cawas, senafas dan seperasaan…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 05.05.22 || Kamis Paskah III • Yohanes 6: 44-51

 

Akulah Roti Hidup.

SUATU kali ada seorang ibu yang sharing, “Saya kok merasa kering ya mengikuti ekaristi pada hari Minggu. Rasanya tidak mendapat apa-apa. Lagu-lagunya tidak bersemangat, koornya tidak bisa dinikmati, kotbah romonya ya membosankan. Rasanya gak ada yang bisa dibawa pulang.”

“Saya mengikuti misa ya hanya rutinitas sebagai orang Katolik saja.” Ibu itu melanjutkan. “Orang Katolik tiap Minggu harus ke gereja ya ke gereja. Tetapi sering saya merasa itu hanya kewajiban semata. Saya belum mendapatkan sesuatu dalam ekaristi yang menyentuh hidup saya.”

Mungkin banyak orang punya pandangan yang sama dengan ibu tadi. Pergi ke gereja tanpa tujuan yang jelas dan hanya sekedar kewajiban sebagai orang Katolik atau mau cari hiburan lewat lagu-lagu indah atau kotbah yang kocak.

Dalam kutipan ini, Yesus menjelaskan siapa Diri-Nya. “Akulah roti hidup.”

Dalam Kitab Suci, istilah makanan atau roti selalu mengingatkan Bangsa Israel yang diberi “manna” oleh Allah selama 40 tahun di padang gurun.

Allah begitu mengasihi Israel dengan menjamin hidup mereka sehingga mereka tidak kelaparan.

“Akulah roti hidup” berarti Yesus memberikan Diri-Nya untuk jaminan keselamatan peziarahan kita.

Yesus memberikan Diri-Nya menjadi santapan rohani bagi kita. Sama seperti nasi atau roti menjadi makanan jasmani, demikian juga Tubuh dan Darah-Nya adalah makanan rohani bagi kita.

Israel lama makan manna dari surga sampai ke Tanah Kanaan. Israel baru yakni Gereja makan Roti dari Surga yaitu Yesus yang diberikan dalam Ekaristi untuk menuju Tanah Air Surgawi.

Hanya Yesuslah yang telah turun dari surga, dan Dia memberikan Diri-Nya untuk keselamatan manusia. “Akulah roti hidup yang telah turun dari surga.”

Makan Tubuh Kristus dan minum darah-Nya adalah syarat bagi kita ambil bagian di dalam hidup ilahi-Nya.

“Jikalau kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.

Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman”

Menyatu dengan Kristus pertama-tama tidak dipengaruhi oleh lagu-lagu yang bagus, suara koor yang indah, kotbah romo yang bikin tertawa terpingkal-pingkal, atau hal-hal lahiriah semata.
Hal-hal itu perlu tetapi bukan yang utama.

Tetapi niat hati yang terbuka untuk didatangi Tuhan yang memberikan Diri-Nya dalam roti yang turun dari surga.

Memang ajaran Yesus ini sulit diterima karena pada zaman Yesus pun banyak orang meninggalkan Dia setelah Ia mengajarkan tentang Roti Hidup.

Kita perlu memahami lebih dalam tentang siapa Yesus. Sebagaimana kita paham kalau lapar kita butuh makan, begitu pula kalau kita hidup membutuhkan Tuhan yang menjamin keselamatan kita.

Kata Yesus, “Akulah roti hidup yang turun dari surga” adalah jawaban dari kekosongan rohani kita yang kalau ke gereja merasa tidak mendapat apa-apa.

Pertanyaan reflektif: apakah anda suunguh meyakini Yesus sebagai roti hidup?

Apakah dalam ekaristi anda menemukan-Nya sebagai makanan jiwa yang membawa keselamatan kekal?

Bersilaturahmi ke tokoh-tokoh agama,
Merajut damai dan toleransi bagi bangsa.
Yesus adalah roti hidup yang turun dari surga,
Dia memberi keselamatan jiwa-jiwa yang dahaga.

Cawas, Syukur atas Ekaristi…
Rm. A. Joko Purwanto,Pr

Puncta 04.05.22 || Rabu Paskah III • Yohanes 6: 35-40

 

Yaqowiyu; Semangat Berbagi.

SETIAP Bulan Sapar tahun Hijjriyah di Desa Jatinom Klaten diadakan tradisi sebar apem kepada masyarakat.
Ribuan orang datang untuk mendapatkan berkah dari apem ini.

Tradisi yang disebut dengan Yaqowiyu ini sudah dilakukan turun temurun sampai sekarang.

Sejarah tradisi ini berawal dari kisah Ki Ageng Gribig. Setelah pulang dari Mekkah, beliau membagikan oleh-oleh berupa makanan semacam kue.

Namun karena tidak mencukupi untuk warga, beliau minta sang istri untuk membuat kue apem dan kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat.

Kebiasaan berbagi apem itu dilanjutkan turun temurun di Jatinom setiap Bulan Sapar. Banyak orang datang dari berbagai daerah untuk “ngalap berkah.” (memohon berkah).

Banyak orang percaya jika berhasil mendapatkan apem itu hidupnya akan tentram, usahanya berhasil dan apa yang dimohon akan terkabul.

Istilah Yaqowiyu sendiri berasal dari doa Ki Ageng Gribig setiap membagikan apem, beliau berdoa, “Ya qowiyu” yang artinya “Ya Tuhan berilah kekuatan.”

Orang-orang yang datang dan mendapatkan makanan itu akan memperoleh kekuatan untuk hidup.

Yesus berkata kepada orang banyak, “Akulah roti hidup, siapa saja datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan siapa saja percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.”

Yesus membagikan hidup-Nya menjadi makanan dan darah-Nya menjadi minuman yang memberi hidup kekal kepada semua orang.

Dalam perjamuan Ekaristi, kita benar-benar menerima Tubuh dan Darah-Nya sebagai makanan rohani bagi kita.

Dengan berbagi kehidupan, kita juga memberikan daya hidup kepada orang lain. Itulah makna Ekaristi yang setiap kali kita terima.

Sebagaimana Yesus yang memberikan Diri-Nya sebagai Roti Hidup, kita pun diajak berbagi kehidupan kepada orang lain.

Tindakan itu tidak hanya simbolis, tetapi sungguh-sungguh nyata. Yesus memberikan hidup-Nya melalui penderitaan-Nya di salib. Ia mati supaya kita hidup.

Dengan penderitaan-Nya kita ditebus. Dengan Darah-Nya kita memperoleh hidup. Seperti pendonor yang menyumbangkan darahnya agar orang lain hidup, demikian pun Yesus menumpahkan Darah-Nya supaya kita hidup dari-Nya.

Yesus berkata, “Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang yang melihat Anak dan percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.”

Jika kita percaya dan menerima bahwa Yesus adalah Roti Hidup yang memberikan nyawa-Nya untuk kita, maka kita akan beroleh hidup dalam Nama-Nya.

Pertanyaan reflektif: Apakah anda yakin bahwa setiap Ekaristi anda menerima Roti Hidup yakni Tuhan Yesus sendiri?

Lalu bagaimana anda berbagi hidup sebagaimana Dia mengutus kita, “Pergilah, kalian semua diutus?”

Semua bergembira di hari Idul Fitri,
Saling memafkan di antara sesama warga.
Yesus memberikan diri dalam Ekaristi,
Hidup kita pun harus dibagi untuk sesama.

Cawas, selamat Idul Fitri….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr