Renungan Harian

Puncta 13.03.22 || Minggu Prapaskah II || Lukas 9: 28b-36

 

Melepaskan Ego

SALAH satu pendaki gunung perempuan yang berhasil menaklukkan Mount Everest (8.848 mdpl) adalah Vannesa O’Brien.

Perempuan 56 tahun itu mengatakan, “Tantangan terberat pendakian gunung bukan soal fisik, tetapi mental.”

Ia banyak bermeditasi untuk mengatasi hal-hal negatif dan rasa cemas dalam pikiran.

Menurut O’Brien, mendaki gunung telah mengajarinya banyak hal. Pertama dan tersulit adalah melepaskan kendali untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan.

“Untuk mencapai puncak gunung, saya harus melepaskan ego yang saya miliki, terlalu berat untuk diangkut. Egoisme itu ada di suatu celah dalam hati kita.”

Melepaskan ego itulah yang paling sulit dalam hidup kita. Untuk bisa menikmati keindahan di atas puncak, egoisme pribadi harus ditinggalkan. Orang harus rela mengorbankan egonya.

Ketika berada di puncak gunung, Petrus dan teman-temannya melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya. Wajah Yesus berubah dan pakaiann-Nya menjadi putih berkilau-kilauan.

Dalam puncak kebahagiaan, Petrus berkata, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”

Petrus tidak memikirkan dirinya dan teman-temannya. Ia meninggalkan egonya dan hanya mendirikan tiga kemah saja. Untuk Yesus, Musa dan Elia. Mereka sendiri tidak dipikirkan.

Dalam kemuliaan di atas gunung itu, Yesus menegaskan kembali tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi di Yerusalem.

Penggenapan itu akan terjadi di atas gunung juga yakni ketika Dia disalibkan di Gunung Golgota.

Kemuliaan Yesus itu juga ditandai dengan mengorbankan egoisme diri. Ia rela mati demi keselamatan manusia. Ia mengorbankan diri-Nya agar manusia bahagia hidupnya.

Apakah itu kebahagiaan jika hanya mengejar egoisme pribadi dan mengorbankan orang lain?

Hari-hari ini kita sedang mendengar berita, beberapa “OKB, Orang Kaya Baru” sedang diburu oleh polisi karena mereka memperkaya diri dengan melakukan bisnis penipuan.

Dalam kondisi rakyat sedang terpuruk oleh pandemi, mereka pamer kekayaan dengan rumah mewah, mobil merk terkenal, pelesir ke luar negeri.

Dalam usia belum mencapai 30 tahun sudah punya kekayaan lebih dari seratus milyar rupiah. Sungguh fantastis.

Ketika diselidiki polisi, bisnis mereka diduga perjudian online dan pencucian uang. Mereka memanfaatkan nafsu orang yang ingin cepat kaya dengan jalan pintas.

Ketika terbongkar, banyak orang merugi ratusan juta rupiah, bahkan ada yang menjual tanah dan rumah segala.

Mereka menjadi kaya raya dan memamerkannya kepada orang lain. Memburu kebahagiaan pribadi tetapi merugikan banyak orang.

Akibatnya sudah bisa ditebak; urusan dengan aparat, kembali melarat dan hidup di antara jeruji berkarat.

Peristiwa Yesus dan para murid di atas gunung itu mengajarkan kepada kita untuk berani meninggalkan egoisme pribadi dan berani berkorban demi kebahagiaan banyak orang.

Itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Mari kita tidak egois dan rela berkorban demi sesama.

Pergi ke spanyol untuk menonton Barcelona,
Masih berjuang untuk naik ke peringkat ketiga.
Kebahagiaan itu bukan karena memiliki segalanya,
Tetapi ketika bisa berbagi dengan yang menderita.

Cawas, belajar berkorban dan berbagi….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 12.03.22 || Sabtu Prapaskah I || Matius 5: 43-48

 

Surat Kaleng kepada Uskup.

MENGASIHI orang yang membenci kita itu butuh perjuangan. Kalau mengasihi orang yang mengasihi kita itu tidak begitu sulit.

Tetapi mengasihi orang yang telah menjelek-jelekkan kita itulah yang sukar. Semakin dalam rasa benci semakin berat untuk mengampuni.

Saya pernah dilaporkan oleh seorang umat yang mau menikahkan anaknya. Ia membuat surat kaleng kepada Bapak Uskup.

Inti suratnya saya dituduh mempersulit urusan perkawinan anaknya. Mgr. Pujasumarta waktu itu sempat datang ke paroki saya. Beliau bertanya duduk perkaranya. Saya menjelaskan ke beliau.

Bapak itu seorang tokoh di paroki. Anaknya akan menikah dengan gadis tidak katolik. Mereka bekerja di luar Jawa.

Dia mengirim buku calon katekumen dengan maksud untuk dipelajari sendiri oleh calon menantunya.

Mereka akan pulang seminggu menjelang perkawinan.

Lalu dia minta kepada saya untuk membaptisnya sebelum dilangsungkan berkat perkawinan. Intinya supaya semua urusan dipermudah karena merasa telah berjasa sebagai tokoh umat.

Saya menolaknya. Siapa yang membimbing, menyiapkan dan menjamin anak itu selama di sana. Bagaimana penyelidikan kanonik dilakukan secara mendadak? Bagaimana dengan kursus persiapan hidup berkeluarga?

Saya mengusulkan agar menemui pastor paroki dimana mereka berdomisili. Mereka berdua biar mengurus dengan pastor parokinya.

Apakah mau persiapan baptis dulu atau menikah dengan dispensasi.

Itu bisa dibicarakan dengan pastor paroki. Berkas perkawinan bisa dilimpahkan kepada saya.

Setelah saya menjelaskan persoalannya pada Bapak Uskup, beliau memahami dan berkata pada saya, “Walaupun Rama tidak salah, Rama harus datang kepada bapak itu dan minta maaf.”

Minta maaf? Saya tidak salah tetapi harus minta maaf?

Dalam hati saya protes. Tetapi waktu itu saya hanya mengiyakan perintah Bapak Uskup.

“Tuhan Yesus juga tidak bersalah, tetapi Dia mengampuni orang-orang yang menggantung-Nya di kayu salib.”

Kata-kata Monsigneur itu mengesan sampai sekarang.

Yesus mengajarkan tentang nilai kasih dan pengampunan.

Ia berkata, “Kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga.”

Mengasihi atau mengampuni orang-orang yang telah mengasihi kita tidaklah sukar.

Yang sulit adalah mengasihi atau mengampuni mereka yang membenci, memusuhi, mencemarkan nama baik kita, menjelek-jelekkan, menyebarkan kebencian dan fitnah.

“Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu yang di surga sempurna adanya.”

Menjadi murid Yesus harus beda. Tidak sama dengan arus pada umumnya.

Itulah pembedanya; berani mengasihi orang-orang yang membenci kita.

Yesus sudah memulai, apakah anda mau melanjutkannya?

Panas-panas pergi ke pantai memakai topi.
Duduk di pasir dengan sabar menunggu senja.
Memang berat mengasihi yang membenci.
Demikianlah jika kita mau menjadi sempurna.

Cawas, seperti Bapa sempurna adanya….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 11.03.22 || Jum’at Prapaskah I || Matius 5: 20-26

 

Pembunuhan Karakter

BERITA pembunuhan hampir kita dengar setiap hari. Mereka melakukanya dengan aneka motif; balas dendam, putus cinta, hutang piutang, rebutan harta dan masih banyak lagi.

Kakak beradik bisa saling bunuh gara-gara warisan. Pacar tidak terima karena diputus langsung mencekik leher kekasihnya. Orang marah karena ditagih hutangnya dan tega membunuh.

Tetapi pembunuhan tidak hanya secara fisik. Kata-kata, berita bohong, pencemaran nama baik bisa juga membunuh karakter seseorang.

Amarah, pemutar-balikan fakta, kebencian dan dendam bisa berakibat fatal. Nama baik seseorang bisa hancur karenanya.

Reputasi orang bisa rusak di depan publik. Kariernya bisa jatuh dan masa depannya berantakan.

Kemarahan tak terkendali dan kemudian menjatuhkan orang di depan umum secara ad hominem bisa membuat citra seseorang menjadi buruk.

Karakternya dirusak di depan umum. Tindakan seperti ini kendati tidak membunuh secara fisik, namun bisa mematikan karakter seseorang.

Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya untuk berhati-hati dan waspada.

Yesus tidak hanya menuntut para murid untuk taat pada aturan hukum Taurat; jangan membunuh, jangan mencuri, jangan bersaksi dusta dan lain-lain, tetapi lebih daripada itu.

Jangan marah, jangan berkata “kafir” dan “Jahil”.

Marah dan berkata kasar kepada sesamanya dianggap tidak pantas dan harus dihukum.

Ketika kita marah dan berkata “kafir atau “jahil” kepada sesama, itu merupakan bentuk pembunuhan karakter.

Bukan fisik yang diserang tetapi mental dan psikis seseorang bisa jatuh.

Amarah, kafir dan jahil bisa keluar dari mulut yang tak terkendali. Hal itu bisa berpotensi membunuh dan menghancurkan orang.

Kita bisa melihat banyak contoh di sekitar kita. Kata-kata “kafir” banyak dilontarkan dan banyak yang menjadi korban.

Yesus mengingatkan, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kalian tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”

Kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat itu suka mengkafir-kafirkan orang. Mereka menganggap diri paling benar dan saleh.

Tetapi mereka malah jatuh sendiri oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Kita harus hati-hati karena mulutmu adalah harimaumu. Kata-kata punya daya kuat untuk membunuh seseorang.

Hati-hati dalam berbicara. Hati-hati gunakan mulutmu.

Tong kosong berbunyi nyaring.
Banyak bicara tak ada isinya.
Kata-kata kasar seperti gigi taring,
Bisa menggigit dan membunuh sesama.

Cawas, berbicaralah dengan sopan….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 10.03.22 || Kamis Prapaskah I || Matius 7: 7-12

 

Mengetuk Pintu Hati

KITA sering melihat gambar Yesus mengetuk pintu. Pelukisnya adalah Holman Hunt. Teman-temannya mengagumi lukisan yang sempurna itu.

Namun ada satu teman yang berkata, “Lukisanmu bagus dan indah, namun ada satu yang engkau lupa?”

Hunt bertanya, “Apa itu?”

“Handle. Ya, engkau lupa melukiskan pegangan pintu.” Jawab teman itu sambil menunjuk dimana handle itu seharusnya.

Namun Hunt menjawab, “Oh, aku tidak lupa. Aku memang sengaja tidak menaruh handle di situ. Sebab saat Yesus mengetuk pintu hati kita, handle itu ada di sisi kita. Kitalah yang harus membukanya dari dalam.”

Orang yang mengetuk pintu tidak akan masuk jika tuan rumah yang ada di dalam tidak membuka pintu baginya.

Yesus sudah mengetuk pintu hati kita, apakah kita mendengar dan membukakan pintu bagi-Nya?

Yesus berkata, “Mintalah, maka kamu akan diberi; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta akan menerima, setiap orang yang mencari akan mendapat, dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu akan dibukakan.”

Kalau orang mau berusaha maka ia akan memetik hasilnya. Kalau kita melakukan sesuatu dengan baik, tekun dan benar, pastilah apa yang kita harapkan akan terjadi.

Kita juga percaya bahwa Allah itu mahabaik. Apa yang kita minta, doakan dan ujubkan pasti akan diberikan-Nya.

Yesus membandingkan dengan orangtua kita. “Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia minta roti, atau memberi ular, jika ia minta ikan?”

“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberikan yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga. Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Kalau Yesus mengetuk pintu hati kita, mungkin sering kita tidak mendengarnya. Tetapi kalau kita yang mengetuk pintu hati Tuhan, pasti Dia langsung membukanya.

Sesering apakah kita mengetuk pintu rumah-Nya? Doa adalah cara kita mengetuk pintu Tuhan.

Kalau Tuhan tidak membuka pintu, pasti Dia akan membuka jendelanya.

“Gusti mboten sare.” Tuhan selalu berkarya bagi kita. Tuhan tidak pernah tidur.

Kalung emas yang dulu kubeli,
Kini sudah berubah jadi kelinci.
Tuhan tidak pernah ingkar janji,
Ia akan berbelaskasih dan memberi.

Cawas, mintalah jangan ditunda….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 09.03.22 || Rabu Prapaskah I || Lukas 11: 29-32

 

IKTHUS, Tanda Isyarat yang Menyelamatkan.

PADA masa Kekaisaran Romawi, Kekristenan adalah duri yang harus dipatahkan. Murid-murid Yesus adalah sekte baru dalam agama Yahudi yang harus dimusnahkan.

Maka ada pengejaran, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan dimana-mana. Banyak martir mati karena diketahui sebagai pengikut Kristus.

Jemaat Kristen awal tidak bisa bebas berkumpul untuk berdoa, adakan perjamuan dan mewartakan iman.

Mereka punya kata sandi atau tanda rahasia setiap kali bertemu yakni IKTHUS, dalam Bahasa Yunani yang berarti ikan.

Ketika seorang Kristen bertemu dengan teman baru, ia akan menggambar lengkungan di tanah. Jika teman itu seiman, ia paham, maka ia akan menambahkan lengkungan berikut sehingga membentuk ikan.

Gambar itu menjadi bahasa sandi murid-murid Kristus pada masa-masa awal Kekristenan.

IKTHUS dipahami oleh mereka sebagai sebuah singkatan dari Iesous KHristos, Theou Uios, Soter yang berarti Yesus Kristus, Putra Allah, Sang Penyelamat.

Huruf-huruf pertama frasa ini dalam bahasa Yunaninya adalah IXΘYΣ (ikhthus).

Dengan tanda sandi atau bahasa isyarat itu mereka selamat dari pengejaran tentara kekaisaran Romawi.

Pada masa Kaisar Diokletianus (284-305) ada sekitar 3000-3500 martir dibunuh karena mengimani Kristus. Diantaranya adalah St. Petrus, St.Paulus, St. Sebastianus, St. Agnes, St. Marselinus, St. Prankrasius, St. Anastasia dan Filomena.

Banyak orang meminta tanda ilahi dari surga kepada Yesus.

“Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menuntut suatu tanda, tetapi mereka tidak akan diberi tanda selain tanda Nabi Yunus.”

Bagi orang-orang yang percaya Yesus adalah tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Iesous Khristous Theou Uios Soter itulah keyakinan iman kita. Yesus Kristus Putera Allah Sang Juru Selamat.

Mereka yang percaya berani mati membela imannya sebagai martir. Mereka yakin bahwa Yesuslah tanda dari Allah.

Bagi mereka yang tidak percaya, mereka akan diadili pada akhir zaman. Yunuslah yang akan jadi saksinya, karena orang-orang Ninive percaya pada Yunus.

Sedang orang Yahudi tidak percaya pada Kristus, padahal Yesus lebih daripada Yunus.

Mari kita tetap teguh berdiri dan percaya kepada Yesus Kristus Sang Penyelamat.

Dialah yang akan menjadi hakim bagi umat manusia dan membukakan pintu Kerajaan Allah bagi mereka yang percaya kepada-Nya.

Mari kita hidup menurut petunjuk-Nya, mengikuti jalan yang diajarkan-Nya. Jangan pernah ragu.

Mari kita melakukan pertobatan agar hidup kita sejalan dengan-Nya.

Menunggu teman di perempatan jalan,
Setelah sekian lama tak pernah jumpa.
Tanda salib adalah tanda penyelamatan,
Jangan ragu untuk mengikuti teladan-Nya.

Cawas, tanda kasih-Nya…
Rm.A. Joko Purwanto, Pr

Renungan Mingguan

The playlist identified with the request's playlistId parameter cannot be found.