by editor | Sep 11, 2019 | Renungan
DALAM retret pesta perak di Toraja, kami dicerahkan pada kesadaran bahwa segalanya adalah karena kebaikan dan kesetiaan Allah semata.
Dalam perayaan pesta perak imamat kemarin, hal itu ditegaskan lagi oleh sharing Rm. Agus bahwa siapalah kami para imam ini?
Kadang kami salah mengartikan bagaimana menjadi murid Yesus. Kadang kami membanggakan diri dengan prestasi.
Senang dipuja-puji, bangga bisa membangun gereja dan kapel, pandai berkotbah, pinter mengorganisir aneka kegiatan, punya banyak fasilitas, ahli memberi retret dan macam-macam kebanggaan pribadi.
Kami mengejar popularitas, kekayaan, hiburan dan pujian. Kami disadarkan bahwa menjadi murid itu pertama-tama harus menyertai Dia dan mau merwartakan InjilNya. Setia dalam doa dan ekaristi. Itulah menyertai Dia.
Sabda Yesus hari ini bukan hanya ditujukan kepada kepada umat, tetapi juga ditujukan kepada imam-imamNya.
Celakalah kalian imam-imam yang memperkaya diri, karena dengan kekayaanmu kalian telah memperoleh hiburan.
Mana ada imam yang miskin zaman sekarang? Kemana-mana naik mobil, gadgetnya keluaran terbaru dan sangat mahal.
Celakalah kalian para imam yang kenyang, karena kalian akan menderita kolesterol tinggi, sakit jantung, ginjal dan diabetes.
Tidak ada imam yang kelaparan. Kalau kurang gizi ada. Celakalah kalian para imam yang selalu tertawa karena akan ada saatnya kalian akan berdukacita dan menangis.
Celakalah kalian para imam, jika semua orang memuji kalian, karena dengan demikianlah orang-orang memuji nabi-nabi palsu.
Sabda Yesus ini menyadarkan kami yang merayakan perak imamat ini, bahwa mengikuti panggilanNya bukan pertama-tama mencari kekayaan, pujian, hiburan, prestasi diri, kebanggaan semu.
Mengikuti Yesus adalah setia menyertai Dia untuk menjadi pewarta InjilNya. Yesuslah yang harus diwartakan bukan diri pribadi para imam dengan segala prestasi dirinya.
Kami diajak untuk melakukan “conselatio memoriae”, menghapus segala kenangan tentang kebanggaan diri, kesuksesan bikin monumen, mercu suar di paroki-paroki, kehebatan berpastoral dan puji-pujian semu.
Kini saatnya mulai mengendapkan diri, menjadi “menep” dalam kehidupan. Mempersilahkan Allah yang di depan dan kita mengikutiNya dari belakang.
Jangan sampai kata-kata “Celakalah….” itu diarahkan kepada kita. Sebaiknya kata-kata itu menyadarkan kita untuk introspeksi diri.
Ada pelawak namanya Lesus
Punya teman namanya Basuki
Sungguhkah kita mewartakan Yesus
Ataukah kita mewartakan diri sendiri?
Cawas, suatu pagi
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by gisel | Sep 11, 2019 | Artikel
74 tahun yang lalu, tepatya pada tanggal 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan setiap tahunnya menjelang tanggal tersebut seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke turut berpartispasi dalam merayakan Hari kemerdekaan negara kita ini. Ditahun 2019 ini Paroki Santa Maria Assumpta Babarsari merayakan 17 Agustus ini dengan spesial yaitu dengan mengadakan upacara di halaman Gereja Maria Assumpta Babarsari.
Tidak hanya itu, para umat yang menjadi peserta upacara pun turut memeriahkannya dengan menggunakan baju adat. Ada yang menggunakan Kebaya, ada juga yang menggunakan Kain Ulos, ada pula yang menggunakan baju adat yang berasal dari Kalimantan. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam Paroki kita sendiri memiliki umat yang sangat beragam. Tidak heran bahwa paroki kita sering juga disebut sebagai Paroki Indonesia Mini, karena umat yang dimiliki dan terlibat di dalam Paroki kita memang berasal dari Sabang sampai Merauke.
Petugas Upacara pada hari ini pun diambil dari tim Pamja yang bertugas memimpin pasukan, dan Pak Budi sebagai Komandan upacara, juga OMK Don Bosco Babarsari yaitu Peter D Lim, Aldidarichie, dan Birgitha Cindy N.A sebagai Pasukan pengibar Bendera. Pembacaan teks proklamasi oleh Patrisia Jesika. Pembacaan Undang-undang Dasar 1945 dibacakan oleh Rohani Siburian. Dan pembawa Teks Pancasila oleh Jerry Make. Dengan Romo Yohanes Iswahyudi, Pr yang bertindak sebagai Inspektur Upacara yang dengan lantangnya turut membacakan Pancasila. Dalam amanat Upacaranya, Romo Iswahyudi mengatakan bahwa Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka memperingati hari kemerdekaan itu adalah hak semua orang untuk kemerdekaannya. Sehingga ketika kita hadir dalam upacara bukan lagi merupakan suatu kewajiban, namun kita mengambil hak kita sebagai manusia yang merdeka. Romo juga berharap bahwa Upacara memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ini akan menjadi program tetap Paroki sehingga di tahun-tahun selanjutnya upacara seperti ini akan dilaksanakan dan semakin banyak umat yang mengambil haknya sebagai rakyat Indonesia yang merdeka.
Tema Kemerdekaan kita di tahun ini adalah SDM Unggul Negara Maju, setelah selama 5 tahun Presiden Joko Widodo menggenjot dari sisi infrastruktur, maka di 5 tahun yang akan datang Presiden Joko Widodo akan menggenjot SDM kita. Dan Gereja juga memiliki peranan penting dalam membangun SDM-SDM yang unggul sehingga nantinya dengan hadirnya para SDM yang unggul ini indonesia diharapkan menjadi Negara yang kuat, makmur, dan maju. Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh Gereja maupun seluruh umat untuk menjadi bangsa yang unggul ini. Berikut beberapa hal sederhana yang bisa membangun pribadi kita menjadi SDM yang unggul:
- Rajin Membaca
Budaya membaca adalah hal yang penting agar kita semua memiliki wawasan yang luas. Buku tidak hanya dibeli namun juga harus dibaca. Kita sebagai umat Katholik juga sepatutnya turut serta dalam menggerakkan Budaya Membaca ini terutama di Kota ini kita cukup dekat dengan tempat-tempat yang dengan mudahnya menyediakan buku. Berbeda dengan umat-umat lain di daerah terpencil yang memiliki kesulitan untuk mengakses buku.
- Mengikuti pertemuan-pertemuan yang bersifat menambah pengetahuan (mengikuti komunitas)
Setia tanggal 15 setiap bulannya, Paroki kita mengadakan pertemuan Biji Sesawi dimana didalamnya kita bisa memperkaya pengetahuan kita terutama dalam hal gerejawi. Kita juga memiliki Sekolah Minggu bagi anak-anak yang belum berkomuni sebagai wadah mereka untuk menambah pengetahuan. Selain itu ada komunitas seperti PIRA dan OMK yang sering mengadakan pertemuan-pertemuan rutin untuk menamah wawasan mereka.
- Menjadi pribadi yang terbuka dan religius.
Kita harus menjadi pribadi-pribadi yang terbuka dan mudah di tembus oleh banyak orang sehingga kita bisa bertukar wawasan dengan mereka. Dan juga tidak hanya menjadi manusia yang bewawasan luas, namun juga menjadi manusia yang religius. Tidak ada gunanya memiliki banyak pengetahuan jika tidak diikuti dengan rohani yang kuat. Dan Gereja kita memberikan banyak kesempatan untuk mengolah kehidupan rohani kita.
Itulah amanat-amanat yang disampaikan Oleh Romo Yohanes Iswahyudi, Pr yang pada pagi hari ini bertugas sebagai Inspektur Upacara.
Merdeka adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan kita sebutkan, bahkan mungkin kita lafalkan, sering kita dengungkan dalam keseharian.
Namun kata itu hanya sekedar kata tanpa makna. Pernahkah kita tahu apa itu Merdeka dalam arti yang sesungguhnya? Merdeka mungkin saja kita artikan berbeda-beda dalam kehidupan kita. Semakin penting suatu peristiwa, maka akan semakin tinggi pula nilai simbolik yang terkandung di dalamnya.
Merdeka adalah sebuah cita-cita yang luhur. Merdeka adalah sebuah tujuan hidup. Bahkan pendahulu kita mempunyai semboyan yang sangat popular di kalangan masyarakat kita yaitu : Merdeka atau Mati. Kata Merdeka disepadankan dan dipertaruhkan dengan nyawa.
Jaman sekarang, pada masa kita kini, pada era globalisasi, apakah kata merdeka masih mempunyai nilai yang sama dengan jaman perjuangan dahulu yaitu disepadankan dengan nyawa kita sebagai taruhannya? Apakah kita masih memperjuangkan kata merdeka dalam kehidupan kita sehari-hari?
Maka dari itu hendaklah kita semua maknai kemerdekaan ini dengan kemerdekaan yang sejati. Sebagai Umat Katholik kita juga merupakan bagian dari bangsa ini, dan sudah selayaknya kita ikut berpartisipasi dalam mewujidkan cita-cita bangsa kita ini.
Ingat kita adalah 100% Katholik 100% Indonesia. Sudah sepatutnya kita ikut ambil bagian dalam memupuk rasa Nasionalisme diantara masyarakat. Penekanan dari semangat Mgr. Soegijapranata adalah pemahaman yang benar dan utuh akan Tuhan dalam keyakinanmu harus direalisasikan dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, melalui peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-74 tahun dapat kiranya dijadikan sebagai momentum untuk melakukan refleksi nasional, yaitu dengan memaknai kembali nilai-nilai yang terkandung dalam spirit kemerdekaan untuk mewujudkan suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
by editor | Sep 10, 2019 | Renungan
PREAMBULE Undang-Undang Dasar 1945 dalam alinea ketiga dikatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Sebelum menyatakan kemerdekaan Indonesia, Para pendiri bangsa ini berdoa dan mohon petunjuk bagi peristiwa penting bangsa yakni kemerdekaan Indonesia.
Mereka adalah insan pendoa yang percaya bahwa kemerdakaan terjadi berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan keinginan Bangsa Indonesia.
Tetapi diyakini yang pertama adalah berkat rahmat Allah. Pastilah ini semua bisa muncul karena religiusitas para pendiri bangsa kita sangat tinggi.
Sebelum membuat keputusan penting menyangkut seluruh bangsa, mereka berdoa kepada Allah yang maha kuasa.
Dalam Injil hari ini, Yesus mendaki sebuah bukit untuk berdoa. Semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah.
Yesus mencari tempat khusus, sepi, jauh dari keramaian. Ia pergi ke bukit. Doanya tidak cuma satu dua jam, tetapi semalam-malaman.
Beda dengan kita, pergi ziarah tetapi doanya hanya setengah jam. Yang banyak adalah pikniknya, acara shoping dan kulinernya.
Yesus pergi ke bukit. Kita pergi ke mall. Yesus berdoa. Kita belanja.
Kita diingatkan oleh Yesus. Sebelum membuat keputusan-keputusan penting, hendaknya diawali dengan doa.
Yesus mau memilih murid-muridNya. Ia mengawalinya dengan pergi menyepi dan berdoa. Ia berdialog degan Allah BapaNya.
Pilihan Yesus atas murid-muridNya sungguh tepat. Semua muridNya, kecuai Yudas Iskariot, adalah murid yang militan. Mereka semua menjadi martir dalam mengikuti Yesus.
Sebagaimana para pendiri bangsa ini juga menyakini bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi karena berkat rahmat Allah, kita pun diajak melibatkan Allah dalam seluruh kehidupan kita.
Jangan lupa selalu mengawali seluruh aktivitas dan keputusan hidup kita dengan doa.
Jalan-jalan di pagi hari
Menikmati indahnya sawah
Doa itu ibarat sebuah kunci
Dengannya kita bisa memasuki rumah
Cawas, sekali waktu
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Sep 8, 2019 | Renungan
PERNAH dalam suatu sarasehan Kitab Suci di lingkungan, saya ditanya oleh seorang bapak yang anaknya menjadi romo lulusan luar negeri, “Apakah romo pernah belajar di Roma?”
Lalu meluncurlah pertanyaan-pertanyaan yang menurut kacamata awam adalah pertanyaan mahasiswa teologi tingkat akhir. Bapak itu memang terhormat dan disegani.
Saya menjawab, “Maaf Pak, ijasah saya bukan dari Roma. Saya hanya lulusan “Romasan” (Plesetan dari Promasan sebuah paroki di lereng Perbukitan Menoreh, daerah Sendangsono).
“Saya dulu sekelas dengan Mgr. Haryo di Kentungan. Hanya bedanya, saya duduk di bangku belakang. Mgr, Haryo berdiri di depan kelas.”
Ada banyak tipe orang bertanya. Ada yang ingin mencobai. Dia sebenarnya sudah tahu jawaban yang ditanyakan. Ada yang ingin menjatuhkan dengan pertanyaan yang sulit-sulit.
Ada pula yang memang ingin meminta jawaban karena tidak tahu. Ada pula yang hanya ingin menyombongkan diri merasa tahu segala-galanya dengan cerita diri yang “muluk-muluk”, malah lupa apa yang ditanyakan.
Yesus berhadapan dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang merasa paling tahu tentang hukum Taurat dan merasa paling benar.
Mereka mengamat-amati gerak gerik Yesus pada hari Sabat. Kalau-kalau mereka bisa mencari alasan untuk menyalahkan Dia.
Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah penjaga hukum. Mereka melaksanakan aturan sekecil-kecilnya. Meraka merasa gelisah jika ada orang melanggar aturan.
Yesus mengkritik cara hidup mereka yang mencari kesalahan orang. Hukum bukan untuk menindas atau menyalahkan orang lain.
Hukum itu untuk kebaikan bukan malah menyengsarakan orang. Manusia lebih utama daripada aturan. Menyelamatkan orang lebih penting daripada taat buta terhadap aturan.
Yesus menyembuhkan orang lumpuh tangannya. Kemanusiaan di atas segala aturan. Contohnya, mobil ambulans yang membawa orang sakit boleh menerobos aturan “bangjo” di jalan.
Apakah anda berani berjuang demi kemanusiaan, kendati harus menghadapi berbagai tantangan?
Minum tuak yang dibikin dari beras ketan
Sebotol dibagi bertiga
Bagaimana orang bilang mencintai Tuhan
Kalau tidak bisa mencintai sesamanya?
Cawas, di suatu sore
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Sep 7, 2019 | Renungan
Dalam bacaan hari ini Yesus memberi tiga syarat menjadi muridNya. Pertama, membenci sanak keluarganya. Kedengaran aneh di telinga kita.
Istilah “membenci” dalam bahasa Semit berarti tidak memihak. Kata “mengasihi” bernuansa memihak. Kalau mau menjadi muridNya harus memihak atau mengasihi Yesus.
Harus membenci saudaranya berarti tidak memihak hubungan kekerabatan, melainkan lebih mengutamakan Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah.
Kedua, memikul salib dan mengikuti Yesus. Bukan berarti kita mencari-cari penderitaan, hidup sengsara demi mengikutiNya.
Kita diajak menjadi teman seperjalanan Yesus yang memikul penderitaan kita. memikul salib harus bersama Yesus. Salib berhubungan dengan kemuliaan.
Salib tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan. Kalau salib yang kita panggul tidak sejalan dengan Yesus, bisa-bisa kita tidak menuju pada kebangkitan.
Kalau kita memikul salib jangan sendiri, tetapi bersama Yesus. Pasti akan ringan dan sampai pada kemuliaan.
Syarat ketiga adalah melepaskan harta milik. Setelah diberi gambaran tentang membuat anggaran sebelum membangun rumah dan menghitung jumlah tentara sebelum berperang, Yesus mengatakan bahwa jika orang tidak melepaskan harta miliknya, dia tidak dapat menjadi muridNya.
Mengikuti Yesus itu harus dipikir masak-masak dan dipertanggungjawabkan. Tidak cukup hanya like and dislike, sesaat dan mudah berubah menurut keadaan.
Orang harus berani menanggung resiko, mempertanggungjawabkan dan menerima konsekwensinya.
Kerajaan Allah menurut Yesus dalam perspektif Lukas adalah Kerajaan yang berpihak kepada orang miskin. Berani melepaskan harta milik untuk menolong mereka yang miskin.
Allah ditemukan dalam diri orang miskin. Jika kita berani melepaskan harta demi menolong mereka yang miskin, kita telah menuju ke arah Kerajaan Allah.
Melepaskan diri dari harta milik harus menjadi gaya hidup, bukan hanya sesekali menyumbang panti asuhan. Seperti Yesus yang langsung tergerak oleh belas kasihan kepada orang miskin dan menderita.
Sudahkah kita pantas disebut sebagai murid-muridNya, jika Yesus menuntut syarat-syarat seperti itu ?
Mabuk tuak jatuh ke parit
Basah-basah baju dan celana
Kalau kita mau menjadi murid
Harus berani memanggul salibNya
Cawas, saat mentari di ufuk
Rm. A. Joko Purwanto Pr