by editor | Apr 24, 2020 | Renungan
KETIKA diberi tugas bermisi ke Ketapang oleh Bapak Uskup, saya hanya bisa mengatakan “Ya saya siap.” Siap karena harus taat pada pimpinan.
Tetapi sesudah keluar kamar beliau, saya bingung karena belum pernah ke Kalimantan, tidak tahu medan pelayanan, tidak kenal orang-orang di sana. Apalagi mendengar cerita-cerita seram di Kalimantan, “Orang di sana makan manusia.”
Setelah menginjakkan kaki di Ketapang, hal-hal yang menakutkan itu langsung hilang. Ada begitu banyak orang yang baik dan murah hati, ramah dan suka menolong. Sejak itu saya merasa di rumah sendiri.
Medan pastoral memang berat tetapi mewartakan Injil harus dijalankan. Ada banyak umat yang merindukan kehadiran imam melayani sakramen-sakramen. Hambatan dan rintangan selalu ada. Tetapi Tuhan selalu memberi jalan mengatasinya.
Hampir sembilan tahun tak terasa. Kalau diberi tugas lagi, saya tidak akan bingung. Saya siap bukan karena taat pimpinan, tetapi karena sadar ini adalah perintah Tuhan.
Hari ini Tuhan Yesus menampakkan Diri dan mengutus para murid, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” Perintah agung ini diberikan agar iman para rasul diwariskan kepada semua orang.
Setiap orang juga menyadari tugas perutusan ini. Dimana pun kita berada, kita ini adalah misionaris. Ada banyak cara kita bermisi.
Ada yang pergi ke pelosok-pelosok daerah mewartakan Injil bagi mereka yang belum mengenal Yesus. Ada yang pergi dari keuskupan yang satu ke keuskupan yang lain, diutus untuk bermisi.
Namun ada pula yang bermisi ke dalam secara internal di tengah keluarga kita sendiri dan dalam hati kita masing-masing. Keluarga kita sendiri, hati kita ini juga perlu diberi warta Injil.
Ada areal hati kita ini yang membutuhkan sentuhan sabda Tuhan. Hati yang keras membatu, hati yang angkuh dan sombong, hati yang penuh dengan iri, dengki, dendam dan fitnah. Hati yang tidak mau mengampuni.
Realitas hati seperti itulah yang membutuhkan warta Injil. Keluarga yang baik-baik belum tentu tidak membutuhkan sentuhan Tuhan. Relasi keluarga yang dingin, hampa dan tanpa komunikasi mesra juga merupakan lahan untuk bermisi.
Hidup komunitas yang hambar dan saling mendiamkan, ini juga wilayah bermisi. Dunia yang semakin egois, persaingan dan permusuhan, ini juga membutuhkan warta Injil. Mari kita wartakan Kabar Gembira di mana pun kita berada.
Pergi ke sawah menanam semangka.
Rumput-rumput tumbuh di sampingnya.
Perintah agung diberikan kepada kita.
Wartakan Injil ke seluruh dunia.
Cawas, senja yang indah….
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Apr 23, 2020 | Renungan
KAUM ibu itu selalu saja punya aneka macam cara untuk mengolah segala sesuatu. Ketika tugas di Paroki Nanga Tayap, saya kagum dan memuji keterlibatan para ibu yang dengan sukarela mendukung berbagai macam acara: Kursus Persiapan Perkawinan, Musyawarah Paroki, Pertemuan ketua-ketua umat, forum komunikasi antar stasi dan pesta-pesta hari raya selalu diramaikan oleh ibu-ibu.
Mereka menyiapkan masakan di dapur untuk semua peserta. Mereka membawa beras, daun ubi, labu, timun, sayur-sayuran dan ikan salai dengan sukarela. Dari pengalaman, tidak pernah kekurangan, tetapi selalu berlebih. Walaupun pada awalnya tumbuh rasa kawatir dan kebingungan, namun di tangan ibu-ibu semua makan dengan kenyang dan ada sisa yang bisa dibawa pulang.
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengajar banyak orang dan Dia jatuh belaskasihan karena mereka kelaparan. Para murid-Nya kebingungan menghadapi begitu banyak orang. Mereka hanya mengeluh dan angkat bahu melihat banyaknya orang berkumpul.
“Roti seharga duaratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” Andreas melihat ada kemungkinan, “tetapi apalah artinya lima roti dan dua ikan untuk orang sebanyak ini?” Mereka tidak mampu mengatasi masalah. Angkat tangan dan tidak bisa berbuat banyak.
Yesus menyuruh mereka duduk di atas rerumputan. Rumput adalah makanan domba. Yesus sebagai gembala, sedangkan orang banyak itu adalah domba-domba-Nya. Sang Gembala menyediakan makanan untuk domba-domba-Nya.
Ia mengambil roti, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ; demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu sebanyak yang mereka kehendaki. Inilah tndakan ekaristis.
Ketika kita hanya mengeluh tentang kekurangan, kelemahan dan ketidak-mampuan, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi ketika yang kecil, sedikit itu disyukuri dan dibagi-bagikan, maka akan menjadi berkelimpahan. Yesus mengubah cara pandang kita. Anak kecil yang tak diperhitungkan, yang hanya sedikit, yang tidak dihargai dan dianggap. Jika disyukuri, maka akan menjadi besar dan berkelimpahan serta bermanfaat banyak.
Mari dengan mata batin yang jeli kita belajar menghargai, memperhitungkan serta memberi tempat bagi mereka yang kecil, lemah, miskin dan sederhana. Mereka akan membuat kita menjadi berkelimpahan penuh berkat.
Berjalan di pematang sawah melihat senja.
Bulan sudah mengintip di atas telaga.
Yesus memilih yang kecil dan hina.
Untuk menumbangkan yang sombong dan perkasa.
Cawas, hati penuh syukur…
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by editor | Apr 22, 2020 | Renungan
SANG Bima Sena disuruh gurunya mencari Tirta Pawitra Mahening Suci, “ngelmu kasampurnaning dumadi”. Ilmu itu adanya di dasar samudera. Ia harus menceburkan diri di dasar samudra.
Dengan mengalahkan naga di dasar samudera, Bima bertemu dengan Dewa Ruci, Anak bajang yang berpakaian mirip seperti dirinya. Bima diwejang apa artinya “ngelmu kasampurnaning dumadi.”
Kesempurnaan sejati itu hanya akan tercapai bila manusia sudah tidak tergantung pada panca inderanya sendiri. Jika manusia masih menggunakan daya panas matahari, desirnya angin, sejuknya air dan kaki masih berpijak di atas bumi, maka manusia belum bisa mencapai kesempurnaan hidup. Karena manusia berasal dari bumi, maka dia tak mampu mencapai kesempurnaan sejati. Hanya Allah yang Maha Sempurna.
Tirta Pawitra Mahening Suci itu perlambang atau sanepan. Tirta itu artinya air, yang arti luasnya adalah kehidupan. Dimana ada air ada kehidupan. Pawitra berarti bening.
Air yang bening akan memberi kehidupan segala makhluk. Mahening dari kata maha dan ening. Itu artinya ketentraman lahir batin. Suci artinya terhindar dari segala noda dosa.
Dalam kehidupan ini, carilah hidup yang sempurna yang bisa memberi ketentraman lahir dan batin. Jauhilah segala dosa maka hidupmu akan suci. Itulah maknanya Tirta Pawitra Mahening Suci.
Dalam perbincangan dengan Nikodemus, Yesus menjelaskan, siapa yang berasal dari bumi, termasuk pada bumi dan berkata-kata dalam bahasa bumi.
Manusia belum bisa mencapai kesempurnaan karena kakinya masih berpijak di atas bumi. Yesus datang dari atas dan berasal dari Bapa.
Ia mengatakan apa yang dikehendaki Bapa. Ia memberi kesaksian tentang apa yang dilihat-Nya. Tetapi manusia tidak bisa menerima-Nya.
Kita ini harus terus menerus mengusahakan kesucian agar dapat menerima sabda-Nya. Hanya dengan hati suci kita bisa menerima sabda Yesus. kita diajak percaya pada sabda-Nya.
Dengan percaya pada sabda Yesus, kita akan memperoleh hidup kekal. Nikodemus diajak untuk memehami kehendak Allah yang mengutus Putera Tunggal-Nya.
Ia yang rela mati untuk menebus dosa kita. Betapa besarnya kasih Allah kepada manusia sehingga Ia mengutus Putera-Nya dan mati untuk kita. Agar kita yang berasal dari dunia ini beroleh hidup kekal-Nya di surga.
Thengkleng istimewa menu makan siang.
Disajikan dengan penuh kejutan.
Yesus Kristus Sang Putera Terang.
Turun ke dunia membawa keselamatan.
Cawas, hatiku damai…..
Rm. A. Joko Purwanto Pr
by clara | Apr 22, 2020 | Artikel
Ibadat (
online) Hari Raya Jumat Agung Keuskupan Agung Semarang disiarkan secara langsung dari Kapel Wisma Uskup Keuskupan Agung Semarang dan dipimpin oleh Monsinyur Robertus Rubiyatmoko. Ibadat diawali dengan doa mohon perlindungan dari wabah virus corona yang dibuat oleh Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang kemudian dilanjutkan dengan pemberitahuan petunjuk praktis ibadat (
online) Hari Raya Jumat Agung kepada umat. Ketika homili, Uskup Agung Semarang mengatakan bahwa “sendirian” adalah sebuah kata yang secara sederhana melukiskan pergulatan Yesus pada akhir kehidupan-Nya. Seuah keputusan bebas dan merdeka yang menyeret Yesus pada kematian di kayu salib. Yesus menanggung sendirian oleh karena orang-orang dekatnya lari meninggalkan-Nya untuk mencari aman dan selamatnya sendiri.
“Mungkinkah ini menjadi gambaran kita yang kadang-kadang melarikan diri ketika ada masalah menghadang kita? Atau ketidakpedulian kita ketika ada teman atau saudara yang mengalami kesulitan?” kata Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko. Orang- orang dekat itu adalah para murid Yesus. Yesus sendirian berjuang untuk mempertahankan diri dan hanya Bunda Maria dan perempuan lain yang setia mengikuti Yesus sejak dari rumah Pilatus sampai Golgota bahkan setia sampai wafat-Nya.
Ia mengatakan bahwa ini adalah pengalaman yang meneguhkan dari seorang ibu terhadap anaknya. Yesus hanaya menerima olok-olok dan cacimaki dengan sendirian dan menanggung penderitaan sendirian. Yesus memanggul salib ke Golgota dengan sendirian. Puncak kesendirian Yesus nampak ketika Yesus berseru “Allahku! Allahku! Mengapa Engkau meninggalakan Aku?” sebuah jeritan yang mengungkapkan kesendirian yang mendalam. Justru di saat akhir kehidupan-Nya, Yesus merasa bahwa Allah meninggalkan-Nya dan tidak peduli dengan Yesus. Tetapi Yesus tetap bertahan sampai akhir ketika harus wafat di kayu salib. Semua Yesus terima dan jalani sendirian dengan penuh ‘legawa’, merdeka, dan bebas. Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko menjelaskan bahwa malam sebelumnya sudah direnungkan bahwa hal ini adalah ungkapan kasih yang total dan tulus dari Yesus pada manusia yang berdosa. Yesus ingin melaksanakan kehendak Bapa-Nya yakni menyelamatkan umat manusia yang berdosa. Dosa dan kelemahan kitalah yang ditanggung Yesus sampai menderita dan wafat di kayu salib sehingga kita mengalami keselamatan dan penebusan-Nya. Kematian Yesus menjadi sumber kehidupan bagi manusia yang beriman.
“Pantaslah pada saat ini ketika kita mengenangkan kembali bagaimana Yesus menderita dan wafat di kayu salib. Kita menghaturkan syukur dan terimakasih pada Tuhan yang berkorban hanya untuk keselamatan manusia.” katanya. Yesus telah memberikan teladan bagaimana Ia menjalani tugas panggilan dengan penuh tanggung jawab dan kesetiaan sampai akhir dan membutuhkan pengorbanan yakni hidup-Nya sendiri.
Belajar dari Yesus, kita dipanggil untuk memanggul salib kehidupan kita masing-masing dan menjalani tugas panggilan masing-masing dengan penuh kesetiaan sampai akhir entah sebagai room, bruder, suster, seminaris, orang tua, pasangan, anak, entah bekerja, entah belajar. Bagaimana kita menanggung panggilan kita masing-masing dengan penuh kesetiaan sampai akhir seperti sebagai orang katolik, ketika menghadapi banyak tantangan dan kesulitan, dicibir, dicemooh, ditolak, bahkan mungkin dicelakai. Satu hal yang menjadi keyakinan kita seperti Yesus, yaitu kita tidak akan pernah sendirian karena Allah Bapa akan menyertai kita mendampingi kita membopong dan membantu kita sehingga kita dapat menyelesaikan panggilan sampi akhir.
Peristiwa sengsara dan wafat Yesus adalah peristiwa penuh warna karena kita mengalami keselamatan dan ditebus dari dosa-dosa kita. Bapak Uskup mengajak kita untuk selalu bersyukur atas anugerah peristiwa sukacita dan gembira ini karena Tuhan rela menjadi penebus dan penyelamat bagi kita semua. Tak lupa juga dalam kebersamaan seluruh umat di dunia, kita diajak untuk menyampaikan doa syukur dan permohonan kepada Allah untuk kepentingan umat manusia, umat gereja, dan kita bersama.
Live Streaming ini adalah bentuk usaha dari Keuskupan Agung Semarang untuk seluruh umat. Semoga apa yang telah diupayakan dapat membantu kita semua untuk semakin bersyukur kepada Tuhan. Marilah kita memaknai peristiwa ini dengan sungguh-sungguh dan berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Kita harus berusaha untuk menyikapinya dengan bijaksana dan penuh ketaatan kepada Pemerintah dan Gereja. Semoga dengan doa-doa kebersamaan kita dan seluruh dunia, segala hal yang meghambat akan segera berlalu.
Demikianlah pesan-pesan yang disampaikan oleh Bapak Uskup pada saat Ibadat Jumat Agun tahun 2020. Semoga pesan ini dapat kita renungkan dan kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari kita.
by editor | Apr 21, 2020 | Renungan
DATANG pertama di Camp Tigal disambut dengan musim keriang. Keriang adalah nama binatang semacam belalang. Bentuknya seperti garengpung, tetapi suaranya memekakkan telinga.
Ia datang pada waktu malam, menyerbu cahaya lampu. Jumlahnya bisa ribuan. Orang-orang menangkapnya dan memotong bulu, kaki dan kepalanya, lalu digoreng menjadi lauk lezat. Lain waktu muncul “laron” atau anai-anai.
Sehabis hujan pertama mereka muncul. Binatang ini juga mencari cahaya. Kita siapkan lampu teplok dan tampah. Mereka akan menyerbu dan mengerumuni cahaya.
Kita tinggal “ayak” dengan tangan, semua bulunya rontok. Lalu dicuci dan digoreng dengan telur. Hmmm …. nyaman sekali. Tapi awas, kalau alergi bisa “biduren” atau gatal-gatal.
Binatang-binatang ini datang hanya untuk memberi kehidupan. Mereka mengorbankan dirinya untuk burung, kelelawar, tokek, cicak dan juga manusia.
Sekali muncul sesudah itu mati demi kehidupan yang lain. Mereka senang kepada cahaya karena hidup mereka demi kebaikan.
Mereka keluar dari tanah, terbang mencari terang/cahaya dan kemudian mati demi kehidupan yang lain. Mereka mengorbankan diri demi keselamatan makhluk.
Begitu juga kasih Allah kepada manusia. “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Allah mengorbankan Putera Tunggal-Nya untuk keselamatan manusia.
Allah-lah yang lebih dahulu mengasihi manusia. Manusia yang jatuh dalam kegelapan dosa tidak mampu menyelamatkan dirinya. Allah berinisiatif menyelamatkan kita.
Maka Ia mengorbankan Putera Tunggal-Nya untuk kita. Kasih itu terwujud dalam pengorbanan. Keriang dan anai-anai atau “laron” itu mengorbakan hidupnya demi keselamatan yang lain. Yesus mati di salib demi kehidupan kita.
Kita ini “dibela-belain” sampai mati oleh Yesus. Allah membela kita, bukan kita yang membela Allah. Maka marilah hidup dengan kasih dan sukacita.
Marilah kita juga berani berkorban demi orang lain. Kasih yang dibagikan tidak akan hilang, tetapi justru akan makin berkembang. Kasih akan nampak dalam pengorbanan-pengorbanan kita.
Ayam goreng di kulkas sungguh merana.
Dingin membeku tak ada yang membuka.
Kasih Allah kepada manusia begitu nyata.
Yesus dikurbankan dan mati bagi kita.
Cawas, tetap di rumah aja….
Rm. A. Joko Purwanto Pr