Puncta 18.09.20 / Lukas 8:1-3 / Swarga Nunut Naraka Katut

 

“KALAU aku disuruh ikut ke neraka ya sorry lah, perempuan zaman sekarang independen, mandiri dan bisa menentukan kehidupan,” kata Anisa.

“Aku ingin punya suami yang bisa membawa kepada kebahagiaan lah, masak milih suami yang gak punya kerja, cuma main judi, mabuk-mabuk, pengangguran,” sahut Angel. “Laki-laki macam gitu mah cuman ngajak ke neraka, sorry ya.”

“Adagium atau pepatah Jawa itu merugikan perempuan. Itu bagian dari penjajahan laki-laki (suami) terhadap wanita (istri). Surga (kebahagiaan) ditentukan oleh suami dan istri, bukan monopoli sang suami. Istri juga bisa menentukan surganya sendiri. Itu pepatah kuno yang harus ditinggalkan. Suami istri punya hak yang sama untuk menentukan nasibnya,” protes si Martha.

Perempuan tidak boleh dipandang sebelah mata sebagai “kanca wingking” atau orang yang di belakang. Zaman dulu perempuan dianggap tidak punya suara, tidak berhak memutuskan sesuatu. Ia harus ikut keputusan laki-laki atau suami.

Perempuan zaman sekarang independen, merdeka, mandiri. Ia punya hak yang sama dengan laki-laki. Ia berhak menentukan nasibnya sendiri.

Perempuan sekarang adalah mitra, partner, teman sekerja dan senasib dengan laki-laki atau suami. Kebahagiaan dicapai dan diusahakan bersama. Laki-laki dan perempuan saling membantu dan melengkapi.

Dalam karya-Nya, Yesus melibatkan para murid dan beberapa wanita. Selain keduabelas rasul yang adalah lai-laki, ada beberapa wanita ikut menyerta-Nya, yakni; Maria yang disebut Magdalena, Yohana istri Khuza, bendahara Herodes, Susana dan masih banyak lagi yang lain. Mereka melayani seluruh rombongan dengan harta kekayaan mereka.

Para wanita itu ikut terlibat dalam karya Yesus. Bahkan Yesus menampakkan diri setelah bangkit justru kepada para wanita. Pewarta pertama tentang kebangkitan adalah wanita.

Jadi para wanita itu adalah penentu, pewarta, bukan “kanca wingking” atau hanya “nunut atau ngatut” saja. Jangan sekali-kali menganggap rendah, remeh para wanita. Kalau mereka dilibatkan, dahsyat jadinya……

Siang-siang memanjat pohon kelapa.
Kelapa muda sungguh segar airnya.
Jika kita mau menghormati para wanita.
Beri mereka hak untuk menentukan hidupnya.

Cawas, diberi handuk bergambar anggrek…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 17.09.20 / Fantine, Gadis Pujaan Sang Walikota / Lukas 7:36-50

MENURUT Victor Hugo, Pengarang Les Miserables, gadis cantik ini lahir di Montreuil-sur-Mer tahun 1796. Ia berpacaran dengan seorang mahasiswa kaya, Felix Tholomyes. Namun sayang, Fantine ditinggal sendirian ketika dia hamil. Ia menitipkan anaknya, Cossete kepada keluarga Thenardier agar dapat bekerja untuk membesarkannya. Thernardier ini jahat. Ia memeras Fantine untuk selalu mengirim uang. Ia bekerja di pabrik milik Sang Walikota. Tetapi oleh mandornya, dia diketahui punya anak di luar nikah. Maka Fantine dipecat. Kesulitan hidup semakin menjeratnya. Ia menjual rambutnya yang indah dan giginya yang putih kemilau. Namun semua itu tak mampu memenuhi kebutuhannya. Akhirnya ia melacurkan diri di jalan.

Ia ditangkap polisi dan dijatuhi denda. Sang walikota, Jean Valjean tahu tentang kasusnya. Ia membebaskan Fantine dan merawatnya di rumah sakit amal. Ditumpahkannya semua nasib dan penderitaan kepada Jean Valjean. Mulai saat itu sang walikota jatuh belaskasihan kepadanya.

“Aku ingin hidup bersama putriku. Dialah satu-satunya harta milikku. Tolong jagalah dia” kata Fantine kepada Valjean ketika mereka duduk makan bersama di taman rumah sakit. “Aku akan menjemput Cossete dan membawanya kepadamu” kata Valjean. Namun hal itu tidak terjadi karena Fantine meninggal oleh sakit TBC yang parah. Valjean membawa Cossete ke Paris dan membesarkannya di sekolah asrama susteran. Cossete tumbuh menjadi gadis cantik. Ia menyebut Valjean sebagai papanya.

Yesus datang ke pesta di rumah orang Farisi. Seorang wanita yang terkenal sebagai pendosa datang membawa minyak wangi. Ia mencium dan meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya. Di depan Yesus, ia menangis menyesali dosa-dosanya. Yesus berkata, “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, karena ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni,sedikit pula ia berbuat kasih.”

Perbuatan kasih akan membawa berkah. Semakin banyak berbuat kasih, semakin berkahnya melimpah. “Dosamu sudah diampuni” kata Yesus. Wanita berdosa itu menunjukkan kasihnya yang tulus kepada Yesus. Ia seperti orang yang berhutang banyak dan dibebaskan oleh Tuhan. Maka balasan kasihnya juga lebih besar.

Kita adalah orang yang berhutang kepada Tuhan. Semakin besar hutang kita semakin besar pula balasan kita kepada-Nya, karena semua hutang dihapuskan Tuhan.

Satu jam menikmati bakso dua.
Masih ditambah telur puyuh tiga.
Kasih Tuhan melebihi dosa kita.
Mari kita membalas belaskasih-Nya.

Cawas, satu jam saja….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 16.09.20 / PW. St. Kornelius, Paus dan St. Siprianus, Uskup dan Martir / Lukas 7:31-35

 

Abunawas dan Keledai

SUATU kali Abunawas dan anaknya pergi ke pasar mau menjual keledainya. Mereka berjalan bersama menggiring keledai. Ada orang berkomentar, “Mengapa keledai itu tidak ditunggangi?”

Abunawas menyuruh anaknya naik ke punggung keledai. Ibu-ibu menegur si anak, “Anak tidak sopan, orangtua disuruh berjalan, dia sendiri enak-enak naik keledai.” Si anak kemudian turun dan menyuruh bapaknya naik keledai.

Masih juga ada yang berkomentar, “Bapak tidak kasihan sama anak. Dia duduk enak,sedangkan anaknya harus berjalan menuntun keledai.” Abunawas bingung. Ia minta anaknya ikut naik ke punggung keledai.

Keledai itu berjalan tertatih-tatih. Para “blantik” (penjual hewan) geleng-geleng kepala. “Bagaimana keledai akan laku dijual kalau tidak sehat karena kelelahan?” Akhirnya Abunawas dan anaknya memikul keledainya menuju ke pasar hewan.

Yesus juga kebingungan menghadapi orang-orang sezaman-Nya. “Dengan apakah akan Kuumpamakan orang-orang dari angkatan ini? Mereka sama dengan anak-anak yang duduk di pasar dan berseru-seru, “Kami meniup seruling bagimu, tetapi kalian tidak menari. Kami menyanyikan kidung duka, tetapi kalian tidak menangis.”

Kehadiran Yohanes Pembaptis sebagai nabi, yang tidak makan, tidak minum anggur dianggap kerasukan setan. Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum. Orang-orang menyebut-Nya sebagai pelahap, peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.

Yesus menyebut mereka itu seperti anak-anak yang duduk di pasar. Anak-anak itu pikirannya masih plin-plan. Mudah diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain. Anak-anak belum bisa menentukan keyakinannya sendiri. Anak-anak lebih tertarik pada apa yang sedang tenar, bukan apa yang benar. Kalau senang diikuti, tetapi kalau tidak senang ditinggalkan. Hanya ikut maunya sendiri.

Yohanes Pembaptis datang membawa kebenaran. Cara hidupnya penuh askese dan matiraga. Ia ditolak. Yesus datang membawa keselamatan. Tetapi mereka tidak mempercayai-Nya.

Mereka lebih senang dengan nabi-nabi palsu yang menina-bobokan kepercayaan mereka. Nabi-nabi yang sukanya memecah belah dan memfitnah. Nabi seperti Yohanes Pembaptis atau Yesus tidak laku bagi mereka.

Sungguh nikmat makan buah rambutan.
Dapat buah ace malah disimpan-simpan.
Tidak mudah jadi pewarta kebenaran.
Akan ditolak dan ditentang habis-habisan.

Cawas, makan buah ace….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 15.09.20 / PW. St. Perawan Maria Berdukacita / Yohanes 19:25-27 atau Lukas 2:33-35

 

“Ibu”

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ‘ku membalas. Ibu….

Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa ‘ku membalas. Ibu…..

LIRIK lagu Iwan Fals ini mau menggambarkan kasih seorang ibu yang penuh derita dan pengorbanan. Ibarat pepatah, “kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah,” kasih seorang ibu tak akan terbalas oleh apa pun. Kasihnya seperti udara yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya.

“Jangan pernah meremehkan kasih dan pengorbanan wanita atau seorang ibu” kata Mimin dengan wajah serius. “Kasih dan pengorbanan seorang ibu itu mulai dari terbitnya matahari sampai terpejamnya mata suami. Coba bayangkan, pagi-pagi buta sudah masak, memandikan anak, siapkan baju, mengantar sekolah, bekerja seharian di rumah, malam-malam sudah capek, suami minta jatah. Ya, harus mau, tidak boleh wegah, wong itu sudah tugasnya istri solehah…..” katanya disambut gelak tawa penonton.

“Begitu saja masih ada suami yang suka jajan. Goleki awake dewe ya Lik…” kata Apri menimpali. Penonton yang kebanyakan laki-laki bersorak gemuruh seolah mengiyakan kata-kata mereka.

Dalam Injil yang kita dengarkan untuk menghormati Maria yang berdukacita, kita melihat sosok Maria yang ikut menderita bersama Puteranya di kayu salib.

Maria kehilangan segala-galanya. Anak tunggal satu-satunya mati di pangkuannya. Seperti yang diramalkan oleh Simeon, “suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” menjadi nyata ketika Maria mengikuti penderitaan Yesus sampai di Golgota.

Seorang ibu pasti tidak menginginkan buah hatinya menderita. Bahkan tergores luka sedikit pun jangan. Seorang ibu hanya ingin melihat kebahagiaan anaknya. Suara tangisnya tak terdengar, tetapi hatinya pilu melihat penderitaan anaknya.

Tetapi Maria menjadi teladan teguhnya iman dan kokohnya pendirian. Sekali mengatakan iya, ia tidak mundur selangkah pun. “Aku ini hamba Tuhan.” Jawaban itu menjadi awal dimulainya pengorbanan dan dukacita Maria. Ia menjadi teladan iman bagi semua ibu.

Ketika kita sedang berduka oleh beratnya hidup, kita punya seorang ibu, yakni Maria. Ia tidak akan tega kita, anak-anaknya menderita. Datang dan berdoalah kepada Bunda Maria. Pasti kita ditolongnya.

Sekolah mundur karena corona.
Pelajaran daring bikin pusing orangtua.
Maria Bunda yang berdukacita.
Tolonglah kami yang masih berjuang di dunia.

Cawas, pelajaran tertunda….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 14.09.20 / Pesta Salib Suci / Yohanes 3:13-17

 

“Borobudur dan Pengosongan Diri”

MENIKMATI Borobudur bukan hanya melihat batu, patung, ukiran, candi atau stupa. Mengagumi Borobudur berarti melihat nilai kehidupan, ajaran, prinsip-prinsip, wejangan atau nasehat bagi hidup manusia.

Melihat Borobudur seperti membaca sebuah kitab tentang tahap-tahap hidup manusia sampai mengalami “manunggaling kawula Gusti.” Tahap pencerahan karena manusia bersatu dengan yang ilahi.

Ada tiga tataran kehidupan yang terpahat di dinding candi Borobudur. Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Kamadhatu berada di tataran paling bawah meliputi hawa nafsu manusia.

Rupadhatu adalah akal budi manusia yang mencari kebahagiaan. Arupadhatu berada di tataran paling tinggi, yang digambarkan dengan stupa yang di dalamnya hampa, kosong, tak berwujud.

Manusia yang sudah menemukan pencerahan hidup, ia mengosongkan dirinya. “Manunggaling kawula Gusti” tercapai jika manusia berhasil menanggalkan segala amarah, ambisi, hawa nafsu dan akal pikirannya. Mirip dengan pandangan Freud tentang ego, superego dan Id.

Makna Borobudur tidak hanya tentang karya adiluhung, ukiran batunya yang indah, candinya yang megah, bagian dari keajaiban dunia. Tetapi nilainya terletak di dalam ajaran, filosofi, prinsip-prinsip, pedoman hidup menuju kesempurnaan.

Melihat atau membicarakan Borobudur semestinya orang mampu bercermin tentang peziarahan hidup menuju kesempurnaan. Orang diajak sampai ke taraf Arupadhatu dengan mengosongkan dirinya agar bisa menemukan keselamatan.

Pembicaraan Yesus dengan Nikodemus adalah pembicaraan tingkat tinggi dan mendalam. Yesus mengajak Nikodemus untuk menemukan keselamatan dan kesempurnaan hidup.

Kesempurnaan hidup itu diperoleh dengan percaya kepada Anak Manusia yang ditinggikan. Seperti Musa meninggikan ular, begitu pula Yesus ditinggikan di kayu salib.

Salib adalah tempat pengosongan, pengorbanan. Berkorban itu meninggalkan taraf Rupadhatu (Wujud) menuju Arupadhatu (tak berwujud).

Manusia ingin naik ke atas. Allah mengosongkan Diri dengan turun ke bawah menjadi manusia. Supaya manusia bisa naik ke atas, maka Allah turun menjadi manusia.

Di dalam salib, manusia Yesus dinaikkan (ditinggikan) dan Putera Allah diturunkan. Di dalam salib bertemulah “manunggaling kawula Gusti.”

Keselamatan ada didalam salib Yesus. Salib tanda pengosongan diri. Allah mengutus Anak-Nya untuk menyelamatkan dunia. Salib adalah keselamatan kita.

Bersepedaria menuju waduk Wonogiri.
Panas menyengat diterpa matahari.
Marilah kita mengosongkan diri.
Agar mampu menuju kepada Yang Ilahi.

Cawas, mancing ide…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr