Puncta 12.03.21 / Markus 12:28b-34 / Dalang Ki Seno Nugroho

 

SEBELUM Ki Seno dipanggil Tuhan, dia sempat ditanggap memainkan wayang secara live streaming dalam rangka HUT Paroki Pekalongan. Lakon yang disuguhkan adalah “Semar mbangun Jiwa.”

Kisahnya demikian, Sitija, anak Kresna memprovokasi Antareja, anak Werkudara. Menurut Sitija, para Pandawa atau orangtua mereka tidak adil alias pilih kasih. Anak yang diagung-agungkan hanya Gatotkaca. Mereka iri hati dan marah.

Dibantu Sengkuni dan Durna yang punya niat menghancurkan Pandawa, mereka melawan orangtua sendiri. Mereka menyerbu Ngamarta. Perang antar saudara terjadi.

Karena para Pandawa sedang diwejang Semar di Karang Kadempel, mereka mau menghancurkan Padepokan Semar sekaligus. Tetapi Semar seorang yang bijaksana.

Dengan kekuatannya sebagai dewa yang menjelma, Semar membuat mereka lumpuh. Pada saat itulah Semar menjabarkan ajaran cintakasih.

Ki Seno melalui Semar mengupas tentang Sepuluh Perintah Allah. Sepanjang tiga jam pertunjukan itu Ki Seno membius kita dengan ajaran Yesus.

Sepuluh menit terakhir ia menjabarkan tentang ajaran cintakasih. Coba perhatikan jam pertunjukan mulai dari 3.02.00 sampai selesai.

Puncak ajaran kasih itu dijabarkan pada 03.04.05. ia mengutip sabda Yesus “Kasihilah Tuhan Alllahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu. Dan perintah kedua ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Kalau Didi Kempot, pada akhir hidupnya menyumbangkan 7 milyar rupiah lebih dari hasil konser amalnya bagi korban pandemi covid19. Tiga hari setelah menjabarkan ajaran cintakasih, Ki Seno menghadap Sang Khalik. Ia mewariskan ajaran Yesus itu kepada kita semua.

Yesus mengajarkan hukum yang terutama yakni mengasihi Tuhan dan sesama. Kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama itu adalah satu dan sama.

Kasih kepada sesama adalah perwujudan dari kasih kepada Allah. Kasih kepada Allah adalah sumber dalam mengasihi sesama.

Kalau kita tidak bisa mengasihi sesama yang nampak nyata di sekitar kita, bagaimana kita bisa mengasihi Allah yang tidak nampak? Mari kita terus mewujudkan kasih itu dalam hidup sehari-hari.

Pergi ke sendang dan taman doa.
Sujud syukur kepada Bunda.
Mengasihi Tuhan dan sesama,
Adalah spirit hidup iman kita.

Cawas, selalu bahagia….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 11.03.21 / Lukas 11: 14-23 / Devide Et Impera

 

AWAL Februari 2021, Junta militer pimpinan Jendral Min Aung Hlaing mengambil alih kekuasaan dari tangan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi. Rakyat menentang dan jatuhlah kurban hingga hampir 50 orang tewas. Sampai sekarang masih terjadi demonstrasi di Myanmar.

Kudeta juga pernah terjadi di Mesir tahun 2013, dan di Pakistan Jendral Perves Musharraf menjatuhkan pemerintahan sipil PM Nawaz Sharif. Sebelumnya Jendral Zia Ul-Haq menjatuhkan PM Zulfikar Ali Butto.

Saling menjatuhkan dalam dunia politik itu hal yang biasa. Ada yang dengan cara demokratis, tetapi ada juga dengan kekerasan kudeta.

Nicollo Machiavelli pernah berkata, bagaimana cara memperoleh kekuasaan, “Lakukan dengan segala cara.” Zaman kolonial Belanda dulu memakai politik Devide et Impera untuk menjajah Nusantara.

Pecah belah dan kuasai, itulah yang dilakukan penjajah. Misalnya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang memecah Mataram menjadi dua bagian.

Bagian timur Kali Opak, wilayah Prambanan ke timur dikuasai Sunan Pakubuwana III berkedudukan di Surakarta. Bagian barat Kali Opak diserahkan ke Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) memerintah di Yogyakarta.

Dengan wilayah yang terpecah-pecah itu VOC semakin diuntungkan karena dapat mengontrol daerah jajahan dan Belanda punya kekuasaan yang semakin kuat mencengkeram Tanah Jawa.

Ada orang yang mengkritik Yesus bahwa Dia menggunakan kuasa Beelzebul, si penghulu setan untuk mengusir setan.

Yesus memberi gambaran, “Setiap kerajaan yang terpecah-pecah pasti binasa, dan setiap rumah tangga yang terpecah-pecah pasti runtuh. Jikalau iblis itu terbagi-bagi dan melawan dirinya sendiri, bagaimana kerajaannya dapat bertahan?”

Kuasa Yesus berasal dari Allah, bukan dari setan. Bagaimana setan bisa melawan setan, itu namanya kudeta, atau politik devide et impera.

Yesus datang dari Allah. Ia tidak menghancurkan, tetapi menyelamatkan. Itulah tanda hadirnya Kerajaan Allah.

Mari kita mengikuti Yesus menghadirkan Kerajaan Allah. Tanda kehadiran Allah yakni damai, sukacita, rukun bersatu, saling mengasihi, selamat jadi berkat untuk dunia sampai akherat.

Ke Kaliurang membeli jadah,
Campur tempe bacem enak sekali.
Jangan pernah mau dipecah belah,
Bangunlah kerukunan saling menghargai.

Cawas, pagi yang cerah…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 10.03.21 / Matius 5: 17-19 / Bukan Meniadakan, Tetapi Menggenapi

 

DALAM sebuah tim sepakbola, tidak hanya dibutuhkan sebelas pemain, tetapi perlu ada pemain lapis kedua atau cadangan.

Jika terjadi cedera pemain, kesebelasan itu tetap utuh kecuali kalau ada yang kena kartu merah. Pemain cadangan bukan berarti kalah kualitas dari pemain utama, ia menggenapi jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Ia sama pentingnya dengan pemain lapis atas.

Di Real Madrid ada Casimero. Di Barcelona ada Sergi Roberto. Barcelona memang punya gelandang bertahan yang baik; Andres Iniesta, Sergio Busquets, Rafinha.

Sejak Dani Alves pindah, Sergi Roberto digeser ke kanan menggantikannya. Ia melengkapi posisi Jodi Alba di kiri untuk memberi assist kepada Leonel Messi dan penyerang lain di depan.

Mereka bekerjasama untuk saling melengkapi dan mengisi di posisinya masing-masing.

Yesus berkata, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”

Seperti permainan sepakbola, asalkan kita bermain baik dan mengikuti peraturan pasti akan berhasil. Namun jika permainan kita curang, keras atau kasar, kita akan dikeluarkan dengan kartu merah.

Yesus juga mengajarkan demikian. Jika kita meniadakan salah satu perintah – artinya tidak ikut aturan bermain – akan mendapat tempat paling rendah yakni dikeluarkan dari lapangan. Tidak mendapat tempat dalam Kerajaan Surga.

Sebaliknya, kalau kita melakukan dan mengajarkan segala perintah Taurat, akan mendapat tempat yang tinggi dalam Kerajaan Surga. Jika orang bermain baik akan jadi top of the match.

Kitab Taurat itu sudah baik. Yang perlu digenapi oleh Yesus adalah pelaksanaannya. Keteladanan dari ajaran-ajaran itu yang harus disempurnakan.

Seperti dulu kita punya Pedoman Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pedomannya sudah baik. Yang belum sempurna itu pelaksanaan dan pengamalannya.

Tidak cukup hanya pengajaran, penataran P4, tetapi yang lebih penting adalah pelaksanaan dan pengamalannya.

Yesus datang untuk menggenapi yakni dengan pengamalan. Ia melaksanakan apa yang diajarkan-Nya.

Kita pun tidak cukup hanya tahu dan hapal Kitab Suci. Tetapi lebih dari itu adalah mengamalkan dan menghayatinya.

Kalau demikian maka genaplah isi Kitab Suci itu. Mari kita menggenapi isi Kitab Suci dengan mengamalkan teladan Yesus sendiri.

Kalau pintu rumah sedang terkunci.
Kita harus bisa membuka jendela.
Tidak cukup hanya hapal Kitab Suci.
Lebih penting mengamalkan isinya.

Cawas, menjaga harapan…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 09.03.21 / Matius 18:21-35 / Dendam Sejarah

 

TAHUKAH anda mengapa sebelum ini tidak ada nama Jalan Gajahmada, Jalan Hayam Wuruk atau Jalan Majapahit di Tatar Sunda? Sebaliknya juga tidak ada Jalan Siliwangi, Jalan Sunda, Jalan Pajajaran di wilayah Jawa Timur atau Jawa Tengah?

Belum lama ada Jalan Majapahit di Kota Bandung yang terletak di sisi barat Lapangan Gasibu. Sementara Jalan Hayam Wuruk mengganti nama Jalan Cimandiri yang ada di sisi barat Gedung Sate.

Pada 3 Oktober 2017, secara resmi nama Jalan Pajajaran, Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Majapahit dipakai untuk memberi nama Ring Road di Yogyakarta.

Untuk melanjutkan rekonsiliasi ini, pada 6 Maret 2018 diresmikan pula nama Jalan Sunda dan Jalan Prabu Siliwangi di Kota Surabaya, Jawa Timur.

Sepanjang enam abad lebih tersimpan dendam kolektif yang diwariskan secara turun temurun. Hal ini diawali dengan peristiwa Bubat tahun 1357.

Waktu itu, Hayam Wuruk sebagai raja muda di Majapahit ingin melamar Putri Pajajaran, Dyah Pitaloka. Gajah Mada diutus ke Pajajaran. Akhirnya disetujui rombongan Linggabuana dan Dyah Pitaloka pergi ke Majapahit. Mereka membuat pesanggrahan di daerah Bubat.

Entah bagaimana duduk perkaranya, bukan perkawinan yang terjadi, tetapi mereka harus menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan kepada raja Majapahit. Terjadi salah paham dan perdebatan tanpa ujung. Perang tak bisa dielakkan. Linggabuana dan para prajurit dibunuh. Peristiwa ini melekat sebagai dendam sejarah.

Gubernur Ahmad Heryawan waktu itu berkata, ”Penamaan jalan tersebut menjadi langkah awal rekonsiliasi antara Sunda dan Jawa. Ini merupakan langkah konkrit anak bangsa untuk semakin memperkuat harmonisnya kebhinekaan di NKRI.”

Dalam Injil hari ini, Yesus ditanya Petrus, “Sampai berapa kalikah aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus menjawab, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”

Dendam sejarah bisa membelenggu suatu bangsa. Kita tidak bisa maju dan hidup rukun damai kalau selalu dihantui dendam kolektif. Akan selalu muncul syak prasangka buruk, balas dendam tak berkesudahan.

Pengampunan dan rekonsiliasi harus dilakukan. Kita harus berani rendah hati dan jujur mengampuni.

Tindakan simbolik para gubernur di Jawa itu adalah upaya rekonsiliasi atas dendam sejarah yang berlangsung lama. Pengalaman masa lalu menjadi pelajaran berharga untuk menatap masa depan bersama yang lebih baik sebagai suatu bangsa.

Indahnya matahari di waktu pagi.
Bersinar cemerlang bagai bidadari.
Mari kita terus dan terus mengampuni.
Biar hidup menjadi lebih heppi…

Cawas, terus menanti….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 08.03.21 / Lukas 4: 24-30 / Jangan Pernah Menyerah

 

NANCY EDISON sejenak terkejut ketika membaca surat dari guru kelas dimana anaknya belajar. Tulisan guru itu berbunyi, “Tommy, anak ibu, sangat bodoh. Kami minta ibu untuk menariknya dari sekolah.”

Nancy terhenyak sejenak. Namun ia kemudian menguatkan hatinya, “Anak saya, Tommy, bukan anak yang bodoh. Saya sendiri yang akan mengajar dan mendidik dia.”

Tommy kecil yang dinilai bodoh itu adalah Thomas Alva Edison, sang penemu lampu pijar, yang menerangi seluruh kota New York. Ia menemukan fonograf, mesin perekam suara yang kemudian dikembangkan menjadi piringan hitam. Ia juga menemukan kinetoskop, awal mula dari proyektor, pemutar film. Ada 1.093 hak paten hasil temuannya.

Anak yang dinilai bodoh dan dungu di kelas itu, oleh Nancy, ibunya dididik dengan sabar di rumah. Ibunya tidak marah anaknya dianggap bodoh. Ia tidak putus asa mendampingi anaknya.

Karena didikannya, Thomas Alva Edison menjadi anak genius yang oleh hasil penemuannya mampu mengubah dunia.

Berbeda dengan sikap Nancy, orang-orang Nasaret itu marah ketika Yesus mengatakan, “Tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” Mereka tidak terima. Mereka bangun, menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, untuk melemparkan Dia dari tebing itu.

Yesus mengkritik sikap mereka yang tidak mau percaya kepada-Nya. Yesus menohok mereka dengan pengalaman Nabi Elia dan Nabi Elisa.

Nabi-nabi itu justru membuat mukjijat bagi orang-orang bukan Israel. Seorang janda di Sarfat, dekat Sidon dan Naaman orang Siria.

Di Nasaret pun Yesus juga tidak banyak membuat mukjijat karena ketidakpercayaan mereka.

Memang sulit menerima kritikan. Kita tidak senang jika ada orang menilai kelemahan kita. Namun jika kita mau introspeksi diri, menerima dengan legowo, serta mau bangkit berjuang, pasti ada berkat yang luar biasa. mukjijat bisa terjadi.

Nancy Edison itu tidak marah dan putus asa. Ia tegar dan bangkit mendidik anaknya. Thomas Alva Edison menjadi penemu penting yang mempengaruhi dunia sampai sekarang.

Andai orang-orang Nasaret itu tidak marah dan menolak Yesus, pasti ada banyak mukjijat terjadi di sana.

Mari kita belajar rendah hati, mendengarkan masukan dan kritikan orang. Tidak putus asa jika kita punya kelemahan, tetapi bangkit teguh berjuang.

Jika kelemahan bisa diubah menjadi kekuatan, maka kegagalan itu hanyalah keberhasian yang tertunda.

Sungguh segar minum sereh dan jeruk.
Ditambah lagi dengan sesendok madu.
Jangan mudah putus asa dan terpuruk.
Kritikan adalah cambuk untuk maju.

Cawas, bulan jarang nampak….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr