Puncta 16.03.22 || Rabu Prapaskah II – Matius 20: 17-28

 

Tulah Keris Mpu Gandring

KEKUASAAN atau tahta bisa menggoda setiap orang. Demi kuasa, orang bisa melakukan apa saja; menjegal, menyuap, menciptakan intrik, hoax dan fitnah, bahkan saling bunuh membunuh.

Karena kekuasaan, kawan bisa menjadi lawan, sahabat bisa jadi musuh berat.

Kisah keris Mpu Gandring bisa menjadi cermin bagaimana kekuasaan menelan banyak korban.

Ken Arok mendengar dari Resi Lohgawe, bahwa barang siapa memperistri Ken Dedes yang cantik, dia akan menjadi raja dunia.

Waktu itu Ken Dedes adalah permaisuri di Tumapel, istri dari Tunggul Ametung. Ken Arok adalah orang kepercayaan Tunggul Ametung.

Ken Arok berniat membunuh Tunggul Ametung dan mengambil Ken Dedes sebagai istrinya.

Ia memesan sebuah keris sakti kepada Mpu Gandring dalam waktu singkat. Mpu Gandring menyanggupi, namun warangka (sarung) belum selesai.

Ken Arok marah, karena terburu waktu, ia menyarungkan keris ke tubuh Mpu Gandring. Mpu Gandring mati oleh keris buatannya sendiri.

Mpu Gandring mengutuk bahwa keris itu akan memakan kurban tujuh turunan.

Kebo Ijo tertarik melihat keris Ken Arok. Ia meminjamnya dan dipamerkan kepada kalayak ramai. Ken Arok sengaja meminjamkan dengan tujuan supaya niat jahatnya tidak diketahui.

Orang mengira itu kerisnya Kebo Ijo. Pada saat yang tepat Ken Arok membunuh Raja Tumapel dan mengambil Ken Dedes.

Semua orang menuduh bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Tunggul Ametung. Kebo Ijo lalu dibunuh dengan keris oleh Ken Arok. Dia menjadi raja baru di Singasari.

Ken Dedes punya anak dari Tunggul Ametung, Anusapati. Ia membalas dendam atas kematian ayahnya. Maka dengan keris Mpu Gandring, dia membunuh Ken Arok dengan bantuan Ki Pengalasan.

Untuk menghilangkan jejak, Anusapati membunuh Ki Pengalasan. Anusapati mengambil alih kekuasaan di Singasari.

Namun tidak lama Tohjaya, anak Ken Arok dengan Ken Umang ingin membalas dendam. Ia membuat pertunjukan sabung ayam di alun-alun.

Ketika Anusapati sedang asyik menikmati sabung ayam, Tohjaya menusuknya dengan keris.

Tetapi Tohjaya tidak lama memerintah. Intrik kekuasaan terjadi di antara keluarga kerajaan. Tohjaya terbunuh dalam perang saudara memperebutkan tahta.

Dalam Injil, ibu dari Yakobus dan Yohanes minta kedudukan atau kuasa kepada Yesus. “Berilah perintah supaya kedua anakku ini kelak boleh duduk di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu, dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.”

Kesepuluh murid yang lain marah kepada kedua saudara itu. Bisa jadi mereka marah karena iri. Mengapa kami juga tidak diberi kedudukan atau kuasa di dalam Kerajaan-Nya? Semua tergiur untuk memperoleh kuasa.

Namun Yesus justru mengajarkan kepada mereka. “Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah dia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah dia menjadi hambamu.”

Ia memberi teladan kepada mereka. “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”

Bukan kuasa atau kedudukan yang dipentingkan, tetapi semangat melayani sebagai hamba itulah yang harus diperjuangkan.

Sesungguhnya Semangat melayanilah inti dari kekuasaan.

Ada mendung tidak ada hujan.
Hari gelap ditutup awan-awan.
Gila tahta bisa menjerumuskan,
Mengubah kawan menjadi lawan.

Cawas, Tahta untuk rakyat….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 15.03.22 || Selasa Prapaskah II – Matius 23: 1-12

 

Kemunafikan

SENIMAN, Hangno Hartono membuat pameran wayang kontemporer tahun lalu di Pendopo Sompilan Ngasem Yogya.

Ia menampilkan satir, kritik halus namun pedas pada kondisi saat ini.

Para ksatria yang harusnya menjadi suri tauladan disandingkan dan dicampur-adukkan dengan “buto-buto” atau raksasa lambang angkara murka dan kejahatan.

Ada Buto Cakil dan Buto Terong lambang kelincahan dan kemunafikan.

Saat ini banyak orang-orang pandai, kaum elite terkontaminasi oleh pikiran buto-buto.

“Buto-buto itu sangat lincah dalam polah tingkahnya dan pandai bertutur kata, namun antara kata dan tindakan tidak ketemu. Itulah kemunafikan yang dipertontonkan para elite sekarang.” Katanya.

Ada “Buto Ijo” menggambarkan kondisi saat ini dimana orang hijau matanya kalau melihat uang. Yang dikejar hanya uang, uang dan uang. Dia bisa menghalalkan segala cara.

Dia mengajak pengunjung untuk menilai pribadi-pribadi yang orientasinya hanya uang, pamer kekayaan, suka dihormati, suka disebut “sultan.” Bahkan memakai gelar keturunan nabi.

Buku “Langit Makin Mendung” karya Panji Kusmin disatirkan menjadi “Jakarta Makin Mendung” yang digambarkan dengan lukisan wayang para buto sedang mengincar pusat kekuasaan demi kepentingannya sendiri. Tetapi bicaranya mengumbar janji demi rakyat.

Lukisan “Perjamuan Terakhir” oleh Hangno diplesetkan lewat lukisan wayang berjudul “Perjanjian Telah Berakhir” maksudnya sudah tidak ada lagi perjanjian antara Ksatria dan Buto karena mereka telah lebur menyatu.

Tidak jelas lagi pembedaan mana ksatria, mana buto. Semua dibungkus oleh kemunafikan.

Yesus mengingatkan kepada para murid-Nya soal kemunafikan ini. “Ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi telah menduduki kursi Musa. Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan mereka, karena mereka mengajarkan, tetapi tidak melakukannya.”

Itulah wujud kemunafikan; mengajarkan tetapi tidak melakukannya.

Mereka hanya ingin dihormati; suka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai panjang, suka duduk di tempat terdepan, punya gelar terhormat dan saleh. Omongannya “nyricis” seperti orang yang punya surga.

Yesus punya ajaran sendiri. Jangan meniru mereka. Prinsip Yesus adalah, “Siapa pun yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.”

Karena barang siapa meninggikan diri akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri akan ditinggikan.

Waspadalah terhadap alam semesta, karena dia punya hukum-hukumnya sendiri. Ada hukum sebab akibat, tabur tuai, siapa menabur angin akan menuai badai. Sebab perbuatan kita, akibatnya harus ditanggung sendiri.

Berkeliling mencari barang di pasar swalayan,
Namun tidak ada barang yang sesuai selera.
Jangan tergoda dan tergiur oleh kemunafikan,
Nampaknya baik di muka, tapi bobrok sejatinya.

Cawas, banyak yang munafik, tapi tidak semua…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 14.03.22 || Senin Prapaskah II || Lukas 6: 36-38

 

Ukuran

Seorang pemuda yang bekerja sebagai tukang taman menghubungi Bu Noto yang sangat kaya: “Apakah ibu membutuhkan tenaga untuk memotong rumput?”

“Tidak, saya sudah punya petugas taman yang handal disini,” sahut Bu Noto.

Pemuda itu berkata lagi: “Saya bisa membantu mencabut rumput-rumput liar sampai bersih di taman bunga ibu.”

Dengan lembut Bu Noto menjawab: “Karyawan saya sudah melakukannya dengan baik.”’

“Saya bisa membantu ibu memangkas rapi pagar tanaman di sepanjang halaman.”

“Karyawan saya telah memotong dengan bersih, rapi dan indah. Terima kasih. Saya tidak membutuhkan lagi tenaga pemotong rumput.” Jawab Bu Noto.

Mendengar jawaban ibu yang baik itu, pemuda itupun menutup teleponnya sambil mengucapkan terimakasih.

Saat itu, teman kost si pemuda bertanya kepadanya, “Bukankah kamu kerja di rumah besar milik Bu Noto? Kenapa menanyakan hal itu ?”

“Saya hanya ingin mengukur seberapa bagus kerja saya di sana!” Sahut si pemuda.

Yesus mengajarkan kepada para murid, “Berilah, dan kamu akan diberi; suatu takaran yang baik dan dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”

Hal-hal yang kita terapkan dan tuntut kepada orang lain, akan diterapkan kepada kita.

Jika kita menuntut orang lain disiplin, jujur dan terbuka, hal itupun akan dikembalikan sebagai tuntutan kepada kita.

Tolok ukur yang dicanangkan Yesus adalah Bapa-Nya sendiri. “Hendaklah kamu murah hati sebagaimana Bapamu adalah murah hati.”

Kita diajak untuk meniru Bapa yang murah hati.

Kemurahan hati bisa diwujudkan dengan tidak menghakimi, tidak menghukum, berani mengampuni dan memberi kepada orang lain.

Jika kita memperlakukan orang lain dengan baik, maka orang pasti juga akan memperlakukan kita secara baik juga.

Sebaliknya jika kita berlaku kasar, tidak sopan, suka merendahkan orang lain, maka kita pun akan diperlakukan demikian oleh orang lain.

Seperti cermin, apa yang kita pertontonkan di depan kita, akan kembali kepada kita demikian juga.

Kita menyapa dengan senyuman, maka orang lain juga akan memberi senyuman. Kita menghargai sesama, mereka juga akan menghargai kita.

Marilah kita menggunakan ukuran, sikap hidup, cara pandang dan perilaku yang baik, karena ukuran yang kita pakai itulah yang akan diterapkan kepada kita.

Naik gunung pakai seragam batik,
Sampai lupa kalau harus bawa topi.
Jangan lupa ada hukum timbal balik,
Jika kita memberi, kita juga akan diberi.

Cawas, mari berbuat baik…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 13.03.22 || Minggu Prapaskah II || Lukas 9: 28b-36

 

Melepaskan Ego

SALAH satu pendaki gunung perempuan yang berhasil menaklukkan Mount Everest (8.848 mdpl) adalah Vannesa O’Brien.

Perempuan 56 tahun itu mengatakan, “Tantangan terberat pendakian gunung bukan soal fisik, tetapi mental.”

Ia banyak bermeditasi untuk mengatasi hal-hal negatif dan rasa cemas dalam pikiran.

Menurut O’Brien, mendaki gunung telah mengajarinya banyak hal. Pertama dan tersulit adalah melepaskan kendali untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan.

“Untuk mencapai puncak gunung, saya harus melepaskan ego yang saya miliki, terlalu berat untuk diangkut. Egoisme itu ada di suatu celah dalam hati kita.”

Melepaskan ego itulah yang paling sulit dalam hidup kita. Untuk bisa menikmati keindahan di atas puncak, egoisme pribadi harus ditinggalkan. Orang harus rela mengorbankan egonya.

Ketika berada di puncak gunung, Petrus dan teman-temannya melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya. Wajah Yesus berubah dan pakaiann-Nya menjadi putih berkilau-kilauan.

Dalam puncak kebahagiaan, Petrus berkata, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”

Petrus tidak memikirkan dirinya dan teman-temannya. Ia meninggalkan egonya dan hanya mendirikan tiga kemah saja. Untuk Yesus, Musa dan Elia. Mereka sendiri tidak dipikirkan.

Dalam kemuliaan di atas gunung itu, Yesus menegaskan kembali tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi di Yerusalem.

Penggenapan itu akan terjadi di atas gunung juga yakni ketika Dia disalibkan di Gunung Golgota.

Kemuliaan Yesus itu juga ditandai dengan mengorbankan egoisme diri. Ia rela mati demi keselamatan manusia. Ia mengorbankan diri-Nya agar manusia bahagia hidupnya.

Apakah itu kebahagiaan jika hanya mengejar egoisme pribadi dan mengorbankan orang lain?

Hari-hari ini kita sedang mendengar berita, beberapa “OKB, Orang Kaya Baru” sedang diburu oleh polisi karena mereka memperkaya diri dengan melakukan bisnis penipuan.

Dalam kondisi rakyat sedang terpuruk oleh pandemi, mereka pamer kekayaan dengan rumah mewah, mobil merk terkenal, pelesir ke luar negeri.

Dalam usia belum mencapai 30 tahun sudah punya kekayaan lebih dari seratus milyar rupiah. Sungguh fantastis.

Ketika diselidiki polisi, bisnis mereka diduga perjudian online dan pencucian uang. Mereka memanfaatkan nafsu orang yang ingin cepat kaya dengan jalan pintas.

Ketika terbongkar, banyak orang merugi ratusan juta rupiah, bahkan ada yang menjual tanah dan rumah segala.

Mereka menjadi kaya raya dan memamerkannya kepada orang lain. Memburu kebahagiaan pribadi tetapi merugikan banyak orang.

Akibatnya sudah bisa ditebak; urusan dengan aparat, kembali melarat dan hidup di antara jeruji berkarat.

Peristiwa Yesus dan para murid di atas gunung itu mengajarkan kepada kita untuk berani meninggalkan egoisme pribadi dan berani berkorban demi kebahagiaan banyak orang.

Itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Mari kita tidak egois dan rela berkorban demi sesama.

Pergi ke spanyol untuk menonton Barcelona,
Masih berjuang untuk naik ke peringkat ketiga.
Kebahagiaan itu bukan karena memiliki segalanya,
Tetapi ketika bisa berbagi dengan yang menderita.

Cawas, belajar berkorban dan berbagi….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 12.03.22 || Sabtu Prapaskah I || Matius 5: 43-48

 

Surat Kaleng kepada Uskup.

MENGASIHI orang yang membenci kita itu butuh perjuangan. Kalau mengasihi orang yang mengasihi kita itu tidak begitu sulit.

Tetapi mengasihi orang yang telah menjelek-jelekkan kita itulah yang sukar. Semakin dalam rasa benci semakin berat untuk mengampuni.

Saya pernah dilaporkan oleh seorang umat yang mau menikahkan anaknya. Ia membuat surat kaleng kepada Bapak Uskup.

Inti suratnya saya dituduh mempersulit urusan perkawinan anaknya. Mgr. Pujasumarta waktu itu sempat datang ke paroki saya. Beliau bertanya duduk perkaranya. Saya menjelaskan ke beliau.

Bapak itu seorang tokoh di paroki. Anaknya akan menikah dengan gadis tidak katolik. Mereka bekerja di luar Jawa.

Dia mengirim buku calon katekumen dengan maksud untuk dipelajari sendiri oleh calon menantunya.

Mereka akan pulang seminggu menjelang perkawinan.

Lalu dia minta kepada saya untuk membaptisnya sebelum dilangsungkan berkat perkawinan. Intinya supaya semua urusan dipermudah karena merasa telah berjasa sebagai tokoh umat.

Saya menolaknya. Siapa yang membimbing, menyiapkan dan menjamin anak itu selama di sana. Bagaimana penyelidikan kanonik dilakukan secara mendadak? Bagaimana dengan kursus persiapan hidup berkeluarga?

Saya mengusulkan agar menemui pastor paroki dimana mereka berdomisili. Mereka berdua biar mengurus dengan pastor parokinya.

Apakah mau persiapan baptis dulu atau menikah dengan dispensasi.

Itu bisa dibicarakan dengan pastor paroki. Berkas perkawinan bisa dilimpahkan kepada saya.

Setelah saya menjelaskan persoalannya pada Bapak Uskup, beliau memahami dan berkata pada saya, “Walaupun Rama tidak salah, Rama harus datang kepada bapak itu dan minta maaf.”

Minta maaf? Saya tidak salah tetapi harus minta maaf?

Dalam hati saya protes. Tetapi waktu itu saya hanya mengiyakan perintah Bapak Uskup.

“Tuhan Yesus juga tidak bersalah, tetapi Dia mengampuni orang-orang yang menggantung-Nya di kayu salib.”

Kata-kata Monsigneur itu mengesan sampai sekarang.

Yesus mengajarkan tentang nilai kasih dan pengampunan.

Ia berkata, “Kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga.”

Mengasihi atau mengampuni orang-orang yang telah mengasihi kita tidaklah sukar.

Yang sulit adalah mengasihi atau mengampuni mereka yang membenci, memusuhi, mencemarkan nama baik kita, menjelek-jelekkan, menyebarkan kebencian dan fitnah.

“Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu yang di surga sempurna adanya.”

Menjadi murid Yesus harus beda. Tidak sama dengan arus pada umumnya.

Itulah pembedanya; berani mengasihi orang-orang yang membenci kita.

Yesus sudah memulai, apakah anda mau melanjutkannya?

Panas-panas pergi ke pantai memakai topi.
Duduk di pasir dengan sabar menunggu senja.
Memang berat mengasihi yang membenci.
Demikianlah jika kita mau menjadi sempurna.

Cawas, seperti Bapa sempurna adanya….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr