Puncta 14.04.22 || Kamis Putih || Yohanes 13: 1-15

 

Cuci Tangan dan Cuci Kaki

CUCI TANGAN dalam arti harafiah dianggap sebagia kenormalan baru dalam masa pandemi ini. Padahal cuci tangan sebetulnya sudah dianjurkan sejak lama.

Sejak 2008 Badan Kesehatan Dunia bahkan menetapkan tanggal 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan sedunia.

Sejak masa kanak-kanak, orangtua juga sudah mengajarkan untuk cuci tangan dan kaki sebelum tidur.

Penyanyi Tasya Rosmala menyanyikan lagu yang mengajak anak-anak untuk cuci kaki dan tangan.

Syairnya berbunyi demikian:
“Jangan lupa esok kita punya janji. Semakin cepat kita tidur, semakin cepat kita bertemu kembali. Berdoalah sebelum kita tidur. Jangan lupa cuci kaki tanganmu. Jangan lupa doakan mama papa kita.”

Namun setelah remaja dan dewasa, kita tidak dibiasakan cuci tangan. Justru banyak disuguhi contoh cuci tangan dalam arti kiasan.

Orang yang suka melemparkan tanggungjawab. Banyak kasus korupsi mangkrak karena orang yang seharusnya bertanggungjawab namun cuci tangan.

Kiasan dari perbuatan tangan banyak berkonotasi negatif; cuci tangan, ringan tangan, panjang tangan, kaki tangan.

Seno Gumiro Ajidarma bahkan membuat cerpen berjudul “Orang yang Selalu Cuci Tangan.”

Kebiasaan cuci tangan juga kita lakukan kalau mau berdoa. Itu sudah menjadi habitus.

Tetapi kenapa habitus yang baik itu bisa berjalan bersama dengan kebiasaan cuci tangan dalam arti kiasan?

Contoh kongkrit dalam Injil tentang cuci tangan adalah yang dilakukan Pilatus. Ia cuci tangan terhadap masalah Yesus. Ia tidak mau bertanggungjawab atas kematian Yesus di salib. Ia melemparkan tanggungjawab.

Gak mau tahu. Gak mau peduli. “Emang Gue pikirin… Elu elu gue gue…!!!

Yesus tidak lari dari tanggungjawab. Ia konsekwen dengan tugas perutusan Bapa. Ia berani ambil resiko ketika salib harus diterima.

Bahkan Ia memberi contoh gerakan active non violence dengan mencuci kaki para murid.

Pada awal penderitaan-Nya, Yesus membasuk kaki para murid-Nya.

Menghadapi penolakan, permusuhan, kebencian dan dendam, Yesus tidak lari atau lepas tanggungjawab (cuci tangan) tetapi justru Ia mencuci kaki murid-murid-Nya.

Mencuci kaki adalah perbuatan budak, hamba kepada tuannya. Ia merendahkan Diri-Nya menjadi hamba.

Kaki adalah anggota tubuh yang paling rendah. Kaki juga berkonotasi kotor, hina, miskin, di bawah.

Selain sebagai tindakan perendahan diri, membasuh kaki juga berarti menerima sebagai bagian tak terpisahkan.

“Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak akan mendapat bagian bersama Aku,” kata Yesus.

Dengan membasuh kaki, seseorang diterima sebagai saudara, anggota keluarga, bagian dari komunitas, warga bangsa, yang harus dikasihi dan diterima.

Peristiwa Kamis Putih ini punya relevansi penting bagi kita. Banyak kejadian cuci tangan disekitar kita. Tidak mau peduli, tidak bertanggungjawab.

Orang berbeda dianggap kompetitor, pesaing musuh, lawan yang harus disingkirkan. Kasus Ade Armando kemarin buktinya.

Kita harus banyak melakukan cuci kaki seperti diajarkan Yesus. Berani merendahkan diri dan menerima orang lain yang berbeda sebagai bagian diri kita.

Budaya kekerasan dan kebencian harus dijauhkan. Budaya melayani, menghormati dan mengasihi harus diwartakan dimanapun dan kapan pun jua.

Bunga mawar bunga melati.
Hati sabar selalu rendah hati.

Cawas, Kamis putih, hati juga putih…..
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 13.04.22 || Rabu Pekan Suci || Matius 26: 14-26

 

Diplomasi Meja Makan

KETIKA menjabat walikota Solo, Pak Jokowi berhasil memindahkan Pedagang Kaki Lima Taman Banjarsari Solo tanpa menimbulkan protes atau penolakan.

Padahal di sana ada 989 pedagang yang menggantungkan hidupnya. Tiga wali kota sebelumnya tidak mampu menertibkan mereka.

Hebatnya kepindahan mereka disertai dengan arak-arakan layaknya pawai hari kemerdekaan. Diiringi suara “klenengan” gamelan dan prajurit kraton, para pedagang dengan sukacita menuju ke lokasi baru.

Jokowi berhasil memindahkan para PKL ini berkat diplomasi meja makan yang dijalankannya. Ada 54 kali pertemuan yang digelar Pak Walikota dengan mengundang 11 paguyuban PKL Taman Banjarsari untuk makan bersama sebelum akhirnya terjadi kesepakatan di antara Pemkot Solo dan para PKL.

Ada yang meniru diplomasi meja makan di Jakarta, namun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.

Tidak semua pejabat piawai memakai diplomasi meja makan. Tergantung siapa yang diajak di seputar meja makan itu.

Yudas Iskariot sudah melakukan kesepakatan dengan menjual Yesus kepada imam-imam kepala.

Dia menyerahkan Yesus dan mendapat bayaran tiga puluh uang perak. Kesepatan ini sudah tak bisa dibatalkan.

Dalam perjamuan makan bersama dengan para murid, Yesus secara blak-blakan mengungkapkan bahwa ada di antara mereka yang mengadakan persekongkolan untuk menyerahkan Dia.

Mereka sedih dan saling membenarkan diri, “Bukan aku ya Tuhan?”

Yesus menunjuk siapa yang akan melakukan pengkhianatan. “Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku.”

Meja makan menjadi tempat untuk mengungkapkan segala sesuatu. Suka duka, sukses gagal, jatuh bangun bisa dibagikan di situ.

Diskusi, sharing, “glenak-glenik nguda rasa” bisa terjadi di meja makan.

Biasanya banyak kesepakatan tercapai di meja makan. Sambil makan, bersenda gurau secara informal malah mencapai hasil memuaskan.

Apakah kita sering makan bersama dalam keluarga? Apakah kita sering berdiplomasi dalam jamuan makan bersama?

Mari kita gunakan meja makan di rumah untuk berdialog bersama keluarga. Kebiasaan makan bersama di keluarga akan mempererat relasi seluruh anggota. Coba saja….

Candi Borobudur ada di dekat Muntilan.
Di Prambanan ada sendratari Ramayana.
Yang penting bukan apa yang kita makan,
Tapi dengan siapa kita makan di satu meja.

Cawas, lebih baik dialog hati…..
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 12.04.22 || Selasa Pekan Suci || Yohanes 13:21-33.36-38

 

Separuh Jiwaku Pergi.

KETIKA ditinggalkan Krisdayanti, istrinya, Anang menuliskan pengkhianatan itu dalam sebuah lagu berjudul “Separuh Jiwaku Pergi.”

Isi syair itu antara lain berbunyi:

Separuh jiwaku pergi. Memang indah semua. Tapi berakhir luka.
Kau main hati dengan sadarmu. Kau tinggal aku. Benar ‘ku mencintaimu
Tapi tak begini. Kau khianati hati ini. Kau curangi aku.

Kisah pengkhianatan tidak hanya dalam keluarga, namun hampir bisa dijumpai di mana saja.

Dalam dunia bisnis, militer, politik, persahabatan, bahkan nelikung pacar teman sendiri itu juga sebuah tindakan pengkhianatan.

William Shakespeare mengisahkan pengkhianatan Brutus kepada Julius Ceasar.

Kita mengenal semboyan “Veni, Vidi, Vici” berasal dari Julius Caesar. Berkat kemenangan menaklukkan Pompei, Caesar mengangkat dirinya menjadi Dictator Perpetuo atau Raja Roma seumur hidup.

Anggota senat Roma tidak senang. Mereka merencanakan pembunuhan terhadap Caesar.

Pada hari raya Idus Martii, Julius Caesar datang di Teater Pompei. Di situ para senat mengerumuni dan langsung menghujamkan tusukan belati ke tubuh Caesar.

Kata-kata terakhirnya “Et tu Brutus.” (dan engkau juga Brutus) lirih terucap saat melihat sahabatnya, Brutus juga menusukkan belati ke dadanya.

Julius tidak menduga bahwa sahabatnya mengkhianati. Caesar tidak mengetahuinya

Beda dengan Yesus. Kalau Yesus sudah tahu dari awal, bahwa salah satu dari duabelas murid akan mengkhianati-Nya.

Bagaimana perasaan kita jika mengetahui teman kita justru mengkhianati?

Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang diantara kamu akan menyerahkan Aku.”

Yesus tetap konsisten dan menguasai diri-Nya. Ia tidak menunjukkan kemarahan, kebencian dan murka kepada Yudas.

Bahkan Yesus berkata, “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera.”

Kasih-Nya kepada yang mengkhianati tidak berkurang. Yesus masih bisa menasehati para murid-Nya untuk berjaga-jaga.

Waktunya akan segera tiba bahwa Dia tidak akan bersama-sama lagi dengan mereka.

“Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang. Demikian juga Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.”

Mungkin kita pernah dikhianati. “Kaukhianati aku, kau curangi aku.” Lihatlah “Sakitnya tuh di sini.”

Kita bisa belajar bagaimana menghadapinya dari cara Yesus memperlakukan si pengkhianat.

Fokus Yesus adalah menjalankan kehendak Bapa. Bersama dengan Yesus selalu ada belas kasih. Sampai akhir Yesus menawarkan kasih dan pengampunan-Nya pada semua manusia.

Bisakah kita mengampuni kendati sudah dikhianati? Mungkin membutuhkan waktu…..

Embun bening ada di pucuk rerumputan.
Sebening kicau burung di ranting dedaunan.
Hanya belas kasih dan pengampunan,
Yang mampu mengalahkan pengkhianatan.

Cawas, belajar mengampuni….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 11.04.22 || Senin Pekan Suci || Yohanes 12: 1-11

 

Relasi Kasih Bukan Relasi Bisnis.

DALAM kisah Ramayana versi Jawa ada nukilan cerita Anggada membangkang atau membelot.

Anggada adalah kera berbulu merah. Dia dididik oleh Sugriwa bersama dengan pasukan kera lainnya.

Ada persaingan antara Anoman dan Anggada karena keduanya adalah panglima perang Ayodya.

Rama memilih Anoman untuk pergi ke Alengka mencari jejak Sinta. Dia berhasil menjadi duta sampai ketemu Sinta dan memberikan cincin Rama.

Bahkan Anoman berhasil membumihanguskan Alengka dalam lakon Anoman Obong. Anoman punya nama harum di mata Rama.

Untuk menjajal kekuatan Alengka, Rama mengutus Anggada menyelidiki bala tentara Rahwana. Namun sesampai di Alengka, Anggada ditangkap dan dijelaskan siapa dirinya sesungguhnya.

Oleh Rahwana dijelaskan bahwa Anggada adalah anak Subali yang dibunuh oleh Rama dengan panah saat sedang berkelahi dengan Sugriwa.

Ibu Anggada adalah bidadari bernama Dewi Tara, yang punya saudara kembar bernama Dewi Tari, yang kini menjadi istri Rahwana.

Karena diprovokasi Rahwana, Anggada bimbang dan membangkang pada perintah Rama. Ia menjadi benci dan ingin membalas dendam atas kematian ayahnya.

Anggada lupa bahwa selama ini dia dikasihi oleh Rama dengan pangkat dan kehidupan yang baik di Ayodya.

Ada aneka macam tipe sahabat. Dalam Injil dikisahkan bagaimana Yesus sangat mengasihi Marta, Maria da Lazarus. Begitu pula mereka sangat mengasihi Yesus.

Ketika Yesus berada di rumah Lazarus, Maria meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu yang mahal.

Namun tindakan itu diprotes oleh Yudas Iskariot. “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”

Komentar Yudas itu kelihatannya saleh dan baik. Tetapi ternyata tersembunyi niat jahat, karena dia tidak memikirkan orang-orang miskin, melainkan dia seorang pencuri kas kelompok.

Sahabat yang tulus ikhlas nampak dari tindakannya. Maria tanpa meyanyangkan minyak yang mahal menghormati Yesus. Ia menyeka kaki Yesus dengan rambutnya.

Karena merasa dikasihi, ia melakukan apa pun kepada Yesus.

Berbeda dengan Yudas, ia mengambil kesempatan untuk keuntungan diri sendiri. Relasinya bukan berdasar kasih, tetapi keuntungan, kemanfaatan.

Relasi kasih berbeda dengan relasi bisnis. Yang diperhitungkan hanya untung rugi.

Bagaimanakah hubungan kita dengan Yesus? Apakah kita hanya mau dekat Yesus kalau menguntungkan kita? Kita rajin berdoa atau ke gereja kalau sedang membutuhkan-Nya?

Mari belajar seperti Maria. Ia tidak menghitung keuntungan tetapi memberikan yang terbaik kepada Yesus, karena ia mengalami dikasihi sedemikian besar.

Apakah anda merasa dikasihi oleh Yesus?

Pergi ke Sangeh melihat banyak kera,
Mereka berlagak kaya turis menca negara.
Kasih Yesus sungguh tak terhingga,
Kurbankan nyawa untuk yang berdosa.

Cawas, mengasihi tanpa pamrih…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 10.04.22 || Minggu Palma || Lukas 22:14 – 23:56 (Lukas 23:1-49, singkat)

 

Trial by Mob

KETUA Setara Institut, Hendardi pernah mengatakan bahwa putusan hakim terhadap kasus BTP waktu itu bernuansa “trial by mob.”

Di satu sisi hakim mempertimbangkan ketertiban sosial akibat penodaan agama. Di sisi lain hakim tidak melihat sejarah bagaimana peristiwa itu muncul akibat politik identitas yang dijadikan alat untuk kontestasi pilgub waktu itu.

Tekanan massa yang bertubi-tubi dan bergelombang mengakibatkan hakim tidak bisa memutuskan perkara secara obyektif.

Aspek non yuridis yakni tekanan massa lebih menjadi pertimbangan agar tidak terjadi chaos sosial daripada membebaskan seorang yang tidak bersalah.

Sumber putusan yang legitim bukan didasarkan pada perundang-undangan, tetapi kerumunan massa yang mengancam. Inilah yang disebut trial by mob.

Ada hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat sebuah keputusan yakni ”In dubio pro reo” artinya jika hakim ragu dalam suatu hal, maka putusan haruslah berdasar pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa.

Namun tekanan gelombang massa yang terus mendesak sejak awal membuahkan putusan yang tidak adil.

Massa sudah diprovokasi untuk menghukum seseorang. Mereka mengepung gedung pengadilan dengan teriakan-teriakan melalui TOA.

Pada Minggu Palma ini kita mendengarkan kisah passio, sengsara Yesus. Dia diadili oleh pengadilan rakyat yang bengis.

Para imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua bangsa Yahudi menjadi provokatornya.

Pilatus, walinegeri tidak menemukan kesalahan apa pun. Begitu pula Herodes. Mereka ditekan massa rakyat yang berteriak membabi buta.

Pilatus sudah memilih prinsip “in dubio pro reo” yakni dengan memberi hukum cambuk. Tetapi rakyat yang telah diprovokasi terus mendesak, “Salibkan Dia. Salibkan Dia.”

Sampai tiga kali Pilatus bertanya, “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati.”

Tetapi dengan berteriak mereka mendesak dan menuntut, supaya Yesus disalibkan. Akhirnya mereka menang dengan teriakan mereka.

Lalu Pilatus memutuskan supaya tuntutan mereka dikabulkan. Inilah trial by mob.

Marilah kita merenungkan diri. Dimanakah kita dalam situasi krusial seperti itu?

Peran apa yang kita mainkan saat mengadili seseorang? Apakah kita larut dalam kumpulan massa yang mudah terprovokasi?

Apakah kita justru jadi provokator seperti para ahli-ahli kitab suci, tua-tua atau tokoh masyarakat yang mestinya tahu menilai baik buruk, benar salah, namun malah menjerumuskan?

Atau kita adalah Pilatus yang tidak konsisten, bimbang, ragu, takut pada suara orang banyak?

Atau kita adalah murid-murid yang lari ketakutan meninggalkan Yesus menghadapi hinaan, cemoohan, ejekan dan penderitaan seorang diri?

Ada banyak peran yang sedang kita mainkan dalam peziarahan iman mengikuti Yesus.

Ada Simon dari Kirene, Veronika yang mengusap wajah Yesus, wanita-wanita Yerusalem yang menangis, atau Maria yang setia sampai di bawah salib Yesus.

Selama Pekan Suci ini kita diajak merenung secara pribadi. Mungkin kita ikut menjatuhkan putusan yang tidak adil pada orang lain.

Mungkin kita membuat Yesus menderita lewat tindakan dan tutur kata kepada orang-orang di sekitar kita.

Tindakan kitalah yang membuat Yesus tergantung di kayu salib.

Gemuruh sorak sorai Minggu Palma,
Lalu menghukum orang tiada dosa.
Jangan mudah ikut arus amuk massa,
Penyesalan sampai akhir tiada hentinya.

Cawas, palma di tangan, salib menghadang…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr