Renungan Harian

Puncta 23.03.22 ~ Rabu Prapaskah III ~ Matius 5: 17-19

 

Kolonel Javert VS Jean Valjean

TAK ada bosan-bosannya memutar kembali Film Les Miserables yang dibuat berdasarkan novel Victor Hugo. Dua tokoh penting yang saling berlawanan sifatnya yakni Kolonel Javert dan Jean Valjean.

Kolonel Javert mewakili gambaran kaum Farisi yang taat hukum secara kaku, legalistik sekaligus munafik.

Sedangkan Jean Valjean menggambarkan sifat orang Samaria yang baik hati.

Oleh Kolonel Javert, hukum dipandang sebagai sesuatu yang kaku, letterlijk, wajib dilakukan sedetil-detilnya tanpa pandang situasi.

Dengan berlaku seperti itu, dia suka menuduh orang lain kafir, salah, harus dihukum. Dia cenderung bertindak sok suci dan munafik. Dia terus menerus mencari kesalahan orang.

Dan ternyata dia sendiri dalam kegelisahannya membutuhkan kokain!!!

Jean Valjean mewakili sifat yang diajarkan Yesus yakni kasih dan pengampunan. Hukum tidak cukup hanya dihapal dan diamalkan secara kaku. Tetapi mesti diwujudkan dengan landasan kasih tanpa pamrih.

Dalam diri Valjean, belaskasih diwujudkan dengan tindakan nyata. Ia selalu mengampuni Javert yang mengancam jiwanya. Ia menolong orang kecil, menyelamatkan pelacur dan anaknya, merawat orang sakit.

Kasih menjadi prioritas utama daripada hukum yang kaku.

Yesus mengatakan bahwa Dia hadir bukan untuk meniadakan hukum Taurat tetapi untuk menggenapinya.

“Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”

Kitab Taurat adalah kitab Musa yang berisi hukum. Kitab itu banyak mengajarkan larangan dan perintah.

Yesus datang untuk menggenapi yakni dengan melakukan perintah dengan lebih mengutamakan kasih. Prioritasnya bukan melarang tetapi mengasihi.

Salah satu contoh bagaimana Dia menggenapi Taurat misalnya, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”

Yesus tidak mengedepankan seremoni atau penampilan luar seperti yang dipertontonkan kaum Farisi, tetapi lebih mendasari ketulusan hati.

Orang Farisi suka memamerkan pelaksanaan hukum Taurat supaya dipuji. Di luar nampak baik, saleh dan suci, tetapi di dalamnya busuk tak berperikemanusiaan.

Dalam hal berpuasa, berdoa dan beramal, Yesus tidak mau menonjolkan diri. Melakukan aturan puasa, berdoa dan beramal tidak perlu dipamer-pamerkan seperti orang yang tidak mengenal Allah.

Hati yang tulus dan tersembunyi itu yang berkenan pada Allah.

Dengan tindakan seperti itulah Yesus menggenapi apa yang masih kurang dalam pelaksanaan hukum Taurat.

Dia menegaskan, “Siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah Taurat, ia akan menduduki tempat tertinggi di dalam Kerajaan Surga.”

Marilah kita terus menerus berusaha mewujudkan hukum kasih dengan tindakan nyata dan tanpa pamrih.

Orang stres sukanya mabuk-mabukan,
Menenggak wine seloki demi seloki.
Beramal kasih tidak perlu dipamerkan,
Tuhan maha tahu apa yang tersembunyi.

Cawas, mengasihi tanpa pamrih…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 22.03.22 ~ Selasa Prapaskah III ~ Matius 18: 21-35

 

The Forgiven

FILM drama ini bercerita tentang kisah nyata yang terjadi di Afrika Selatan pasca runtuhnya sistem Apartheid, politik pembedaan warna kulit.
Orang kulit putih menjajah kaum kulit hitam.

Nelson Mandela adalah pejuang yang anti Apartheid. Setelah pemerintahan kulit putih bubar, Mandela memerintahkan Uskup Agung Desmond Tutu memimpin Komisi Kebenaran dan Keadilan untuk membangun rekonsiliasi bagi bangsa yang hancur akibat dendam dan amarah.

Desmond Tutu menghadapi penjahat kulit putih yang telah membunuh banyak orang kulit hitam.

Kaum kulit putih belum bisa menerima kekalahan. Mereka masih menyimpan dendam dan kebencian. Begitu pun banyak kaum kulit hitam yang memendam amarah dan kebencian karena mereka dijajah dengan sistem perbedaan ras, warna kulit.

Kepada Piet Blomfeld si narapidana di penjara Pollsmoor, Uskup itu berkata, “Tidak ada yang tak bisa diampuni.”

Dengan sinis Piet Blomfeld menjawab, “Sekali budak tetap akan jadi budak. Apa kalian mau berkolusi dengan majikanmu yang kulit putih?”

“Di negera kita yang baru ini, kita (kulit hitam dan kulit putih) akan belajar hidup bersama atau akan mati bersama. Kekejaman adalah penyimpangan, bukan cinta. Yang harus dikuburkan adalah kemarahan dan kebencian.” Kata Desmond Tutu.

Adegan yang mengharukan terjadi saat di pengadilan, seorang ibu kulit hitam memaafkan polisi kulit putih, Hansi Coetzee yang membunuh anaknya. “Anakku ingin kita hidup mulai dari awal tanpa kebencian dan dendam.”

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajarkan pengampunan tanpa batas.

Ketika Petrus bertanya, “Tuhan, sampai berapa kalikah aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa kepadaku? Sampai tujuh kalikah?”

Yesus menjawab, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”

Itu berarti pengampunan yang tiada batasnya. Mengampuni harus total, sampai ke akar-akarnya. Tidak menyimpan dendam dan kebencian.

Afrika Selatan menjadi contoh bagaimana rekonsiliasi dibangun antara kulit putih dan kulit hitam.

Dengan pengampunan dan rekonsiliasi mereka membangun sebuah bangsa yang beraneka ragam adat budaya dan warna kulit.

Seperti pelangi yang indah karena banyak warna, begitulah kehidupan menjadi indah karena banyaknya warna yang ada di dalamnya.

Nelson Mandela dan Desmond Tutu adalah pemenang hadiah Nobel Perdamaian. Mereka menyatukan Afrika Selatan dengan pengampunan dan rekonsialisasi.

Sebuah bangsa yang besar bisa hidup bersama jika ada pengampunan dan mau membangun rekonsiliasi.

Kita juga bisa secara pribadi dan bersama hidup dengan pengampunan. Kita mulai dari keluarga dan komunitas kita masing-masing.

Hati gembira dari wajah para petani,
Membawa hasil dari panen padi.
Tak ada hal yang tidak bisa diampuni,
Dibutuhkan satu langkah kerendahan hati.

Cawas, berani mengampuni….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 21.03.22 ~ Senin Prapaskah III ~ Lukas 4: 24-30

 

Hargai Budaya Sendiri.

ADA banyak ilmuwan pandai di Indonesia tetapi hasil karyanya tidak dihargai di negeri sendiri. Hasil karya mereka malah diterima dan dihargai di negara asing.

Ambil contoh misalnya, Dr. Khoirul Anwar yang berhasil menciptakan teknologi broadband. Hasil karyanya justru mendapat penghargaan di California dan Jepang.

Contoh lain, Muhamad Nurhuda yang menciptakan kompor ramah lingkungan. Karya dosen Universitas Brawijaya ini tidak laku di negeri sendiri, tetapi justru laku di India, Peru, Timor Leste dan sebagian negara Afrika.

Kompor buatan Nurhuda sudah diproduksi massal di Norwegia.

Yesus kembali ke Nasaret, kota asal-Nya. Namun orang-orang Nasaret justru tidak mempercayai-Nya. Orang-orang Nasaret, tetangga Yesus tahu siapa keluarga-Nya. Mereka tidak percaya akan kuasa Yesus.

Mereka mengenal latar belakang keluarga-Nya. Mereka kenal siapa-siapa kerabat-Nya. Mereka heran darimana kata-kata indah itu didapat-Nya sehingga Dia bisa mengajar di rumah ibadat mereka.

Orang-orang Nasaret itu tidak bisa mempercayai-Nya. Mereka menutup diri terhadap pengajaran-Nya.

Ia menegaskan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.”

Yesus mengkritik kedegilan hati mereka. Ia menunjukkan contoh-contoh bagaimana seorang nabi justru tidak dihargai di tempat asalnya sendiri.

Nabi Elia dan Elisa tidak dipercaya oleh bangsanya sendiri. Justru janda di Sarfat dan Naaman orang Siria percaya pada nabi dari Israel.

Mereka justru menyembuhkan orang-orang asing yang percaya seperti Janda di Sarfat dan Naaman dari Siria itu.

Bangsa Indonesia juga dibuat untuk tidak mencintai budaya sendiri. Kita dicecar dengan budaya asing. Wayang diharamkan. Baju kebaya yang warna-warni diganti dengan baju seragam berkabung. Kendi dianggap musrik.

Ada kelompok yang berusaha mendegradasikan nilai-nilai budaya kita dan membuat asing di negerinya sendiri.

Barusan kita melihat Marc Marques asyik bergoyang dengan penyanyi dangdut sebelum ajang motoGP.

Orang-orang asing saja sangat menikmati dan menghargai budaya kita, mosok kita malah tidak menghargai budaya sendiri.

Kita ini hidup di negeri yang sangat kaya dengan aneka kebudayaan. Kita tidak hidup di tengah padang pasir. Semestinya kita menghargai nilai-nilai budaya sendiri.

Jangan sampai terjadi seperti reog Ponorogo yang mau diklaim orang Malaysia menjadi budayanya.

Yesus mengkritik orang-orang di kampung asal-Nya sendiri yang tidak mau menerima dan menghargai karya anak bangsa. Hal yang sama juga terjadi di negeri kita sendiri.

Kita kurang menghargai budaya sendiri. Malah tergila-gila dengan budaya asing. Kita harus mencintai dan menghargai hasil budaya kita sendiri.

Nonton balap motor dari atas gunung,
Walau hujan deras tidak kering-kering.
Kita punya budaya yang adi luhung,
Jangan terkecoh dengan budaya orang asing.

Cawas, aku bangga budaya sendiri…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.03.22 • Minggu Prapaskah III • Lukas 13: 1-9

 

Ira Dei atau Murka Tuhan.

ADA sebagian orang yang berpendapat bahwa bencana itu adalah kutukan Tuhan. Peristiwa tsunami, gempa dan tanah longsor, gunung meletus, banjir bandang atau peristiwa sial lainnya dianggap sebagian orang sebagai kutukan.

Tuhan sedang murka sehingga mendatangkan bencana.

Pada Tahun 1755 terjadi gempa dan tsunami dasyat di Lisbon, Portugal yang mengakibatkan kehancuran seluruh kota.

Gereja katedral Lisboa, Basilika Sao Paulo, Gereja Misericordia, Rumah Sakit Kerajaan dan istana Ribeira luluh lantak. Kurban meningal diperkirakan 90.000 jiwa.

Para tokoh agama mempertanyakan kejadian ini. Apakah Tuhan murka pada kita? Mengapa Tuhan membiarkan kehancuran terjadi? Mengapa Tuhan diam saja? Bagaimana iman kita menyikapi persoalan ini?

Jauh sebelumnya, Kitab Ayub dalam tradisi Deuterokanonika sudah menjawabnya.

Ayub seorang yang saleh hidupnya mengalami kemalangan yang luar biasa. Teman-temannya berkata bahwa Ayub dikutuk oleh Tuhan. Namun Ayub menolak pandangan itu.

Menurutnya, Tuhan itu maha baik. Ia tidak bersalah atas terjadinya bencana, penderitaan dan kemalangan yang menimpanya.

Yesus dihadapkan pada persoalan yang sama ketika sebagian orang mengabarkan tentang kematian orang-orang Galilea yang dibunuh Pilatus dan darahnya dicampur dengan darah korban persembahan.

Darah mereka dianggap kotor, najis, berdosa. Darah kutukan yang membawa bencana.

Juga kejadian yang menimpa delapanbelas orang yang tertimpa menara dekat kolam Siloam. Kematian mereka dianggap nista, maka terkutuklah cara mati demikian.

Penderitaan dan kemalangan tidak boleh dipakai untuk mengadili atau mengutuk seseorang. Bahkan menyalahkan Tuhan.

Yesus justru menekankan, “Kalau kamu tidak bertobat, kamu semua pun akan binasa dengan cara demikian.”

Mereka yang menjadi korban itu tidak lebih berdosa daripada kita. Kita tidak boleh menganggap diri lebih suci, bersih dan saleh.

Peristiwa-peristiwa itu harus membuat kita merenung, berefleksi diri, berani bertobat.

Penderitaan, kemalangan, bencana adalah misteri kehidupan. Dunia dan kita ini rapuh dan terbatas, mudah gagal. Oleh karena itu kita harus terus berusaha sebaik mungkin.

Seperti pengurus kebun yang tidak putus asa, tetapi berusaha memelihara pohon ara supaya menghasilkan buah. Ia mencangkul, memberi pupuk dan menyirami serta merawatnya.

“Mungkin tahun depan akan berbuah, jika tidak, tebanglah.”

Jika ada orang gagal, jatuh, menderita, mengalami kemalangan, janganlah kita merasa senang, merasa paling benar, merasa paling beruntung, merasa paling dikasihi Tuhan.

Kalau sedang dirundung derita dan kemalangan kita tidak boleh menyalahkan Tuhan, menghujat dan membawa-bawa nama Tuhan.

Kita diajak bertobat dan berusaha hidup lebih baik lagi.

Kalau cari batik ada di Pekalongan.
Kalau mau kain lurik ya ada di Pedan.
Sukanya menyebut-nyebut nama Tuhan,
Tapi kalau menderita suka menyalahkan.

Cawas, Tuhan maha baik….
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Puncta 19.03.22 || HR. St. Yusup, Suami Maria || Matius 1: 16. 18-21.24a

 

Tulus Hati

“SAYA sangat bersyukur pastor, punya suami yang baik banget. Selisih umur kami jauh. Saya sudah hamil dengan teman sekolah. Saya bingung dan putus asa saat itu.

Tanpa diduga suami saya itu datang ke rumah. Ia mau mengambil saya jadi istrinya. Waktu itu saya ragu. “Benar ndak eh….karena saya takut dipermainkan lagi.” Ibu itu membuka kisahnya.

Dia sudah tahu keadaan saya. Dia mau menerima saya dengan ikhlas.

“Puji Tuhan pastor, kami sudah berjalan delapanbelas tahun.” Dia mencintai anak saya seperti anaknya sendiri.

Dia tipe orang yang bekerja keras. Dia penuhi segala kebutuhan kami. Mau pergi kemana pun, dia ijinkan. Bagi dia, yang penting kami bahagia. Anak kami satu-satunya sekarang sudah kuliah. Papanya pengin dia sukses dan bahagia.

“Sungguh tak henti-hentinya saya bersyukur punya suami sedemikian baik, setia dan bertanggungjawab. Tetapi masih ada satu permintaan saya pada Bunda Maria, agar suami saya mau dibaptis.” Katanya sambil menunjukkan rosarionya.

“Saya punya nasar, kalau dia dibaptis, kami akan ikut ziarah ke Lourdes. Saya ingin bersyukur pada Bunda Maria. Nanti pastor yang dampingi ya, nanti saya akan bersaksi.” Katanya sembari menutup pembicaraan.

Ada banyak orang yang setia dan tulus hati dalam hidup sehari-hari. Ketulusan itu berarti melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan balasan apa pun.

Tulus hati juga berarti percaya penuh dan siap melakukan apa pun dengan berani menanggung segala resiko.

Setia dan tulus hati membutuhkan komitmen yang tinggi. Tidak mudah berubah oleh pandangan atau penilaian orang lain.

Hari ini kita merayakan St. Yusup, suami Maria. Ia adalah teladan kesetiaan dan ketulusan hati.

Saat bertunangan, Maria telah mengandung dari Roh Kudus. Ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Namun ketika sedang menimbang-nimbang hal itu, malaikat hadir dalam mimpinya.

Malaikat berkata, “Yusuf, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.”

Kesetiaan Yusuf nampak ketika bangun tidur, ia segera berbuat seperti yang dikatakan malaikat itu. Tanpa menunda dan ragu-ragu, ia mengambil Maria menjadi istrinya.

Pribadi yang setia dan tulus hati berpikir bukan untuk dirinya sendiri, tetapi fokus tindakannya demi kebahagiaan orang lain.

Kendati penuh resiko dan tantangan, sulit dan penuh perjuangan, namun tetap dilakukan demi membahagiakan banyak orang.

Ia berhasil mengubah cinta eros menjadi cinta agape. Cinta yang tidak didasarkan pada nafsu erotic tetapi cinta demi kebahagiaan orang lain dengan berani berkorban.

Tanpa banyak kata, Yusuf segera melakukan perintah malaikat itu. Segala resikonya ditanggung dengan gembira dan tulus ikhlas.

Ia membawa Maria ke Betlehem, mencarikan penginapan, menjaga Maria dan Bayi Yesus di gua yang dingin. Ia juga harus menyelamatkan ibu dan bayinya dari ancaman Herodes ke Mesir.

Di balik kehidupan Yesus dan Maria, ada tokoh tersembunyi, namun berjasa karena kesetiaan dan ketulusan hatinya. Santo Yusuf, bapa yang baik, doakanlah kami.

Jalan-jalan di pagi hari,
Singgah di pasar membeli roti.
Santo Yusup yang tulus hati,
Lindungi dan jagailah kami.

Cawas, tebarlah kebaikan…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

Renungan Mingguan

The playlist identified with the request's playlistId parameter cannot be found.