Puncta 22.05.21 / Sabtu Paskah VII / Yohanes 21: 20-25

 

“Argentum Ad Nausem”

UNTUK mengalahkan Pandita Dorna yang menjadi senopati Kurawa, Kresna membuat narasi bohong. Ia minta kepada para Pandawa untuk menyebarkan berita bahwa Aswatama mati. Aswatama adalah anak Pandita Dorna. Padahal yang mati adalah seekor gajah bernama Estitama.

Berita bohong itu harus dikumandangkan terus menerus dan berulang-ulang oleh semua prajurit di segala penjuru medan Kurusetra.

Dorna termakan berita bohong itu. Ia putus asa karena anak satu-satunya telah mati. Karena sudah tak punya daya dan harapan, dengan mudah Dorna dipenggal kepalanya oleh Trustajumena. Gugurlah guru dan senopati Kurawa itu.

Paul Yoseph Goebbels adalah menteri propaganda Nazi. Dialah yang mencetuskan teknik propaganda modern. Teknik jitu hasil kepiawaiannya diberi nama Argentum ad nausem atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie (kebohongan besar).

Prinsip dari tekniknya itu adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran.

Beberapa hari ini kita disuguhi berita pertempuran Israel dan Palestina. Ada sekelompok orang yang menggiring opini bahwa itu adalah perang agama. Gambar dan pesan dibuat sedemikian agar orang percaya bahwa itu perang agama.

Padahal mereka berperang karena perebutan wilayah. Ini perang kemerdekaan. Kita mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka, tetapi jangan diputarbalikkan seolah-olah ini perang agama.

Dalam kutipan Injil terakhir Yohanes ini juga terjadi salah persepsi karena salah menangkap pesan. Ketika Petrus bertanya tentang nasib murid yang dikasihi, Yesus berkata, “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.”

Pesan ini ditangkap keliru oleh banyak orang. Maka tersebarlah kabar di antara saudara-saudara itu, bahwa murid itu tidak akan mati. Tetapi Yesus tidak mengatakan kepada Petrus, bahwa murid itu tidak akan mati, melainkan, “Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.”

Yohanes mencatat semuanya itu dalam Injilnya. Dan segala yang ditulisnya adalah kebenaran, bukan kebohongan.

“Dialah murid yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, dan yang telah menuliskannya; dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar.

Mari kita punya logika yang cerdas, jangan mudah dibohongi. Kalau kita memiliki kebenaran, maka kita akan diselamatkan.

Ke pasar membeli kue lapis.
Diberi bonus tempe benguk.
Marilah kita berpikir logis kritis.
Jangan mudah ditipu para cecunguk.

Cawas, jernih berpikir waras…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 21.05.21 / Jumat Paskah VII / Yohanes 21:15-19

 

Teladan Ketaatan Romo-Romo “Sepuh”

WISMA Domus Pacis St. Petrus Kentungan baru saja diberkati Bapak Uskup, bertepatan dengan ulang tahun tahbisan uskup beliau ke 4. Wisma ini dibangun untuk tempat tinggal para imam yang sudah purna tugas.

Selama ini mereka menempati wisma Puren. Namun wisma ini sudah tidak memadai lagi. Maka Bapak Uskup membentuk panitia untuk membangun wisma romo-romo “sepuh” di Komplek Seminari Tinggi Kentungan.

Setelah diresmikan, esok harinya para romo sepuh mendapat SK baru untuk bertempat tinggal di Domus Pacis Kentungan. Romo Bambang bertanya pada Monsigneur, “Besuk boleh langsung pindah dan tinggal di sini, Monsigneur?”

Bapak Uskup langsung menjawab, “Boleh, silahkan romo pindah-pindah, kamar sudah siap dihuni. Inilah tanda ketaatan romo-romo “sepuh.”

SK keluar langsung berangkat. Tidak usah “ditari bola-bali.” Maksudnya tidak perlu ada tawar menawar, langsung “sendika dhawuh” berangkat.

Dalam Injil Yesus bertanya kepada Simon Petrus sampai tiga kali, ”Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka itu?”

Petanyaan yang diulang-ulang menunjukkan isinya sangat penting. Namun juga si penanya butuh keyakinan jawaban.

Para romo sepuh itu tidak perlu berulang-ulang ditanya. Sekali ditanya oleh uskup untuk pindah ke wisma Kentungan, mereka langsung siap, “sendika dhawuh.”

Sebagai seorang imam, mereka menjadi teladan ketaatan tanpa reserve. “Ora nambahi repote uskup”, tetapi kita membantu Bapak Uskup dengan penuh kasih.

Petrus ditanya sampai tiga kali. Yesus ingin memberi tugas kepada Petrus untuk memimpin kawanan domba-Nya. Ia membutuhkan orang yang siap sedia tanpa banyak alasan. Maka sampai tiga kali Petrus ditanya, “ditanting” untuk suatu tugas yang berat. “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Tugas berat itu hanya bisa dilakukan kalau ada kasih. Kalau tidak ada kasih, seringan apa pun tugas akan menjadi beban berat.

Tetapi seberat apa pun, jika kita melakukannya dengan kasih akan menjadi ringan. Seperti seorang ibu atau ayah, seberat apa pun tugas akan dilakukan karena mereka mengasihi anak-anaknya.

Tugas adalah tanggungjawab. Mari kita lakukan dengan penuh kasih. Jika ada kasih, seberat apa pun tidak akan terasa.

Petrus diberi tugas memimpin kawanan.
Memimpin dengan penuh belaskasihan.
Romo-romo adiyuswa memberi teladan.
Taat pada uskup tanpa banyak alasan.

Cawas, jangan ragu-ragu…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 20.05.21 / Kamis Paskah VII / Yohanes 17: 20-26

 

“Sila ketiga; Persatuan Indonesia”

PERNAH dalam suatu jamuan kenegaraan, Presiden Soekarno berkunjung ke Yugoslavia waktu itu, beliau bertanya kepada Yosef Bros Tito, Presiden Yugoslavia, kira-kira begini; “Tuan Presiden, apa yang akan anda wariskan sepeninggal anda kepada Rakyat Yugoslavia?” Bros Tito menjawab; ”Saya tidak kawatir karena saya memiliki tentara yang kuat untuk Yugoslavia. Kalau anda Mr. Soekarno?” Tuan rumah balik bertanya kepada tamunya. “Kalau saya tidak akan kawatir, karena saya telah mewarisi kepada rakyatku suatu way of life yakni Pancasila.”

Kita sekarang tahu, Yugoslavia terpecah belah menjadi beberapa negara kecil yakni Serbia, Kroatia, Bosnia dan lainnya. Indonesia tetap bersatu berkat Pancasila yang di dalamnya ada sila ketiga yakni Persatuan Indonesia.

Kita harusnya bersyukur dan berusaha terus menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Yugoslavia tidak punya way of life seperti Indonesia.

Apa gunanya tentara yang kuat kalau tidak memiliki way of life. Wawasan kebangsaan tentang nilai-nilai Pancasila itu tetap harus tertanam dalam diri setiap warga negara. Apalagi mereka yang dipercaya menjadi pejabat seperti KPK, TNI atau POLRI.

Dalam doa-Nya bagi para murid, Yesus berdoa agar mereka bersatu. “Bapa yang kudus, bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka, supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, ada di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.”

Yesus menghendaki supaya pengikut-Nya bersatu. Tidak mudah memperjuangkan persatuan dalam suatu kelompok atau komunitas. Ada banyak tantangan, baik dari dalam maupun dari luar.

Ada yang merasa diri paling benar, ingin berkuasa. Ada yang punya kepentingan-kepentingan primordial sektarian. Ada yang tidak mau menerima kebhinekaan.

Yesus menekankan di dalam membangun persatuan harus ada kasih. “Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.”

Persatuan tanpa kasih tidak akan punya ikatan yang kuat. Dalam Pancasila, kasih itu bisa diwujudkan kepada Tuhan yang maha esa ( sila 1) dan kepada sesama dalam mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila 2), membangun persatuan (sila 3), musyawarah untuk mufakat (sila 4) dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (sila 5).

Nilai-nilai Pancasila itu searah dengan nilai-nilai Injili, maka kita mesti menjaganya. Membangun Kerajaan Allah kita wujudkan dengan membangun Indonesia yang damai sejahtera.

Yesus mengajak para murid-Nya untuk bersatu. Kita juga diserukan untuk membela persatuan Indonesia.

Lauknya burung puyuh.
Piringnya ada sepuluh.
Bersatu kita teguh.
Bercerai kita runtuh.

Cawas, sekali Pancasila tetap Pancasila…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 19.05.21 / Rabu Paskah VII / Yohanes 17:11b-19

 

Gereja Yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik

KITA sering berdoa Aku Percaya atau Credo. Itulah pokok iman kita. Dalam Credo itu kita percaya akan empat sifat Gereja yakni; Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

Gereja yang satu didasarkan pada kesatuan Tritunggal Mahakudus. Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kendati tiga pribadi tetapi hakekatnya tetap satu.

Begitu pun Gereja, kendati beraneka ragam namun tetap satu dalam Kristus. Yesus berdoa, “Ya Bapa yang Kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita.”

Gereja yang satu terdiri dari; kesatuan dalam pengakuan iman (credo); perayaan ibadat bersama dan sakramen-sakramen; suksesi apostolik di bawah Petrus dan para penggantinya.

Gereja disebut kudus karena Yesus adalah Kudus. Ia adalah kepala Gereja. Sang Kepala itu telah menguduskan anggota-anggotanya dengan mati di kayu salib.

Ia menguduskan Gereja dengan menyerahkan nyawa-Nya sehingga umat disatukan dengan Yesus menjadi kudus. “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran. Firman-Mu adalah kebenaran. Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran.”

Gereja berciri katolik karena merangkul semua. Katolik artinya umum, universal, untuk semua. Yesus mengutus para murid-Nya untuk pergi ke seluruh dunia.

“Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia.”

Gereja Katolik itu universal berarti mencakup semua orang yang telah dibaptis secara Katolik di seluruh dunia di mana setiap orang menerima pengajaran iman dan moral serta berbagai tata liturgi yang sama di mana pun berada.

Kata universal juga sering dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam Gereja Katolik.

Konstitusi Lumen Gentium Konsili Vatikan ke II menegaskan arti keKatolikan itu: “Satu umat Allah itu hidup di tengah segala bangsa di dunia, karena memperoleh warganya dari segala bangsa. Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik. Gereja yang Katolik secara tepat guna dan tiada hentinya berusaha merangkum segenap umat manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya” (LG. 13).

Sifat terakhir adalah Apostolik. Dengan ciri ini mau ditegaskan adanya kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (Ef. 2:20).

Gereja Katolik mementingkan hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan pengganti mereka, yaitu para uskup.

Dengan demikian juga menjadi jelas mengapa Gereja Katolik tidak hanya mendasarkan diri dalam hal ajaran-ajaran dan eksistensinya pada Kitab Suci melainkan juga kepada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja sepanjang masa.

Ke Ketapang lewat Nanga Bulik.
Kalau ke Ponti pasti lewat Simpang Dua.
Saya bangga menjadi orang Katolik.
Di dalamnya ada warisan iman yang luar biasa.

Cawas, yang damai-damai saja….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 18.05.21 / Selasa Paskah VII / Yohanes 17:1-11a

 

Serat Tripama

“Yogyanira kang para prajurit; Lamun bisa samya anulada; Kadya nguni caritane; Andelira sang Prabu; Sasrabau ing Maespati; Aran Patih Suwanda; Lalabuhanipun; Kang ginelung tri prakara; Guna kaya purunne kang denantepi; Nuhoni trah utama.”

Artinya: Seyogianya para prajurit, bila semua dapat mencontoh, Seperti masa dahulu; (tentang) andalan Sang Prabu Sasrabau di Maespati; Bernama Patih Suwanda; Jasa-jasanya; Yang dipadukan dalam tiga hal, (yakni) pandai, mampu dan berani (itulah) yang ditekuninya, Menepati sifat kaum utama.

Serat Tripama adalah tembang Jawa karangan KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) dari Surakarta. Isi tembang itu adalah kisah keteladanan tiga tokoh wayang yakni; Bambang Sumantri atau Patih Suwanda, Kumbakarna dan Adipati Karna.

Patih Suwanda memuliakan rajanya dengan tiga keutamaan yaitu “guna, kaya, purun.”

“Guna” artinya cakap. Ia memiliki kecakapan menyelesaikan segala perkara atau tugas yang diembannya. Ketika permaisuri raja minta Taman Maerakaca milik para dewa dipindah ke Maespati, Patih Suwanda melakukannya dengan cermat.

“Kaya” artinya mampu menyediakan apa saja yang dibutuhkan. Permaisuri raja minta disiapkan 800 putri domas untuk mengiring pengantin, Patih Suwanda mampu memenuhinya.

“Purun” artinya sanggup taat setia berjuang sampai akhir. Ia berperang melawan raja Alengka, sampai mati demi membela rajanya.

Sudah tiba saatnya, Yesus mempermuliakan Bapa-Nya melalui kematian di salib. Yesus akan segera menyelesaikan tugas-Nya.

“Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk Kulakukan.” Inilah arti “purun” dalam diri Yesus. Ia melaksanakan tugasNya sampai mati demi kemuliaan Bapa.

Dengan segala daya, Yesus telah memperkenalkan Bapa kepada murid-murid-Nya dan kini mereka telah percaya kepada Bapa.

“Mereka tahu benar-benar, bahwa Aku datang daripada-Mu, dan mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” Di sini arti “guna” itu, Yesus melakukan perutusan Bapa dengan ajaran kasih-Nya.

Yesus menyediakan hidup kekal kepada mereka yang percaya kepada-Nya, ini adalah nilai “kaya” yang dibuat Yesus.

“Sama seperti Engkau telah memberikan kepada-Nya kuasa atas segala yang hidup, demikian pula Anak-Mu akan memberikan hidup yang kekal kepada semua yang telah Engkau berikan kepada-Nya.”

Dalam seluruh tindakan-Nya, Yesus menjalankan nilai-nilai keteladanan; “guna, kaya dan purun.”

Maukah kita melanjutkan keteladanan Kristus itu?

Di taman ada tumbuh bunga mawar.
Berseberangan dengan bunga kaktus.
Berani membela yang adil dan benar.
Itulah tanda kita ikuti jejak Kristus.

Cawas, hanya sekejap mata….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr