Puncta 18.10.20 / Minggu Biasa XXIX, Minggu Misi / Matius 22:15-21

 

“Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia”

SEMBOYAN heroik itu muncul dari Mgr. Albertus Soegijopranoto, Uskup Semarang. Waktu itu agama Katolik dianggap agama asing, agama penjajah. Soegijo ingin umat Katolik sungguh-sungguh menghayati keindonesiaannya. Hal itu ditunjukkannya secara nyata. Ketika pemerintahan RI berpindah dari Jakarta ke Jogjakarta, Soegijo ikut bergabung dengan Soekarno. Beliau memindahkan pusat keuskupan dari Semarang ke Jogjakarta pada Februari 1947.

Sukarno pernah mengatakan, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India.Kalau jadi Katolik jangan jadi orang Eropa. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”

Sukarno dan Soegijo ingin agar nilai agama merasuk dan menerangi nilai kehidupan dan adat budaya Indonesia. Menjadi Katolik tidak kehilangan jiwa keindonesiaannya. Menjadi Indonesia tidak bertentangan dengan nilai agamanya. Semboyan Soegijo itu menginspirasi pemuda-pemuda katolik seperti Agustinus Adisudipto dan Ignatius Slamet Riyadi yang gugur ikut membela Republik Indonesia.

Belum lama ini ada undangan rapat dari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). OMK dan Pemuda Katolik diundang juga. Sayang sekali, yang hadir dari pihak Katolik hanya ada dua orang, dari Paroki Cawas dan Pedan. Itu pun yang satu berstatus koster stasi, karena tidak ada satu pun OMK yang mau. Sementara teman-teman dari NU, Muhamadiyah dan organisasi kepemudaan lain antusias hadir.

Contoh kecil ini menggambarkan kurangnya semangat nasionalisme dan militansi orang muda Katolik. Ada semacam ketidakpedulian orang muda terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Orang muda terlalu asyik hidup dalam ghetonya sendiri. Tidak mau keluar berjuang dengan teman-teman lain yang berbeda agama untuk memikirkan bersama tentang keindonesiaan. Orang muda kita minder dan kerdil untuk bergumul bersama membangun Indonesia. Apakah mereka sudah seratus persen Katolik? Mudah-mudahan. Apakah mereka sudah seratus persen Indonesia? Jawablah sendiri.

Yesus hari ini menantang kita semua untuk menunjukkan semboyan Soegijo itu. Dia berkata, “Berikanlah kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”

Cinta kepada sesama termasuk cinta pada Tanah Air tidak bertentangan dengan cinta kepada Tuhan. Justru mencintai Tuhan itu diwujudkan dalam mencintai sesama, termasuk cinta Tanah Air, cinta lingkungan hidup, mencintai hutan dan margasatwanya. Jangan hanya mencintai apa yang kita maui saja. Mari kita refleksikan apa yang sudah saya sumbangkan untuk Tanah Air kita tercinta ini?

Tinggal anggrek satu-satunya,
Yang tergantung di jendela.
Kalau kita mencintai Indonesia,
Kita sedang mewujudkan iman kita.

Cawas, cari alternatif baru….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 17.10.20 / PW. St. Ignatius dari Antiokia, Uskup dan Martir / Lukas 12:8-12

 

Pasang Salib

SAYA diundang ngobrol-ngobrol di sebuah warung kopi dan susu segar. Warung itu adalah rumah pribadi yang disulap untuk berjualan. Rumah itu adalah bangunan kuno peninggalan orangtua. Kayu-kayunya kelihatan kokoh dan eksotik. Di dalam diatur kursi dan meja dengan rapi.

“Bagaimana kesan romo masuk di rumah ini?” tanya si ibu yang mempersilahkan saya dan rombongan duduk di kursi tengah.

“Bagus, kesannya antik dan nyaman.” Saya duduk sambil pesan susu jahe panas.

“Doakan ya romo supaya usaha saya ini lancar.” Dia menawari teman-teman saya pesan minuman dan snack ringan.

“Tapi kenapa kamu pasang gambar-gambar itu? Kamu tidak takut nanti warungnya tidak laku?” Saya menunjuk gambar-gambar yang dipasang di dinding kayu.

Ada salib di atas pintu. Ada gambar wajah Tuhan Yesus. Ada gambar Ibu Maria menggendong bayi Yesus. Wajah uskup yang berkumis tebal itu juga tergantung di dinding. Kumis hitam dan tebal itu menambah aksentuasi kewibawaannya. Ada rosario kayu besar tergantung di dinding.

“Tidak romo. Saya yakin Tuhan yang memberi rejeki saya di rumah ini. Kalau mereka takut masuk warung saya karena ada salib dan gambar-gambar itu ya gak papa. Berarti iman mereka belum kuat.” Ibu itu menjawab dengan tegas.

“Bagi saya, salib Yesus dan Bunda Maria adalah kekuatan hidup. Itulah keyakinan saya. Biar orang lain juga tahu, kalau kami ini ikut Yesus.”

Tidak lama kemudian ada dua gadis berkerudung masuk ke warung itu. Kuperhatikan selintas mereka melihat gambar-gambar itu. Mereka mengambil tempat duduk dan memesan minuman. Tak peduli.

Yesus bersabda, “Barangsiapa mengakui Aku di depan manusia, akan diakui pula oleh Anak Manusia di depan para malaikat Allah. Tetapi baragsiapa menyangkal Aku di depan manusia, ia akan disangkal pula di depan para malaikat Allah.”

Apakah kita berani mengakui Yesus di depan orang banyak? Ataukah kita justru takut menjadi murid-Nya? Berani membuat tanda salib di mana pun? Atau kita sembunyi-sembunyi dan malu mengakui-Nya? Sabda Yesus di atas akan diberlakukan pada kita.

Mawar melati adalah gambar bunga.
Terlukis indah di saku celana.
Salib Yesus adalah ciri khas kita.
Tak usah malu kita mengakuinya.

Cawas, barcode benang kusut…..
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 16.10.20 / Lukas 12:1-7 / The Name Of The Rose

 

BIARAWAN William dari Baskerville dipanggil ke sebuah biara Benediktin di Italia Utara. Dia bersama muridnya Adso dari Melk diminta membongkar kematian misterius para penghuni biara. Adelmo dari Otranto, biarawan muda ditemukan mati di lereng bukit dari menara biara. Menyusul kemudian Venantius, penerjemah manuskrip berbahasa Yunani mati mengambang di tong berisi darah babi. Penerjemah itu mati dengan noda hitam di jari dan lidahnya. Ketakutan akan sihir dan kematian misterius makin mencekam seluruh isi biara.

Wlliam menemukan sebuah tanda yakni noda hitam di jari dan lidah. Ada sebuah buku misterius yang dibaca oleh para biarawan. Berengar pria kidal itu juga mati di bak mandi dengan noda hitam di jari dan lidahnya. William ingin menyelidiki perpustakaan biara tetapi dihalangi oleh Jorge, kepala biara. Dia bahkan memanggil Bernardo Gui, inkusisi kepausan agar menghukum orang-orang yang dituduh bersekutu dengan sihir dan setan.

Sebelum inkuisisi itu datang, William harus bisa mengungkap misteri kematian mereka. William dan Adso menemukan sebuah labirin menuju ke perpustakaan yang luas di atas skriptorium. William meneliti meja penterjemah yang biasa dipakai untuk membaca buku-buku filsafat. Di perpustakaan itu ada banyak karya-karya para filsuf progresif yang karya-karyanya membahayakan ajaran iman. Salah satunya adalah buku kedua karya Aristoteles tentang Komedi.

William meneliti buku itu. Dengan sarung tangan dia membuka halaman demi halaman. Dia tahu buku itu telah diberi racun di sisi luar halamannya. Agar buku itu tidak dibaca orang. Siapa pun yang membaca buku itu, akan memakai jarinya yang diusapkan di lidah. Dengan air ludah mereka membuka halaman demi halaman. Racun dari halaman buku itulah yang membunuh pembacanya.

Terakhir kematian Malachia yang sekarat dengan noda hitam di jari dan lidahnya semakin menguatkan analisis William. Jorge sang kepala biara akhirnya juga bunuh diri karena ketahuan dia menyembunyikan karya-karya para filsuf kafir. Apa yang disembunyikan akhirnya terkuak juga.

Yesus memperingatkan kepada murid-murid-Nya, “Waspadalah terhadap ragi, yakni kemunafikan kaum Farisi.” Suatu saat apa yang ditutup-tutupi oleh kaum Farisi akan terkuak juga. Kemunafikan itu hanyalah topeng untuk menutupi kejahatan mereka. Serapi-rapinya kemunafikan, akhirnya akan terbongkar juga.

Para biarawan ingin agar iman tidak dirusak oleh ilmu pengetahuan. Buku Aristoteles itu akan menimbulkan tawa bagi orang bijak dan merusak iman bagi yang sedang belajar. Ia menyembunyikan itu dengan memberi racun di buku-buku para filsuf “kafir.”

Kaum Farisi adalah penebar kemunafikan. Kemunafikan itu bisa meracuni otak, pikiran dan perilaku kita. Maka Yesus mengingatkan agar mereka tidak terjebak oleh perilaku “pura-pura baik” yang dipertontonkan kaum Farisi.

Tiada sesuatu pun yang tertutup yang takkan dibuka, dan tiada sesuatu pun yang tersembunyi yang takkan diketahui. Maka berhati-hatilah terhadap kepura-puraan.

Ada bayangan bulan kembar dua.
Memancar indah aneka warna.
Dunia ini panggung sandiwara.
Ada yang jujur ada juga yang berpura-pura.

Cawas, menatap langit…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 15.10.20 / PW. St. Teresa dari Yesus, Perawan dan Pujangga Gereja / Lukas 11: 47-54

 

“Sejarah Kelam”

SETIAP Bulan September selalu muncul polemik tentang pemutaran film G30S PKI. Ada yang pro dan ada yang kontra. Adalah mantan panglima TNI yang menginginkan rencana nobar film itu. Pemerintah melalui Menkopolhukam, Mahfud MD menanggapi dengan mengatakan, “Pemerintah tidak melarang atau pun mewajibkan untuk nonton film G 30 S/PKI tersebut. Kalau pakai istilah hukum Islam mubah. Silakan saja,” Cuma di masa pandemi ini warga disarankan untuk menjaga protokol kesehatan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, agar tidak jadi cluster penularan virus corona.

Isue tentang bangkitnya kembali PKI adalah menu empuk tapi basi menjelang pilkada atau perebutan kekuasaan. Bisa dipakai untuk tunggangan menyerang lawan-lawan yang tidak disukai. Pemerintah sekarang tidak melarang, juga tidak mewajibkan masyarakat menonton film itu. Bagi mereka yang anti pemerintah, melarang atau mewajibkan bisa menjadi bumerang.

Di Lubang Buaya dibangun monumen Pancasila sakti atas prakarsa Pak Harto, presiden kedua. Monumen itu untuk mengenang pengkhianatan PKI yang akan mengganti ideologi Pancasila. Kita bisa mengenang tujuh pahlawan revolusi yang dibunuh PKI di sebuah sumur.

Dengan membangun monumen itu kita mengakui telah terjadi gerakan pengkhianatan ideologi dan itu telah memakan korban nyawa yang tidak sedikit jumlahnya. Harus menjadi pelajaran sejarah bagi kita semua.

Yesus mengkritik orang-orang Farisi, “Celakalah kalian, sebab kalian membangun makam bagi para nabi, padahal nenek moyangmulah yang telah membunuh mereka. Dengan demikian kalian mengakui, bahwa kalian membenarkan perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi itu dan kalian membangun makamnya.”

Yesus juga mengecam kita sebagai bangsa yang diam melihat pembantaian-pembantaian orang tak bersalah di tahun 1965. Kekerasan dan ketidakadilan yang memakan banyak korban tidak boleh terjadi.

Kita mesti bersyukur punya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan hidup bersama. Kita harus memperjuangkan nilai-nilai Pancasila itu hidup dan mengakar di segala sendi kehidupan. Lebih penting mewujudkan nilai Pancasila, bukan malah membangkitkan mummi yang sudah tidak ada nyawanya.

Ada titik berwarna merah.
Ternyata luka yang berdarah.
Belajarlah dari sejarah.
Biar bisa memetik hikmah.

Cawas, amplopnya siap…
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr

Puncta 14.10.20 / Lukas 11: 42-46 / Kaum Farisi Zaman Now

 

ORANG Farisi adalah kelompok yang menganggap diri sebagai kaum beragama saleh di Israel. Mereka ahli dan sangat fasih mempelajari Kitab Taurat Musa, juga tradisi-tradisi lisan yang banyak dianut sebagai pedoman hidup. Mereka adalah kelompok kaum pekerja menengah , yang berpengaruh, tidak hanya dalam hidup keagamaan, tetapi juga sosial dan politik. Mereka mengejar status terhormat dalam masyarakat. “Suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar.”

Orang yang suka cari hormat biasanya ingin dilihat orang. Memandang orang lain dari pangkat, gelar atau kedudukan. Orang akan dianggap penting kalau punya jabatan tinggi, gelar panjang atau pangkat terhormat. Orang seperti itu punya ambisi yang kuat. Bisa menghalalkan segala cara demi mendapat jabatan atau pangkat tinggi.
Orang yang ada di bawahnya harus tunduk kepadanya. Senioritas itu penting.Yunior harus tunduk memberi hormat kepadanya. Kalau tidak, hukuman dijatuhkan.

Yesus berkata kepada ahli Kitab, “Kalian suka meletakkan beban-beban yang tak terpikul pada orang, tetapi kalian sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jari pun.”

Mampu memberi perintah, meletakkan beban itu tanda kuasa. Semua perintah harus ditaati, kalau tidak dia akan marah, uring-uringan, “baper.”

Sindiran Yesus itu mengena mereka, “Guru, dengan berkata demikian, engkau menghina kami juga.”

Semua kebijakan atau keputusan harus melalui dia. Kalau tidak, dia merasa dilangkahi, tidak dianggap. Sesudah itu dia akan merajuk, kecewa, “ngambek” seperti anak kecil. Orang lain harus merunduk-runduk, merayu dan memohon-mohon karena dia merasa jadi orang penting.

Begitulah kritik Yesus terhadap orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Tetapi kritik itu bisa juga tertuju pada kita semua. Bisa jadi sifat-sifat itu kita miliki juga. Kita mengejar hormat, pengin berkuasa, bersikap munafik, “jarkoni”, suka perintah tapi tidak mau memberi teladan. Kita ingin dilihat sebagai orang saleh.

Coba perhatikan mereka yang duduk di kursi pesakitan, tiba-tiba pakaiannya berubah.

Bisa jadi kita adalah orang-orang Farisi modern, ahli kitab zaman now, kaum Farisi milenial yang dikritik Yesus lewat sabda-Nya hari ini. Marilah kita bercermin melalui sabda Yesus ini.

Wajah tengadah memandang bulan.
Bulan bersinar di kegelapan.
Hati-hati terhadap kehormatan.
Kita bisa tergila-gila lupa daratan.

Cawas, pungguk merindu….
Rm. Alexandre Joko Purwanto, Pr